NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta20

Kamar Hana terasa lebih sempit dari sebelumnya.

Temboknya seperti bergerak mendekat.

Udara terasa berat dan dingin.

Ia duduk bersandar di dinding, memeluk lutut.

Matanya sembab, rambutnya berantakan, gaunnya kusut—

namun pikirannya bekerja.

Terus.

Tanpa berhenti.

Soni mengurungnya.

Pintu terkunci dari luar.

Penjaga berjaga di dua sisi lorong.

Sistem keamanan mansion tinggi, bahkan terlalu tinggi untuk kebanyakan orang.

Tapi Hana telah tinggal di sini dua tahun.

Ia mengetahui pola yang tidak terlihat.

Bagian yang diabaikan.

Dan titik lemah kecil yang tidak diketahui siapa pun…

karena mereka tidak pernah menganggap Hana sebagai ancaman.

Kesalahan terbesar mereka.

Hana mengusap wajahnya, mencoba menenangkan napasnya.

“James… jangan kembali…”

bisiknya lirih.

Namun kata itu justru menguatkan tekadnya.

Jika James benar-benar datang—

dia harus memastikan James tidak masuk ke dalam perangkap.

Hana berdiri perlahan.

Tangannya menyapu air mata.

Ia mulai menatap sekeliling kamar, bukan dengan putus asa—

melainkan dengan mata orang yang sedang mencari jalan keluar.

JENDELA

Hana mendekati jendela kamar.

Tirai tebal menutupi kaca besar setinggi tubuh.

Ia menarik tirai sedikit.

Keluar hanya ada balkon kecil dengan pagar besi.

Dua lantai dari tanah.

Tidak terlalu tinggi—

tapi ada kamera pengawas di ujung balkon.

Hana memejamkan mata.

“Tidak bisa lewat sini…”

Ia menurunkan tirai pelan.

Jika ia memaksa keluar, kamera akan menangkap gerakannya dan Soni akan tahu dalam hitungan detik.

LEMARI & KOTAK KECIL

Hana membuka lemari besar.

Di dasar lemari ada kotak aksesoris lama milik istri pertama Soni—Milena—yang disimpan sebagai simbol “kehormatan” keluarga.

Soni jarang menyentuh kotak itu.

Hana menatap kotak tersebut lebih lama.

Jantungnya berdetak keras.

Karena ia tahu, di dalam kotak itu—

ada sesuatu yang bisa membantunya:

kunci cadangan kamar Milena.

Kamar Milena berada di lantai tiga, ujung koridor terpencil.

Sudah lama dikosongkan dan tidak dijaga ketat.

Ada pintu servis kecil di kamar itu.

Pintu itu mengarah ke lorong teknisi—tempat yang dulu dipakai saat perbaikan listrik.

Lorong itu sempit, gelap, dan penuh debu.

Tidak ada kamera.

Dan itu jalur satu-satunya yang tidak pernah diduga Soni.

Hana mengambil kotak itu.

Ia menggenggam kedua tangannya, berlutut, membuka kunci kecil di bagian samping.

Klik.

Kotak terbuka.

Di dalamnya ada perhiasan, foto lama Milena, dan—

sebuah kunci perak kecil.

Kunci kamar Milena.

Hana menarik napas pelan, hampir tersedak oleh ketakutan.

“Ini saja… sudah cukup berbahaya…”

Ia memasukkan kunci itu ke dalam lengan bajunya, mengikatnya dengan lapisan kain agar tidak jatuh.

MENGUJI PENJAGA

Hana berjalan perlahan ke pintu.

Ia menempelkan telinga.

Penjaga masih ada.

Dua langkah dari pintu.

Hana mengetuk pelan.

“Permisi…”

suara Hana kecil, rapuh.

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi.

“Boleh saya minta air…? Saya pusing…”

Salah satu penjaga mendekat.

“Saya akan ambilkan. Tetap di dalam.”

“Terima kasih…”

Hana menjawab lemah.

Langkah kaki penjaga bergerak pergi.

Hanya tersisa satu penjaga di depan pintu.

Hana menahan napas.

Ini artinya:

Setiap jam, penjaga yang satu harus pergi mengambil air atau makan.

Dan itulah celah yang bisa ia gunakan.

Celah kecil…

namun cukup untuk menyusup keluar dan naik ke lantai tiga.

Ia harus menunggu saat yang tepat—

waktu pergantian jaga atau ketika penjaga harus mengambil barang.

Hana menunduk, memejamkan mata.

“James… aku akan buka jalanmu keluar dari bahaya…”

TEKAD

Hana berdiri di depan cermin, memandang wajahnya sendiri.

Pucat.

Takut.

Lelah.

Namun di balik itu…

Ada sesuatu yang baru.

Tekad.

Keberanian yang bahkan ia sendiri tidak tahu ia punya.

Ia meletakkan tangan di atas kaca.

“Kalau aku tetap di sini… James akan datang.”

“Kalau James datang… Soni akan… membunuhnya.”

Air mata jatuh—

namun kali ini bukan karena takut.

Karena keputusan.

Hana berbisik, hampir tanpa suara:

“Aku harus keluar…

meski hanya untuk memperingatkannya…”

Ia memegang kunci itu kuat-kuat.

“Kali ini…”

mata Hana mengeras,

“…aku tidak akan diam.”

DI LUAR KAMAR

Soni berdiri jauh di ujung koridor, memandangi pintu kamar Hana.

Ekspresinya datar, namun matanya…

dingin.

Penjaga melaporkan,

“Tuan, dia minta air.”

Soni tersenyum tipis.

“Biarkan dia.”

“Baik, Tuan.”

Penjaga pergi.

Soni menatap pintu Hana lebih lama.

“…dia akan mencoba keluar.”

Soni tidak tampak marah.

Hanya…

menunggu.

“Dan ketika dia keluar…”

Soni meninggalkan koridor dengan langkah pelan,

“…James pasti akan datang.”

Ia menatap ke tangga menuju lantai dasar.

“Ini saat yang tepat.”

Malam turun perlahan di atas mansion Arther.

Lampu-lampu taman menyala, membuat bayangan panjang di sepanjang pagar tinggi.

Udara dingin, terlalu dingin bagi Hana yang sedang mempersiapkan hal paling berbahaya dalam hidupnya:

Kabur.

Tidak dengan berlari.

Tidak dengan memecah pintu.

Tapi dengan cara yang paling sunyi, paling tersembunyi—

karena jika Soni tahu ia keluar, hanya ada dua kemungkinan:

Ia dikurung selamanya.

Atau… hilang selamanya.

Hana mengusap wajahnya, menarik napas panjang.

“Ini satu-satunya kesempatan…”

Ia berdiri pelan, memperhatikan jam dinding.

Pukul 00:43.

Waktu pergantian penjaga.

Waktu satu-satunya di mana jalur di koridor kosong selama 20—30 detik.

Ia memasukkan kunci kamar Milena ke dalam lengan bajunya, terikat erat dengan selotip tipis yang diambil dari laci meja rias.

Kunci itu terasa dingin di kulitnya—

tapi memberi keberanian aneh.

Membuat Kesempatan

Hana mengambil gelas kosong dari rak.

Ia mendekati pintu perlahan.

Satu penjaga masih di luar.

Ia mengetuk pelan.

“Tuan… boleh saya minta air lagi? Saya haus sekali…”

Suara penjaga terdengar dari luar.

“Tunggu sebentar.”

Langkah pergi.

Cuma satu.

Artinya—

yang menjaga tinggal satu.

Hana segera mundur beberapa langkah.

Ia menaruh gelas di lantai dekat dinding lalu—

DOR!

menendangnya keras sampai gelas itu memantul dan terguling, mengeluarkan suara berisik.

Penjaga tersisa spontan menghampiri pintu.

“Apa itu?!”

“Saya… jatuh… saya pingsan…”

Hana berkata dengan suara sedikit serak, dibuat lemah… dan meyakinkan.

Penjaga langsung panik.

“Tunggu! Saya buka pintunya—”

Itu yang Hana tunggu.

Celah 7 Detik

Saat kunci pintu dibuka—

Hana cepat-cepat berguling ke sisi pintu, tersembunyi dari pandangan penjaga yang masuk.

Penjaga masuk separuh tubuh.

“Bu Hana? Mana—”

Hana tidak membuang waktu.

Ia keluar dari kamar lewat celah yang terbuka hanya beberapa detik itu.

Pintu menutup di belakang penjaga.

Ia berhasil keluar.

Koridor gelap, hanya lampu malam redup menyala.

Dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Hana tidak berada di bawah pengawasan langsung.

Ia menahan napas dan berlari kecil di sepanjang dinding—

ringan seperti bayangan.

Hana menuju tangga samping.

Tangga itu jarang dipakai karena hanya menuju area penyimpanan dan kamar Milena.

Lampunya gelap.

Debu tebal di beberapa sisi.

Hana melangkah perlahan, memegang dada karena rasa takut dan kelelahan bercampur.

Namun ia terus naik.

Langkah kecil.

Satu lantai.

Dua lantai.

Hingga sampai di lantai tiga.

Lorongnya panjang, sepi, dan tidak ada penjaga—

karena semua fokus menjaga lantai dua dan lantai satu.

Hana hampir menangis lega.

“Kamar… kamar Milena…”

Ia berjalan cepat—

melewati dua kamar kosong dan satu gudang kecil.

Akhirnya ia sampai pada pintu besar dengan ornamen kuno:

MILENA ARTHER

Hana menggigil.

Wanita yang pernah ia lihat fotonya bertahun-tahun…

wanita yang wajahnya seperti bayangan masa lalu…

wanita yang kematiannya mengikat takdirnya sendiri…

Hana menelan ludah.

Ia meraba lengan bajunya, mengambil kunci kecil itu.

Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci ke lubang.

Klik.

Pintu terbuka.

Kamar Milena

Ruangan itu gelap, hening, wangi samar lavender lama yang sudah memudar.

Kasur besar, meja rias tertutup kain putih, rak buku penuh debu.

Foto Milena tergantung di dinding.

Hana menatap fotonya.

Rasa bersalah…

takut…

dan dorongan ingin tahu…

bercampur menjadi satu.

“Maafkan saya…”

bisik Hana lirih pada foto itu.

Ia masuk dan menutup pintu.

Kamar ini dulu ruang pribadi Milena—

Soni tidak pernah mengizinkan siapa pun menyentuhnya lagi.

Ironisnya—

inilah satu-satunya tempat yang aman untuk Hana.

Ia menyalakan lampu kecil di sudut.

Lalu ia mencari benda yang paling penting:

Pintu servis.

Ia mengingatnya dari satu kejadian:

Ketika teknisi listrik pernah datang ke mansion, mereka membuka pintu kecil di kamar Milena untuk memperbaiki jalur kabel.

Hana berjalan menyusuri dinding kiri kamar.

Dan di balik rak kecil—

Ia menemukannya.

Pintu kecil dari kayu tua, tinggi hanya sebatas pinggul.

Hana membungkuk dan memutarnya.

Tuk.

Itu pintu yang ia cari.

Lorong gelap di baliknya adalah jalur teknisi yang tembus sampai atap dan ruang mesin.

Tidak ada kamera, tidak ada sensor.

Dan itu bisa membawa Hana keluar dari mansion—

atau setidaknya cukup jauh untuk mencapai sisi luar pagar.

Ia membuka pintu perlahan.

Gelap.

Udara lembap.

Debu yang tebal.

Hana menelan ludah.

Takut, tapi memaksa masuk.

Namun sebelum ia masuk sepenuhnya—

CREAAAK…

Hana berhenti.

Itu suara langkah.

Di luar kamar.

Di lorong lantai tiga.

Langkah pelan.

Teratur.

tok… tok… tok…

Bukan langkah penjaga.

Bukan langkah sembarang orang.

Langkah itu Hana kenal.

Sangat kenal.

Soni.

Hana membeku.

Tidak ada jalan kembali.

Tanpa pilihan lain,

Hana masuk ke dalam lorong sempit itu dan menutup pintu dari dalam.

klik

Gelap pekat.

Ia menutup mulut agar tidak terdengar.

Di luar, langkah Soni berhenti tepat di depan kamar Milena.

Sunyi.

Lalu—

Tok.

Soni mengetuk pintu kamar Milena.

Pelan.

Tapi cukup membuat tubuh Hana kaku seperti batu.

“Hana,” suara Soni terdengar rendah,

“…kau ada di dalam, ya?”

Hana menggigit bibirnya sampai berdarah.

Ia menahan napas.

“Berani juga kau ke kamar ini…”

suara Soni terdengar mendekat ke pintu,

“…bahkan aku hanya masuk ke sini jika perlu.”

Hana meremas mulutnya agar tidak terisak.

Di dalam gelap, ia bisa merasakan getaran langkah Soni lewat dinding tipis.

“Kalau kau pikir kamar ini bisa melindungimu dari aku…”

suara Soni perlahan berubah dingin,

“…kau salah.”

Hana menutup matanya kuat-kuat.

Soni mengucapkan kalimat yang membuat darahnya membeku:

“Dan kau lupa satu hal, Hana…”

Sunyi sejenak.

“…aku selalu tahu ke mana kau pergi.”

19-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!