“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Bugh!
Adrian berbalik — langsung menghantam satu pukulan keras ke wajah Niko. “Bangun!” tantangnya pada Niko yang kini tersungkur ke tanah.
“Apa-apaan ini? Aish!” Niko menggeram kesal. Rahangnya mengetat seraya mengusap bibirnya yang berdarah.
Adrian mencengkram kerah Niko, sorot matanya mendidih. “Apa yang kau lakukan pada Kayuna?!”
Niko terkekeh pelan seolah tak ada sedikitpun rasa bersalah setelah menyiksa istrinya hingga ia kehilangan bayinya. “Bukan urusanmu.” Ia lalu menepis keras tangan Adrian.
Bugh! Bugh! Bugh!
Adrian kembali menghujani Niko dengan pukulan keras berkali-kali. Pipi kanan, pipi kiri, hingga mulutnya dihantam tanpa ampun. Tangannya terus mengeratkan cengkramannya.
Niko tak mau kalah, ia sekuat tenaga berusaha melepaskan diri. Tapi jelas tak sebanding, ia kalah telak dengan kekuatan Adrian yang tengah dipicu emosi.
“Kenapa kau setega itu? Apa salahnya hingga kau ….” Adrian menelan ludah, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Bibirnya gemetar mengingat raut Kayuna yang sangat terpukul setelah kehilangan bayinya.
Brak!
Niko mendorong Adrian saat dirinya lengah. “Sialan!”
Laki-laki bengis itu lalu balik mencengkram Adrian — menarik dan memaksanya berdiri. “Siapa kau berani memukulku? Hah?!” Niko meninggikan suaranya lalu melayangkan tangannya hendak memukul Adrian.
Tapi Adrian berhasil menangkap tinjuan itu. Ia tak mundur sedikitpun, tatapannya kembali tajam ke arah Niko. “Lepaskan Kayuna,” ucapnya dingin sambil menekan kuat genggamannya — membekuk tangan Niko.
“Akh! Berandal gila!” Niko meringis kesakitan, ia menggeliat seolah memohon ampun pada Adrian.
Adrian lalu melepas kasar cengkramannya. “Dengar, Niko.” bisiknya menusuk. “Akhiri hubunganmu dengan Kayuna secepatnya. Atau … kau yang akan berakhir sengsara.”
Sebelum pergi, Adrian merogoh saku jaketnya lalu melempar beberapa foto ke arah Niko.
Mata Niko membelalak kala melihat foto-foto tersebut, ia menelan ludah kasar. “Ini ….”
***
“Nyonya, ayo bangun, makan dulu.” Mbok Surti dengan raut sendu terus merayu Kayuna agar beranjak dari kasurnya.
Di meja sebelah ranjang sudah tersedia nampan berisi bubur dan susu hangat, yang sengaja Mbok Surti siapkan dengan penuh kasih sayang untuk Kayuna.
Wanita muda itu tak menjawab. Ia hanya berbaring dengan tatapan kosong ke arah tembok berwarna pucat — seolah mencerminkan kondisi wajahnya saat ini.
“Saya nggak lapar, Mbok.” Akhirnya ia menjawab dengan lirih.
“Sudah dua hari Nyonya nggak makan, nanti bisa sakit.” Wanita baya itu terus memohon agar sang majikannya mau makan walau hanya sesuap.
“Tinggalkan saja, Mbok!” Suara berat Niko terdengar dari luar kamar. “Nggak mau makan ya sudah, biarkan saja.”
“Tapi, Pak —”
Niko berjalan masuk dengan langkah malas. “Mbok boleh keluar,” perintahnya pada pembantunya.
Mbok Surti berat hati meninggalkan Kayuna yang masih sangat terpukul setelah keguguran, tapi ia pun tak sanggup melawan majikan laki-lakinya yang terus berwajah masam. Akhirnya ia melangkah pelan keluar dari kamar.
Setelah pintu tertutup, Niko kian mendekati Kayuna — menarik kasar selimutnya. “Kau bosan hidup? Sengaja menyiksa diri agar segera mati? Hah?!”
Kayuna menghela napas. “Keluarlah, jangan ganggu aku,” sahutnya pelan tapi menusuk, ia kembali merapatkan selimutnya.
“Makanlah, jangan merepotkan banyak orang. Apa kau sesedih itu, kehilangan bayi yang bahkan belum nampak wujudnya?” Niko terus berkata seenak jidatnya.
Kayuna menoleh pelan, sorot matanya dingin tanpa emosi. “Jaga bicaramu, enyahlah.”
“Kau semakin berani, rasanya baru kemarin kau bahkan tak sanggup menatap mataku.” Niko bergumam seorang diri, karena Kayuna pun jelas tak sudi mendengarkan. “Terserahlah, aku malas mengurusmu.”
Tring! Ponsel Niko berdering.
‘Airin?’ Mata bengis pria itu langsung berbinar kala nama Airin muncul di layar ponselnya. Tanpa kata ia langsung beralih pergi meninggalkan istrinya yang masih berkabung sendirian di kamar.
Kayuna tetap bergeming. Sudah berhari-hari ia menghabiskan waktu mengurung diri di kamarnya, seakan seluruh gairah hidupnya terkuras habis. Kini, hidup baginya tak lebih sekadar bernapas tanpa tujuan.
Dret … dret …
Kayuna meraih ponselnya yang bergetar di atas meja. Pesan masuk dari ibunya.
“Anakku … apa kau sangat menderita? Kenapa nggak pernah cerita ke ibu? Seharusnya ibu sekuat tenaga mempertahankanmu saat itu, ini kesalahan ibu karena membiarkanmu pergi dan menikah dengan laki-laki yang bahkan ibu belum benar-benar mengenalnya. Maafkan ibu ya, Nak. Bilang ke ibu kalau kamu ingin pulang, ibu akan menjemputmu untuk pulang.”
Kayuna mengatupkan bibirnya yang bergetar, ia memeluk erat ponselnya. “Ibu … Kayuna ingin pulang,” isaknya pecah dalam kesedihan.
Tangis itu menggema di satu ruangan, sendirian — tanpa seorang pun yang memeluknya meski sekadar menenangkan.
***
Hari-hari berikutnya teramat menyiksa bagi Kayuna. Ia melewati masa berkabung dengan perasaan bersalah yang teramat — merasa gagal melindungi anaknya.
Seminggu berlalu, tapi luka itu masih menganga lebar di dadanya.
Malam itu, Kayuna berjalan tanpa arah tujuan, langkah beratnya membawanya berakhir di sebuah sungai yang sedikit luas tak jauh dari jalan raya yang tampak sepi.
Dia duduk di kursi kayu dekat tepi sungai. Merenung — menatap permukaan air yang tenang. “Sampai kapan semua ini terus berlanjut, Ya Allah?”
Ia menghembuskan napas pelan, membiarkan angin dingin sedikit menenangkan kepalanya yang masih kusut. Tangannya terangkat menyentuh perutnya. Kehilangan bayinya menjadi hantaman besar yang hampir meretakkan kewarasannya.
“Seharusnya aku bisa menjagamu dengan baik,” gumamnya pelan. “Maafkan ibu, Nak,” tangisnya tersedu di tengah kesunyian malam.
“Anakku!” teriaknya sambil meremas erat kepalanya.
Kayuna menunduk menahan sesak yang tak berujung. Ia tersedu, berkali-kali menepuk kasar dadanya — terus menyalahkan diri atas kegugurannya.
Mendadak ia mendongak, kala mendengar jeritan bayi di sekitarnya. “Anakku? …,” lirihnya dengan tatapan bingung, mencari-cari dari mana sumber suara itu.
Rambutnya basah menempel pada wajah pucatnya, angin malam bersemilir menerpa tubuhnya yang lunglai. Kayuna lalu berdiri, tatapannya kosong ke depan. Ia melangkah mendekati tepi sungai. “Haruskah ibu menyusulmu? Sayangku … di mana kamu?” gumamnya seraya terus maju.
“Anakku? … kau ingin pergi bersama ibu?”
“Berhenti!” Suara seorang wanita terdengar keras di dekat sungai itu.
“Apa yang kamu lakukan?!”
Kayuna terlonjak lalu menoleh cepat. Matanya samar menatap si wanita paruh baya yang berlari menghampirinya.
“Jangan nekat, Cah Ayu,” ujar wanita itu lalu menarik Kayuna — menjauhi tepi sungai.
Kayuna bersimpuh di atas tanah yang lembab, bibirnya bergetar, mata sembabnya terus bercucuran — mengeluarkan air bening kepedihan.
Bahunya bergetar, ia menangis sejadi-jadinya. “Anakku!” raungnya di tengah kesunyian.
Si wanita paruh baya menatap sendu lalu mendekatkan diri dan memeluk hangat Kayuna. “Ibu tau perasaanmu, tapi tetap saja mengakhiri hidup bukanlah pilihan yang tepat, Cah Ayu.”
***
Di sebuah resto burger sederhana. Satu lilin menyala temaram di atas meja, Kayuna duduk meratap, ia mengusap wajah pucatnya lalu meraih gelas berisi air putih yang baru saja diberikan oleh wanita paruh baya tadi.
Di balik meja dapur. Wanita yang kerap disapa Bu Ratna itu pun tampak sibuk memanasi dan menyiapkan seporsi burger untuk Kayuna. Sebelum keluar, ia menekan sebuah tombol tersembunyi di sakunya.
Tak lama, Bu Ratna kembali menghampiri Kayuna dengan sepiring burger hangat. “Dimakan dulu ya, cuma ini yang ada di resto sederhana ibu,” ujarnya sambil menyodorkan piring ke Kayuna.
Kayuna masih tampak bingung, tapi tangannya tetap menerima meski ragu-ragu. “Terima kasih,” lirihnya.
“Siapa namamu, Cah Ayu?” tanya wanita itu.
Kayuna menoleh ragu. “I-itu ….”
“Saya Ratna, panggil saja Bu Ratna,” jawab si wanita pemilik resto burger.
Kayuna mengangguk pelan, wajah kikuknya kini mulai mengulas senyum tipis. “Saya ….” Dia masih menahan kalimatnya.
Ratna pun tersenyum hangat, tangannya terangkat — mengelus lembut ujung kepala Kayuna. “Ndak usah dijawab kalau kamu merasa kurang nyaman. Makan saja yang banyak, habiskan burgernya, ya.”
Kayuna mengangguk lagi, lalu mulai mengunyah burger dengan lahap seolah seharian penuh belum makan apapun. Ia menghabiskan burger pemberian Bu Ratna nyaris tanpa sisa.
Ratna adalah seorang wanita paruh baya dari jawa. Dia nekat merantau ke kota demi memperjuangkan keadilan untuk anak perempuannya yang pernah menerima tindakan tak senonoh dari bos tempatnya bekerja.
Melihat Kayuna, ia merasa seperti melihat duplikat putrinya. “Berapa usiamu, Cah Ayu?”
Kayuna menelan kasar burgernya. “Anu … 29 tahun, Bu.”
Ratna menghela napas pelan. “Putriku … pasti sudah seusiamu kalau masih hidup.”
Kayuna tertegun, lalu menoleh pelan. “Maaf—”
Ratna lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Sudah lama, ibu sudah cukup ikhlas,” ujarnya.
Suasana kembali hening. Ratna tampak terus memperhatikan Kayuna dengan raut melunak, tatapannya hangat seolah tengah menatap putrinya sendiri.
Setelah menghabiskan makanannya, Kayuna mengangkat wajahnya. Tatapannya menyapu seisi ruangan yang dipenuhi dengan potret putri kecil Bu Ratna.
Ratna pun kembali bersuara menceritakan kisah pilu putrinya yang akhirnya meregang nyawa — bu*nuh diri karena depresi.
Kayuna menelan ludah. Kisah itu sangat mirip dengan dirinya yang berulang kali mencoba mengakhiri hidup dengan cara tragis.
“Saya … sudah dua tahun lebih menikah.” Akhirnya Kayuna bersuara. “Saya kerap mendapat penyiksaan fisik dan perlakuan miris dari keluarga suami, saya sudah ingin terbebas tapi selalu gagal saat ingin melarikan diri dari cengkeraman iblis itu.”
Ratna membeliak, tatapannya getir penuh kecemasan. “Astaghfirullah, Nduk.”
“Belum lama ini … saya mengalami keguguran, saya kehilangan bayi saya,” ucap Kayuna seraya kembali menitikan air mata.
Ratna kembali merangkul Kayuna penuh hangat. Pelupuk matanya pun turut berair setelah mendengar cerita miris dari perempuan yang berhasil diselamatkannya itu. “Semua ini akan berakhir, tunggu saja, Nduk. Percayalah, laki-laki bengismu itu … pasti akan mendapat balasan yang setimpal.”
Sorot mata Ratna menajam, seolah ikut menyimpan dendam pada suami Kayuna.
***
“Biadab!” bentak pria itu sambil menggebrak meja dengan keras.
*
*
Bersambung …