"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 20
Setelah hari dimana Camilla memutuskan untuk menghentikan penyelidikan, Arthur tidak pernah datang lagi ke kamarnya.
"Mary.. apa yang Arthur lakukan hari ini?" Tanya Camilla begitu selesai menghabiskan sarapannya.
"Yang Mulia Putra Mahkota beberapa hari ini sibuk dengan laporan perang, administrasi da lainnya"
"Benarkah?"
Tok tok tok
Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat keduanya tersentak, dengan cepat Mary membuka pintu lalu mendapati pelayan dari Putra Mahkota yang berdiri disana.
"Selamat pagi, saya menyampaikan pesan dari Putra Mahkota bahwa Putri Mahkota di tunggu di Ruang Kerja Putra Mahkota"
Mary memandang Camilla yang mendengar penyampaian itu dari tempat duduknya.
"Baiklah, Yang Mulia akan segera ke sana," jawab Mary pada pelayan itu.
Pintu kamar pun di tutup, kedua manusia yang mendengar informasi itu akhirnya saling bertatapan bingung.
Meski tidak tahu apa yang akan Arthur lakukan, namun langkah kaki Camilla dengan cepat kesana.
Begitu sampai di Ruang Kerja Putra Mahkota, pria itu terlihat sibuk, ada tumpukan dokumen yang menjulang tinggi di mejanya.
Tak hanya itu, para pelayan istana pun sibuk, terus-menerus membawa kertas-kertas baru. Meja kerja sudah penuh sesak, dengan enam troli berisi buku-buku tebal dan perkamen yang digulung.
Camilla berdiri menunggu perintah Arthur namun pria itu seolah menjadikannya patung.
Kalau pekerjaannya banyak, mengapa dia menyuruhku datang?
Seolah bisa membaca pikiran Camilla, pria itu tiba-tiba mendongakkan kepala menatap Camilla dan berkata, "Oh.. kau sudah datang rupanya, duduk disana"
Di meja Camilla, hanya ada sebotol tinta hitam dan sebuah pena. Bahkan pena itu belum menyentuh tinta.
Camilla menghabiskan setengah hari di istana Putra Mahkota, menghabiskan waktunya sebelum pergi.
Meskipun Arthur mengatakan akan meminta bantuan jika diperlukan, yang diberikannya kepadanya hanyalah meja, tanpa memberinya pekerjaan apa pun.
Pesannya jelas.
Sekalipun ia tenggelam dalam tumpukan dokumen, ia tak berniat menerima bantuan Camilla. Lebih dari itu, itu adalah pernyataan bahwa ia tidak cukup kompeten untuk memintanya.
Yah, tidak ada keluhan yang berarti. Menyaksikan Arthur bekerja dengan fokus yang begitu intens terasa menghibur dengan caranya sendiri.
Dan apakah tempat ini benar-benar lokasi yang prima? Hari itu terasa berlalu begitu cepat.
Dan bukan hanya hari itu, tiga hari kemudian Arthur juga memerintahkan hal yang sama.
Kini Camilla memutar-mutar pena tak berguna di jarinya dengan malas. Sesaat, Arthur melirik ke arah pajangan kekanak-kanakan itu, tetapi segera mengalihkan perhatiannya kembali ke dokumen-dokumennya.
Tok, tok.
Suara ketukan diikuti dengan masuknya kepala pelayan yang telah melayani Arthur selama bertahun-tahun.
"Yang Mulia, Sir Aiden Damor, Komandan Ksatria, telah tiba. Haruskah saya mengantarnya ke ruang audiensi?"
“Ah, begitu. Sudah waktunya.”
Arthur menyingkirkan kertas-kertasnya dan meninggalkan kantornya. Setelah satu-satunya sumber hiburan hilang, Camilla menelan sedikit kekecewaan.
Begitu Putra Mahkota keluar, para pengawalnya bergerak cepat. Tiga atau empat orang membentuk barikade manusia di sekeliling meja, berdiri seolah berjaga-jaga.
Tak perlu bertanya siapa yang mereka waspadai. Camilla mendengus, memalingkan muka.
Tepat saat itu, tatapannya tertuju pada jam dinding.
Sekarang setelah Arthur pergi menemui Knight Commander, pertemuan itu akan memakan waktu setidaknya satu jam.
Ah, ini akan membosankan.
Menghabiskan waktu di kantor tanpa Arthur sungguh tak tertahankan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti membuang-buang waktu berharganya.
Sementara Camilla menyia-nyiakan waktu berharganya dengan tidak melakukan apa-apa, Arthur memasuki ruang audiensi, tempat Aiden sudah menunggu.
Putra Mahkota terduduk di sofa besar satu dudukan, tubuhnya terbenam di antara bantal-bantal bulu angsa. Rambut pirangnya yang disisir rapi ke belakang sedikit berantakan. Sambil dengan malas menyisir poninya ke belakang, Aiden menyunggingkan senyum tipis.
“Kamu terlihat kelelahan.”
“Dan kamu tampak senang.”
“Bagaimana mungkin aku tidak khawatir, sementara Yang Mulia sedang bekerja begitu tekun?”
"Cukup omong kosongnya. Lanjutkan laporannya."
Masih bersantai, Arthur memberi isyarat dengan jari-jarinya dengan malas. Sambil menegakkan tubuhnya, Aiden menata rapi dokumen-dokumen yang dibawanya di atas meja.
Jumlah pelamar yang lolos seleksi dokumen untuk menjadi prajurit Kerajaan adalah 182 orang. Proses seleksi akan dimulai besok.
“Itu lebih dari yang aku harapkan.”
“Sudah tujuh tahun sejak rekrutmen terakhir. Lamaran membanjiri.”
Ordo kesatria terutama menarik para bangsawan rendahan. Bagi mereka, bergabung adalah jalan paling pasti menuju kesuksesan.
Janji imbalan berdasarkan prestasi menjadikannya karier yang menarik. Jika mereka berprestasi, mereka bahkan mungkin dianugerahi gelar, menjadikan ini kesempatan yang tak boleh mereka lewatkan.
Mengambil setumpuk dokumen tebal, Arthur dengan cepat memindai nama-nama dan detail yang tercetak. Meskipun posturnya santai, tatapannya tajam.
“Sebaiknya ada beberapa orang yang mampu di dalamnya.”
"Kita bisa bermurah hati dalam seleksi. Setidaknya setengahnya akan mengundurkan diri selama pelatihan."
“Karena Komandan Ksatria kita yang terkasih sangat kejam.”
Senyum sinis tersungging di bibir Arthur. Meski kata-katanya mengandung nada tajam, Aiden hanya mengangguk, seolah setuju.
Arthur melemparkan berkas-berkas lamaran ke atas meja. Lama menatap dokumen membuat matanya terasa kering. Ia mendongakkan kepala, mengusap-usap kelopak matanya, menekan rasa panas yang semakin meningkat.
"Selesaikan putaran pertama seleksi. Setelah itu, saya akan meninjau sisanya sendiri."
"Kamu yakin? Kudengar kamu kurang tidur."
"Ini baru masa penyesuaian awal. Nanti juga membaik. Sekarang, saya perlu mengawasi secara pribadi.."
Dia memotong ucapannya dengan tertawa kecut, sambil menekan dahinya dengan jari-jarinya.
“Aku dengar kau menahan wanita itu di Ruang Kerjamu selama beberapa hari ini?”
"Ah... rupanya kau sudah mengetahuinya."
Arthur menyeruput teh dinginnya perlahan.
Mereka telah saling kenal selama dua puluh tahun. Karena mengenal sifat Arthur yang teliti lebih dari siapa pun, Aiden merasa sulit membayangkan Arthur menoleransi orang yang si pilih oleh Ibu Suri di sisinya.
Karena penasaran, dia mengambil kesempatan itu untuk bertanya.
"Aku ragu kau memberinya tugas sungguhan. Jadi, apa yang dia lakukan sepanjang hari?"
"Dia cuma... ada. Dia menatap pepohonan, lalu menatap wajahku."
“Dia menatap Yang Mulia?”
“Dengan ekspresi yang benar-benar bingung.”
Mengingatnya saja membuat Arthur tertawa.
Ia tidak pernah berniat mendelegasikan pekerjaan apa pun kepada Camilla. Satu-satunya alasan ia tetap dekat dengan Camilla adalah untuk memastikan wanita itu pulih dengan baik serta tidak mendapat kejadian serupa selama Arthur mengerjakan tugasnya yang banyak itu
Camilla El Barak, yang duduk di sana bagai ornamen indah, tak repot-repot menyembunyikan tatapannya. Setiap kali Arthur mendongak, tatapan mereka tak pernah lepas.
Tidak ada motif tersembunyi, tidak ada rencana tersembunyi, hanya ketertarikan murni tanpa filter. Hal itu membuat Arthur benar-benar bingung.
“Rumor sudah menyebar di ibu kota bahwa anda sepertinya memang jatuh hati padanya.”
"Cepat sekali. Yah, bangsawan memang suka cerewet."
"Kamu terlalu acuh tak acuh. Bagaimana kalau dia mulai menyimpan perasaan yang tidak pantas untukmu?"
"Itu terserah dia, salahnya sendiri mengapa jadi tunanganku, pesonaku memang banyak"
“Anda semakin aneh..”
***
Di ruang kerja Putra Mahkota, Camilla masih duduk dengan dagu bertumpu di telapak tangan, pena di tangannya berputar-putar tanpa tujuan. Satu jam lebih sudah berlalu sejak Arthur meninggalkan ruangan bersama pengawal dan pelayannya.
Mary tentu akan marah jika tahu betapa ia membuang waktu hanya dengan menatap meja kosong. Tapi bukankah salah Arthur juga? Mengundangnya, lalu meninggalkannya sendirian bersama para pengawal yang menatapnya seolah ia seekor burung asing yang bisa menyerang kapan saja.
“Haah..” Camilla mendesah, memutar bola matanya malas.
Dari balik pintu yang setengah terbuka, samar-samar terdengar suara langkah terburu-buru. Seorang pelayan perempuan muncul dengan wajah pucat, tangannya menggenggam setumpuk dokumen. Begitu melihat Camilla, ia tampak ragu, bahkan hampir menjatuhkan map yang dibawanya.
“Eh..P-putri Mahkota,” gumamnya gugup sambil menunduk dalam-dalam.
Camilla menaikkan sebelah alis. “Tenang saja, aku tidak akan menggigitmu. Apa itu?”
“D-dokumen tambahan untuk Yang Mulia Putra Mahkota, seharusnya saya bawa langsung kepadanya, tapi beliau sedang bersama Komandan Damor. Jadi.. mungkin sebaiknya saya menunggu di luar.”
“Beri saja padaku.”
Pelayan itu tampak semakin panik. “Tapi.. tapi.. itu tidak boleh, Yang Mulia. Hanya..”
“Sudahlah,” potong Camilla sambil berdiri. Dengan langkah ringan ia meraih map tebal itu dari tangan sang pelayan. “Aku tunangannya. Apa menurutmu Arthur akan murka karena aku menyentuh dokumennya?”
Pelayan itu ingin membantah, namun akhirnya hanya mengangguk pasrah. Camilla kembali ke kursinya, membuka lembaran pertama. Tulisan rapi memenuhi halaman, daftar panjang yang memuat nama, umur, dan catatan singkat para pelamar kesatria baru.
“Oh..” gumam Camilla sambil menyusuri daftar itu dengan jari. “Jadi ini yang membuatnya begitu sibuk.”
Nama-nama itu terasa asing, tapi beberapa keluarga tampak ia kenal dari gosip-gosip istana. Ada bangsawan kecil yang terkenal karena ambisinya, ada pula nama putra seorang baron yang kabarnya sering terlibat perkelahian di ibu kota.
Camilla mengernyit. “Arthur pasti akan memeras habis mereka sampai tersisa setengahnya. Benar-benar kejam.”
Meski begitu, ia tidak bisa menahan senyum kecil. Ada sesuatu yang menarik dalam melihat sisi lain dari pekerjaan Putra Mahkota, bagian yang jarang diperlihatkan kepada orang luar.
***
Sementara itu, di ruang audiensi, Aiden masih duduk santai dengan senyum nakalnya. Arthur, yang kini memijat pelipisnya, meneguk teh sekali lagi sebelum melanjutkan.
“Camilla berbeda dari apa yang kubayangkan,” ucapnya pelan.
“Oh?” Aiden bersandar. “Kau membayangkan apa sebelumnya?”
“Seorang gadis manja yang hanya tahu bagaimana membuat keributan, mungkin. Tapi.. dia diam saja, duduk berjam-jam tanpa mengeluh, hanya menatapku. Itu.. anehnya, membuatku sedikit tenang.”
Aiden mendengus geli. “Kedengarannya seperti seorang suami yang baru menemukan kebiasaan unik istrinya.”
Arthur menatapnya tajam, namun tatapan itu tak cukup untuk membuat Aiden menunduk.
“Yang jelas, aku tidak berniat melibatkannya dalam pekerjaan negara,” tegas Arthur. “Aku hanya ingin memastikan dia aman. Itu saja.”
“Jika benar hanya itu, mengapa wajahmu terlihat berbeda saat menyebut namanya?” Aiden terkekeh, lalu menutup mulutnya seolah menyimpan rahasia.
Arthur hendak membalas, namun pintu diketuk dua kali. Seorang pengawal masuk, membisikkan sesuatu ke telinga Putra Mahkota. Arthur mengangguk, lalu berdiri.
“Sudah cukup untuk hari ini. Kau urus sisanya.”
“Seperti biasa,” jawab Aiden dengan nada menggoda.
Ketika Arthur kembali ke ruang kerjanya, ia mendapati pemandangan yang tak biasa.
Camilla duduk tegak, matanya serius menyapu dokumen-dokumen yang ia ambil dari pelayan tadi. Pena di tangannya bergerak cepat, menuliskan catatan kecil di sisi kertas.
Arthur berhenti sejenak di ambang pintu, menatap tanpa bersuara. Para pengawal juga tampak bingung, tapi tak ada yang berani menghentikan Putri Mahkota.
“Apa yang kau lakukan?” suara Arthur akhirnya terdengar.
Camilla mendongak, lalu tersenyum seolah tertangkap basah. “Oh, kau sudah kembali. Aku hanya.. yah, membaca. Ternyata lumayan menarik. Aku menuliskan beberapa catatan tentang reputasi keluarga mereka, setidaknya dari gosip yang pernah kudengar.”
Arthur melangkah maju, mengambil lembaran di depannya. Di sana, benar saja, ada coretan kecil di samping beberapa nama:
Putra Baron Hildebrand – terkenal sering berkelahi, hati-hati jika diterima.
Keluarga Larnoux – terlibat hutang besar, mungkin mencari jalan pintas.
Anak ketiga keluarga Rivern – katanya jenius pedang, tapi sombong.
Arthur menatapnya lekat-lekat. “Kau menyentuh dokumennya.”
“Benar. Kau yang meninggalkanku tanpa pekerjaan. Setidaknya biarkan aku berguna sedikit.”