Hidup untuk yang kedua kalinya Selena tak akan membiarkan kesempatannya sia-sia. ia akan membalas semua perlakuan buruk adik tirinya dan ibu tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aulia indri yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 34
Flashback...
Deru mesin semakin bertambah saat Ana mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Menghiraukan klakson mobil yang protes karena mengebut dijalan.
"Selena.. Kau akan aman hidup bersama ibu sepenuhnya. Kita akan tinggal berdua saja dan pergi jauh dari ayahmu, dari negara ini.. Dari siapapun." bisiknya dengan tekad. Ia akan melindungi harta berharganya tersisa.
Ia akan membawa Selena jauh dari suaminya, dari keluarga Wiranata dan juga membuat ayah mertuanya menghadapi hukuman yang setimpal karena telah melakukan pembunuhan pada kedua orang tuanya.
Ana berharap Wirya belum pulang, karena pria itu selalu pulang terlambat akhir-akhir ini. Ada harapan besar ia bisa melarikan diri dengan tenang tanpa konflik, pasti ayah mertuanya sudah memberitahu apa yang terjadi dirumah kediaman Alberta.
Ana sampai dirumahnya 1 jam lebih cepat. Ia bergegas memasuki rumahnya, nafasnya memburu karena cemas dan panik. Tak bisa berfikir jernih setelah melihat kematian kedua orang tuanya, apalagi terbunuh oleh orang yang ia percayai.
Matanya menjelajahi rumah dengan liar, ketakutan dan cemas. Ia hanya perlu mengambil Selena dan membawa pergi dari sini.
"Selena! Sayang kau—" Nafasnya memburu perlahan berhenti, detak jantungnya berdebar menyakitkan saat melihat Wirya dan wanita asing berciuman dirumah.
Ciuman itu bertahan, lalu Wirya membeku sejenak saat melihat sosok istrinya berdiri mematung dipintu kamarnya.
Dengan cepat setelah sadar kesalahannya. Wirya bangkit dari atas tubuh Evelyn, mereka belum membuka pakaian—namun terperangkap hasrat.
Ana mendorong pintu dengan marah—tegas. Wirya segera menghampirinya, membujuknya dengan kata menenangkan.
Ana menggeleng pelan, menolak untuk lunak atau patuh sekarang. Ia tahu keburukan keluarga Wiranata sekarang, ia tak butuh lagi mendengarkan atau bertahan dikeluarga ini—karena keluarga ini mengkhianatinya.
"Ana.. Sayang, tenang." suara Wirya gemetar, gugup. Seharusnya ia tak perlu menjelaskan kepada Ana karena ia tidak mencintai wanita itu.
Tapi mengapa Wirya merasa sangat penting untuk menjelaskannya kepada istrinya?
"Kau.. Keluarga Wiranata memang pembusuk!" suara nya melengking tajam, matanya menusuk tajam pada Wirya.
Sementara Evelyn hanya duduk ditepi ranjang kasur, kepalanya tertunduk—tak mampu melihat pertengkaran ini. Namun sedikit cemas, apakah Wirya mempertahankan hubungan dengan istrinya atau membuang dirinya?
Ana menampar kuat pipi Wirya, hingga kepala pria itu menoleh. Suara gema tamparan berdengung diruangan dengan suara tidak mengenakkan.
Mata Wirya membelalak. Tubuhnya kaku, terkejut. Perlawanan Ana—istrinya yang manis dan penurut kini memperlihatkan sisi aslinya.
Sebelum Wirya menoleh, Ana sudah mendekati laci. Menodongkan pistol ke arah mereka berdua—tangannya gemetar melayangkan ke wajah mereka.
Namun matanya penuh tekad.
Evelyn terkekeh, meski tidak ada humor. Mengira itu pistol mainan. Karena gadis selucu dan pendiam seperti Ana tak mungkin memiliki senjata api.
"Diam sialan!"
Dor!
Suara tembakan terjadi, menegangkan semua orang. Termasuk Evelyn—senyumnya lenyap diganti dengan ketakutan.
Bahkan Wirya juga mematung, tangannya terangkat tanda menyerah. "Aku mohon Ana.. Turunkan senjatamu, kita bisa membicarakan ini baik-baik. Kau tak perlu semarah ini, kau kekanak-kanakan menggunakan pistol itu sebagai pelampiasan kecemburuanmu!"
Wirya mencoba membujuk Ana, namun wanita itu semakin memanas. Seolah tak ada lagi yang harus ditenangkan.
Melihat Ana tampak tidak mau bekerja sama. Wirya tampak frustasi, ia harus menenangkan Ana sekarang atau mereka berdua akan menjadi korban tembakan.
Dengan gerakan halus dan cepat Wirya memegang pergelangan tangan Ana, mencengkram nya kuat. Tembakan kembali tertekan saat jari telunjuk Ana menekan pelatuk, mengenai tangan Evelyn.
"Akh!" R**intih Evelyn, tubuhnya gemetar penuh rasa sakit sebelum akhirnya berlutut dilantai—memegang tangannya yang terluka.
Keadaan menjadi sangat menegangkan. Wirya menggelengkan tak percaya, seketika sesuatu dalam dirinya menggeram—otaknya terasa panas seperti gumpalan awan gelap yang siap melontarkan badai.
Wirya mendorong Ana, ia mencoba merebut dengan kasar meski wanita itu semakin erat memegang pistol itu.
Hingga mereka berdua tanpa sadar berdiri didekat balkon kamar. "ANA LEPASKAN!" Wirya berteriak dengan keras, Ana sudah keterlaluan hingga bisa melukai Evelyn
Ana menggeleng pelan, matanya membulat sempurna dengan nafas memburu. Telapak tangannya basah, penuh adrenalin.. Dia tak akan membiarkan dirinya diperintahkan kembali.
"Aku tidak mau! Kau! Ayahmu! kalian semua bajingan! Tidak tahu terimakasih dan biadab!" Ana membalas dengan menjerit, amarah Dimata Wirya semakin berkobar saat mendengar hinaan terhadap ayahnya.
"Tarik kembali ucapanmu, Ana!" ia menggerakkan pistol, meraihnya dengan kuat. Jarinya menekan pelatuk tanpa sadar.
Suara tembakan kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Kali ini lebih dalam, dengan darah keluar dari dada Ana.
Wirya mematung, matanya menatap tidak percaya. Ia berhasil memegang pistol itu, namun segera membuangnya dilantai—perhatiannya sepenuhnya pada istrinya.
"Ana.." suaranya gemetar penuh ketakutan, memegang bahu wanita itu disaat dia tidak bisa berdiri kuat.
"Ya tuhan.. Maafkan aku." bisiknya penuh penyesalan, kedua matanya terasa panas hingga setetes air mata mengalir dipipinya tanpa sadar.
Ana terdiam, rasa sakit didadanya membuat dirinya tidak bisa mendengar apapun. seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, tumpul—penglihatannya menggelap perlahan.
Cengkraman Wirya pada bahu Ana mengerat seolah menahan nyawa Ana untuk tidak pergi, ia tidak bermaksud untuk menembak istrinya sendiri.
"Jaga... Selena untukku.." Bisikan Ana hampir terasa hembusan angin yang menyakitkan bagi telinga Wirya, ia mengangguk berjanji meski setiap hari ia akan diliputi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam
"Mati kau!" Jeritan lain, Evelyn mendorong Wirya kesamping, hampir membuat Wirya terjatuh dilantai karena terlalu lemas setelah ia menembak istrinya tanpa sadar—tangannya gemetar saat ia mendorong tubuh
Ana yang lemas ke bawah balkon.
Tubuh Ana seperti boneka kain tanpa tali. Terjun bebas dari balkon kamarnya—terdengar suara remukan tulang dan tubuh yang mengerikan dibawah sana.
Mata Ana terbuka, hampa dalam kematian. Tubuhnya kaku dan darahnya mengalir dari bawah tubuhnya—mengotori rumput dihalaman.
"Evelyn apa yang kau lakukan?!" Wirya mengambil pergelangan tangan Evelyn, untuk menatapnya.
Matanya melirik kebawah dengan horor, ketakutan dan rasa bersalah menjadi satu dalam gumpalan penyesalan.
Nafas Evelyn terengah-engah, masih marah. Tatapannya menyipit melihat mayat Ana yang kaku di bawah sana. "Dia yang mulai. Dia sudah tidak waras, keluarganya juga tidak waras. Kita tak bisa mengurungnya ataupun membiarkannya hidup, dia berbahaya."
Air mata nya mengering dikedua pipinya. mengusap wajahnya dengan kasar—yang dikatakan Evelyn benar, Ana bisa berbahaya. Tapi ini juga sangat salah.
"Apa yang harus ku katakan kepada Selena?!" Wirya berjongkok, mencengkram kuat pagar balkon memandangi wajah Ana dibawah sana.
Evelyn terdiam sejenak. Nafasnya perlahan tenang, sebelum kembali berbicara, hampir takut mengatakannya. "Bilang saja ibunya sakit, palsukan kematiannya. Anak seusia seperti dia mudah dipercaya.'