Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
20
Beberapa hari kemudian. Kania sudah pulih sepenuhnya dari sakitnya. Ia merasa tubuhnya kembali bugar, tidak merasa mual, dan lemas lagi. Sekarang, Kania akan mandi dengan benar. Karena selama sakit ia hanya mandi asal, agar tubuhnya tidak lengket oleh keringat. Kania benar-benar menggosok tubuhnya dengan benar, memakai lulur, dan segala macam produk kewanitaan-nya.
Dua puluh menit kemudian-Kania selesai mandi. Karena hari ini Kania akan berdiam diri di rumah seharian—Bara, tidak akan kesini karena sudah bilang mau mengecek progres hama di perkebunan, sedangkan Dini ada pertemuan komunitas tenun di Balai Desa. Jadilah, Kania akan sendirian hari ini. Kania memutuskan hanya memakai tank top ribbed tipis dan celana hotpants saja.
Saat Kania sedang menuju dapur, tiba-tiba pintu depan terbuka. Bara masuk tanpa mengetuk. Mungkin Bara terbiasa masuk langsung setelah beberapa hari merawat Kania.
“Kania, ini aku bawa sarapan untuk…” Bara langsung menghentikan kalimatnya. Ia melihat Kania yang sedang berdiri menatap kaget ke arahnya, bermandikan cahaya matahari yang masuk dari jendela yang terbuka.
Bara benar-benar terkejut melihat Kania. Pakaian yang di kenakan Kania sangat minim dan seksi sekali. Mata Bara membulat sempurna, kotak yang berisi makanan hampir jatuh. “Astaga! Kania..”
Kania panik karena tertangkap basah Bara memakai pakaian seperti ini. “MAS! Kenapa masuk tidak mengetuk dulu?” Seru Kania.
Wajah Bara memerah. Kerinduan yang ia rasakan selama Kania sakit kini meledak melihat pemandangan itu. Bara mencoba menahan sesuatu yang sangat bergelora melihat bentuk tubuh Kania yang terbalut pakaian seksi itu. “Jangan di TUTUP! Jangan tutup apapun! Damn, Kania. Kamu benar benar sesuatu..”
“Jangan melihatku begitu! Mas Bara duduk dulu di sofa, aku ganti pakaian dulu.”
Bara meletakkan kotak makanan itu dengan cepat ke meja, lalu melangkah cepat ke arah Kania. Dengan suara serak Bara berkata. “Aku akan mengantarmu ke kamar!” Bara memeluk Kania erat-erat, mencium leher Kania. Bara berbisik. “Kamu membuatku gila, Kania.”
Kania merasa panik, menyadari sesuatu berbeda dari Bara, ia tahu, jiwa kelelakian Bara keluar melihat pakaian yang di kenakannya saat ini. Kania mencoba mundur, lalu berbisik. “Aku..ganti baju dulu..” tetapi Bara tidak memberinya kesempatan.
Bara merengkuh erat pinggang Kania dengan kedua tangannya dan menariknya erat ke tubuhnya. Ia menundukkan kepalanya, dan tanpa berkata apa-apa, mencium Kania dengan brutal. Ciuman itu segera menjadi panas dan intens. Kania membalasnya dengan gairah yang sama, melepaskan semua rasa yang ia rasakan.
Kania melingkarkan tangannya di leher Bara, menariknya lebih dekat, meremas rambut di belakang leher Bara. Bara memajukan langkah, menekan tubuh Kania ke dinding yang dingin di ruang tengah. Tekanan tubuh Bara yang kuat di tubuh Kania yang minim pakaian menciptakan sensasi panas yang kontras dengan dinding dingin di punggung Kania. Napas keduanya menjadi cepat, terengah-engah. Ciuman itu menjadi perpaduan antara ciuman dan tarikan napas pendek.
Di tengah ciuman yang memuncak, Bara menyalurkan semua perasaannya pada Kania pada gairah yang tidak terbantahkan lagi. Bara merasakan kehangatan kulit Kania di balik bahan tipis tank top nya. Bara memperdalam lagi ciumannya, membalasnya, saling membelit lidah seperti orang yang kehausan. Tangan Bara tidak hanya mengelus punggung Kania lagi, sudah merayap ke dalam tank top Kania, dan bersemayam di kedua bukit indah sang kekasih. Tangannya meremas kuat bukit indah itu, terdengar suara merdu Kania. Dengan sisa kendali terakhirnya, Bara mengakhiri ciuman itu, menarik wajahnya ke samping. Ia menyandarkan dahinya ke dahi Kania.
Mereka berdua berdiri terengah-engah, dengan tubuh masih saling menempel. Hanya detak jantung mereka yang kencang yang terdengar di ruangan itu. Kania menatap mata Bara, yang masih di penuhi kabut gairah dan rasa bersalah.
“Sayang, maaf..Aku hampir saja sekali lagi tidak bisa mengontrol gairah ini.”
“Mas..” napas Kania masih menderu.
“Damn! Kania, kamu sungguh membuatku candu. Aku tidak bisa mengontrol diriku bila berada di dekatmu.”
“Mas, bukan salahmu sepenuhnya. Aku…juga tidak bisa menahan diriku. Tapi, bukankah ini wajar.”
“Wajar?” Bara memundurkan tubuhnya, membuat jarak yang ada. “Jadi, kamu anggap ini wajar? Jadi, Kania bilang padaku, berapa seringkah kamu melakukan seperti tadi dengan mantan kamu dulu?” Suara Bara terdengar tajam dan dingin.
“Mas! Aku..”
“SHIT!” Bentak Bara dengan keras. “Apakah dia sudah menyentuhmu terlalu jauh?”
“Mas..bukan..” Kania ingin menjelaskan, Kania maju selangkah, ingin meraih tangan Bara tapi sudah lebih dulu di hempaskannya.
“Berhenti Kania. Saya sedang tidak bisa berpikir jernih. Sepertinya saya butuh waktu, maaf, saya pulang dulu.”
Kania menangis melihat kepergian Bara yang di liputi emosi. Padahal beberapa menit lalu mereka baru saja melakukan ciuman yang bergairah, tapi sekarang Bara sangat marah sampai memanggil dirinya saya.
“Aku bahkan memilihmu tinggal di sini, mas. Dan kamu…membutuhkan waktu untuk hubungan ini? Kamu menganggap aku biasa melakukan hal ini dengan mantanku, padahal maksudku tidak seperti itu, andai kamu mau mendengarkan..” bisik tangis kekecewaan Kania.
Esok harinya Kania pagi pagi sudah berdiri di Kedai Senja Ranu, tapi terpasang tanda “Tutup Sementara”. Pemandangan pagi ini, di bawah sinar matahari yang lebih terang, hanya membuat kenyataan itu terasa lebih nyata dan menyedihkan. Kania menyandarkan tubuhnya ke dinding kedai, mengeluarkan ponselnya. Ia melihat riwayat panggilan ke Bara.
Terlihat tiga panggilan terakhir hari ini, semuanya dengan status “Tidak Terjawab”. Di atasnya, ada riwayat pesan singkat dari kemarin yang semuanya hanya berstatus “Terkirim”. Kania menekan tombol panggil sekali lagi. Ia mendekatkan ponsel ke telinga, matanya fokus menatap Kedai yang terkunci rapat.
Kania menunggu. Detik-detik berlalu dengan lambat, dipenuhi harapan kecil yang segera pupus. ‘Angkat,mas. Kumohon.’ Tapi terdengar suara operator wanita “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan…”
Kania menarik napas tajam dan menurunkan ponselnya. Ekspresi kecewa yang tebal kini bercampur dengan rasa panik yang mulai muncul. “Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja, mas.” Pengabaian ini terasa menyakitkan daripada rasa tidak percaya itu sendiri. Kania berjalan cepat menjauhi kedai, dengan langkah lambat Kania berjalan pulang kembali ke rumahnya.
Sudah beberapa hari Kania tidak bisa menemui Bara, panggilan nya tidak terjawab dan pesannya tidak terbalas. Kania duduk di meja depan tivi, matanya lebar menatap layar laptop-nya. Menunjukkan bahwa Kania sedang memesan tiket kereta api untuk keberangkatan malam nanti. Kania memejamkan mata sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. Kania mengambil napas dalam-dalam.
“****Ditinggalkan. Di buang. Itu yang aku rasakan. Bukan cuma tidak percaya, tapi seolah semua waktu kita, semua janji kita…tidak berarti apa-apa.”
Kania membuka matanya dan melihat pantulan dirinya di layar laptop. Wajahnya terlihat pucat dan sedih. Secara perlahan, raut wajah Kania berubah. Kesedihan itu tidak hilang, tapi ia kini di campur dengan api amarah yang dingin—kemarahan terhadap Bara atas perlakuan ini.
“Aku akan menemui mas Bara terakhir kali, kalau kali ini gagal. Aku akan meninggalkan desa ini. Aku pantas diperlakukan lebih baik..”
Kania berjalan dengan langkah cepat di antara barisan pohon kopi yang rapi. Kania berharap menemukan Bara sedang menyendiri. Kania melihat sebuah pondok kecil di tengah kebun. Kania merasakan lonjakan adrenalin yang mencemaskan. Ia mendekat perlahan, jantungnya berdebar kencang.
Semakin dekat, terdengar suara tawa yang keras. Kania mengenali jelas suara tawa siapa itu. Itu suara tawa Bara. Suara tawa itu tidak terdengar sebagai tawa sedih atau tertekan. Itu adalah tawa yang lepas dan bahagia. Kania menahan napas. Ia menggeser sedikit dedaunan yang menghalangi pemandangan di depan nya. Dan apa yang di saksikan langsung menamparnya.
Bara sedang duduk di teras pondok kayu, sedang menikmati secangkir teh atau kopi. Bara tersenyum lebar, mencondongkan tubuh ke Laras saat ia berbicara. Laras menyentuh lengan Bara sambil membalas cerita, dan senyum Bara semakin lebar.
Wajah Kania semakin memucat. Matanya melebar, tidak lagi di penuhi kesedihan, melainkan campuran antara pengkhianatan, kebingungan, dan kepedihan yang menusuk. Ditinggalkan. Di buang. Kania menyadari pengabaian Bara, kedai yang di tutup, dan rasa tidak percaya Bara padanya, bukanlah sebuah krisis hubungan, tapi sebuah pilihan.
“Selama ini, aku pikir mas Bara menghindar karena dia terluka. Ternyata…dia hanya sedang sibuk bahagia, bukan bersama dirinya.”
Air mata Kania akhirnya tumpah, namun Kania segera menyekanya dengan keras. Kania tidak akan menangis di sini, di depan mereka, apalagi memohon penjelasan. Kania mundur perlahan, tanpa membuat suara. Kania mengambil langkah mundur yang jauh dari pondok, dari Bara, dan dari seluruh hubungan mereka. Kania tidak perlu menunggu senja. Keputusannya sudah final.
Tiba di rumah kakek Tirta, Kania menarik kopernya yang sudah siap ia bawa. Menatap seluruh ruangan penuh kenangan di rumah ini. Untuk terakhir kalinya Kania akan berpamitan pada Bara.
My Coffee-in
Mas, beberapa hari ini aku sudah berusaha mencari dan mendatangi ke semua tempat yang biasa kamu kunjungi. Tapi semua seolah tertutup rapat. Aku tidak bisa menemuimu, aku mengerti kamu butuh waktu, tapi di sini aku merasa di abaikan, di tinggalkan. Tadi aku melihatmu..melihatmu di pondok itu, sedang tertawa lepas, bahagia bersama Laras. Ternyata, kamu baik-baik saja, sedangkan aku hancur! Aku doakan kamu baik-baik saja, terima kasih untuk waktu indahnya beberapa waktu ini. Jaga dirimu, mas.
Kania membaca ulang pesan itu. Matanya berair, tetapi tangannya tidak goyah saat Kania menekan tombol kirim. Kania menarik kopernya, mematikan seluruh lampu di ruangan ini, mengunci pintu rumahnya dan menyimpan kunci itu di kantong tas-nya. Kania tidak lagi melihat ke belakang atau ke ponselnya. Kania meninggalkan desa Ranu Asri dengan kekecewaan melebihi saat Kania datang kesini.