Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Malam Penuh Kilasan
Hujan malam tadi masih membekas di udara, tapi Shen Wuyan sudah terlelap di lantai meditasi sekte. Lilin-lilin kecil menetes, aromanya bercampur dengan sisa dupa, menciptakan kabut tipis yang berputar di sekeliling tubuhnya. Napasnya perlahan, seirama dengan gelombang qi yang baru mulai menenangkan diri, namun kesadaran batin Wuyan tetap tegang. Ia merasa sesuatu menunggu di tepi pikirannya.
Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya memudar. Cahaya lilin menghilang. Ruang meditasi lenyap, digantikan oleh gelap perak yang menebal. Permukaan air muncul di bawah kakinya—Laut Tanpa Dasar—berkilau seperti perak cair, gelombang bergerak tanpa arah. Aroma basah dan asin menusuk hidungnya, meskipun ia tahu ini hanya mimpi. Tapi tekanan di dadanya terasa nyata.
Gelombang pertama dari ribuan wajah muncul di permukaan air, samar dan bergetar. Wuyan menatap, merasakan denyut emosi yang tak ia kenal: senyum getir, tangis yang tertahan, kemarahan dingin, dan kesedihan murni. Setiap wajah menuntut pengakuan, menuntut perhatian. Ia berusaha menarik napas, menenangkan Hun dan Po di dalam dirinya, namun sebagian pikiran sudah terseret oleh arus fragmentasi.
Bayangan muncul di sampingnya. Lembut tapi dingin, seolah menyelip di sela-sela kesadaran. “Semakin kau menolak,” bisiknya, “semakin dalam mereka masuk.” Suaranya bergema di kepala Wuyan, menembus setiap lapisan pikirannya. Wuyan menoleh, tapi bayangan itu tidak benar-benar ada; hanya sosok samar yang seolah menilai setiap denyut jantungnya.
Wajah-wajah bergerak lebih cepat, bergantian muncul dan menghilang, menyisakan kilasan emosi yang mengguncang kesadaran Wuyan. Ia merasa kehilangan kendali—setiap kilasan menyeret potongan pikirannya, membuatnya seperti dicabik dari dalam. Napasnya tersengal. Tangan kanannya gemetar tanpa sebab.
“Harus… tetap sadar,” bisiknya pada diri sendiri. Hun dan Po di dalam tubuhnya mulai bergetar tak sinkron. Sebagian menuntut ekspresi agresif, sebagian lagi menahan agar tetap tenang. Energi dalam dirinya bercampur, menciptakan getaran yang membuat permukaan Laut Tanpa Dasar beriak liar.
Salah satu wajah muncul lebih lama dari yang lain. Mata itu menatapnya langsung, penuh intensitas, menembus tulang dan dagingnya. Wuyan merasakan rasa sakit dan takut yang bukan miliknya, tetapi nyata. Ia ingin menutup mata, menolak — tapi sebuah kekuatan halus menahannya. Bayangan di sisinya berbisik: “Kalau kau lari, mereka akan menelanmu. Kau harus melihat setiap wajah, atau kehilangan dirimu.”
Wuyan menutup mata sejenak. Ia mencoba menyatukan Hun dan Po, mencari titik keseimbangan di tengah arus fragmentasi. Perlahan, energi di dalam tubuhnya menenangkan sedikit. Tapi kilasan wajah lain muncul dari segala arah, wajah-wajah yang pernah ia serap: beberapa familiar, beberapa asing, tapi semua membawa luka, amarah, dan kehilangan. Ia merasakan rasa tanggung jawab yang menekan, lebih berat dari batu di dadanya.
Gelombang emosi itu membuatnya terseret sedikit mundur. Permukaan air di bawah kakinya membias bayangan dirinya sendiri—tiga bayangan: Wuyan, bayangan hitamnya, dan wajah pertama yang pernah diserap. Mereka menatapnya, diam, menunggu. Ia ingin berteriak, tapi suara tidak keluar. Hanya denyut getaran di dalam kepala yang menandakan keberadaan mereka.
“Kau takut,” suara bayangan terdengar, lembut tapi menggetarkan. “Tapi ketakutan itu bukan kelemahan, Wuyan. Itu adalah jalan untuk menerima mereka.”
Wuyan menelan ludah. Air di sekitarnya beriak liar, wajah-wajah muncul semakin cepat, memaksa setiap fragmen dirinya untuk bereaksi. Ia merasakan kilasan kekuatan wajah pertama—energi liar yang mendorong tubuhnya bergerak sendiri, energi lain yang menuntut pengakuan. Ia harus memilih: menolak dan hancur, atau menerima dan mempertahankan kesadaran.
Perlahan, Wuyan melangkah ke depan, kakinya menyentuh permukaan air, tetapi ia tidak tenggelam. Gelombang wajah menyelimutinya. Senyum getir, tangis, kemarahan, dan ketakutan yang tertahan menimpa pikirannya secara bersamaan. Ia merasakan sebagian diri mereka bercampur dengan dirinya—tidak bisa menolak, tidak bisa melawan. Tubuhnya gemetar, tapi kali ini ia tidak panik. Hanya ada kesadaran penuh akan fragmentasi yang ada di dalamnya.
Bayangan di sampingnya mengangguk pelan. “Kau mulai melihatnya, bukan?” katanya. “Setiap wajah adalah bagian darimu. Mengabaikan mereka hanyalah ilusi kekuatan.”
Wuyan menelan napas panjang. Dalam gelap perak Laut Tanpa Dasar, wajah-wajah itu tidak hanya menatapnya—mereka menuntut. Ia merasakan rasa sakit mereka, kehilangan mereka, dan amarah yang belum tersalurkan. Semua itu bercampur dengan identitasnya sendiri, menciptakan tekanan yang membuatnya hampir roboh. Namun di tengah kegelapan itu, satu kesadaran muncul: ia harus tetap berdiri, harus menerima sebagian mereka untuk bertahan.
Di ufuk laut yang samar, satu wajah muncul lebih jelas daripada yang lain. Wajah itu familiar—bukan asing. Ekspresinya mengancam namun akrab. Rasa takut, sakit, dan tanggung jawab menyerbu kesadarannya sekaligus. Wuyan mengerjap cepat, mencoba menyatukan semua fragmentasi batin, merasakan kilasan energi Hun dan Po berpadu, namun masih liar. Ia sadar, ini adalah ujian pertamanya: apakah ia mampu menghadapi ribuan wajah tanpa kehilangan diri sepenuhnya.
Ia membuka mata. Permukaan air pecah oleh refleksi ribuan wajah yang menatapnya, berbisik, memanggil, menuntut. “Kau harus memilih, atau semua ini akan menelanmu,” kata suara itu, bergema di kepalanya.
Wuyan menunduk, menyadari beratnya tanggung jawab. Ia merasa terpecah—sebagian dirinya ingin lari, sebagian ingin menerima. Gelombang emosi dari ribuan wajah menghantamnya seperti badai, namun kini ia berdiri tegak, menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan sebagian kekuatan wajah lain menyatu dengan dirinya tanpa rasa takut. Perlahan, permukaan Laut Tanpa Dasar menjadi sedikit tenang, namun bayangan dan kilasan wajah pertama masih menunggu.
Wuyan berdiri di permukaan air yang kini tampak tenang, namun kesunyian itu palsu. Ribuan wajah masih mengelilinginya, bergantian muncul dan menghilang, meninggalkan gema emosi yang menempel di pikirannya. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas, tetapi getaran Hun dan Po di dalam tubuhnya semakin liar, menimbulkan sensasi aneh seolah tangannya, kakinya, bahkan hatinya tidak sepenuhnya miliknya.
Salah satu wajah muncul di dekatnya, lebih jelas daripada sebelumnya. Mata itu menembus hingga ke tulang dan darahnya. Wuyan merasakan kilasan masa lalu, luka dan kegagalan yang ia simpan rapat. Wajah itu menatap, menuntut pengakuan. Napas Wuyan tercekat. Ia tahu, menolak berarti menghadapi kehancuran diri sendiri. Namun menerima juga berarti membiarkan fragmentasi menyatu lebih dalam.
Bayangan di sampingnya muncul kembali, samar tapi pasti. “Setiap kali kau menolak,” katanya pelan, “mereka masuk lebih dalam, menyebar, merobek kesadaranmu.” Suaranya seolah bersatu dengan gelombang perak di bawah kaki Wuyan, membuatnya gemetar.
Wuyan membuka mata, menatap wajah-wajah itu. Mereka bukan lagi asing—setiap ekspresi, setiap kilasan amarah atau kesedihan, memiliki bagian dari dirinya sendiri. Ia merasakan identitasnya tercabik, namun kehadiran itu bukan hanya ancaman. Ada kekuatan di dalamnya, energi dari ribuan wajah yang menunggu untuk diakui.
Ia menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya, mencoba berbicara dalam diam. Tanpa suara, tanpa gerakan, hanya niat dan kesadaran. “Aku mengakui kalian. Semua yang kalian bawa, semua yang kalian rasakan, aku melihatnya. Tapi aku tetap aku.”
Permukaan laut beriak liar. Ribuan wajah berputar di sekitarnya, menatap, menunggu. Suara batin Wuyan berdentum: bayangan hitamnya berbisik, Liang Yu berbisik, dan dirinya sendiri menahan. “Apakah kau siap menghadapi konsekuensi itu?”
Seketika, wajah yang paling jelas—yang familiar tapi mengancam—melangkah maju, menembus permukaan air seakan ingin menyatu dengan Wuyan. Kilasan energi memancar dari mata wajah itu, memanifestasikan rasa sakit, kemarahan, dan tanggung jawab yang belum terselesaikan. Wuyan menatapnya, merasakan getaran di dada: setiap napas seperti pisau yang menebas kesadaran.
Ia menelan ludah. “Aku… aku tidak bisa mundur. Tidak sekarang.” Hun dan Po berdenyut liar, menuntut koordinasi. Wuyan menutup mata sejenak, menyatukan seluruh energi fragmentasi yang ada, mencoba menenangkannya, memberi bentuk pada kekacauan internal. Permukaan air berkilau, mencerminkan cahaya perak yang kini sedikit stabil.
Bayangan hitamnya tertawa pelan. “Kau pikir kau bisa mengendalikannya? Hanya dengan sadar? Kesadaran hanyalah tirai tipis. Begitu koyak sedikit saja, aku yang akan mengambil alih.”
Wuyan menggertakkan gigi. Ia menahan energi liar itu, menyalurkan sebagian fragmentasi ke tubuhnya, sebagian lagi tetap menempel di permukaan laut. Ia merasakan identitasnya kembali stabil—namun rapuh, seperti kaca yang retak tapi belum pecah.
Kilasan wajah pertama muncul lagi. Kali ini, tidak hanya menatap—wajah itu berbicara, tidak dengan suara, tetapi langsung ke kesadarannya:
“Kau harus memilih. Atau semua ini akan menelanmu.”
Getaran kata itu menembus setiap lapisan pikiran Wuyan. Ia tahu, ini bukan sekadar mimpi. Ini ujian pertama untuk menerima fragmentasi jiwanya. Penolakan bisa menghancurkannya, namun penerimaan berarti ia harus menanggung semua wajah yang pernah ia serap—dan yang akan datang.
Wuyan menutup mata, merasakan dirinya terpecah menjadi tiga—tidak hanya secara simbolik, tapi fisik di dunia internalnya. Ia bisa merasakan Liang Yu, bayangan hitam, dan dirinya sendiri berinteraksi, saling mempengaruhi, bertarung, dan menyatu. Napasnya tersengal. Ia tahu, jalan satu-satunya adalah mengintegrasikan mereka, bukan menolak.
Ia membuka mata. Permukaan Laut Tanpa Dasar beriak lembut. Wajah-wajah itu mulai bergerak lebih lambat, seperti menunggu persetujuan. Wuyan mengangkat tangan, menyalurkan energi dari Hun dan Po ke permukaan air, membiarkan fragmentasi menempel tapi terkendali. Setiap gelombang energi memantulkan ribuan wajah dalam kilasan cahaya perak, seakan berkata: “Kau mengakui kami.”
Satu wajah menembus permukaan, lebih nyata dari yang lain, menatap Wuyan dengan mata yang kosong tapi penuh penilaian. Wuyan merasakan gelombang tanggung jawab yang menekan dada, dan dalam sekejap, ia mendengar suara yang familiar, halus tapi menohok:
“Kau harus belajar hidup dengan kami, atau kami akan menghancurkanmu dari dalam.”
Wuyan menelan, merasa setiap fragmen jiwanya berdenyut serentak. Ia menunduk, napasnya mulai stabil. Ia tahu, ini baru awal. Ribuan wajah bukan sekadar musuh batin; mereka adalah bagian dari dirinya, potongan-potongan yang harus diterima untuk bertahan.
Dalam kesunyian yang menegangkan itu, permukaan Laut Tanpa Dasar menenangkan diri, gelombang redup, dan wajah-wajah yang paling menuntut kini diam, menunggu. Wuyan menatap jauh ke depan, merasakan integrasi pertama dari ribuan fragmentasi yang mengalir di tubuhnya.
Di dalam benaknya, bayangan hitam tersenyum samar. Liang Yu muncul, samar tapi jelas, menatap langsung ke mata Wuyan. “Kau harus belajar berjalan di antara kami semua. Jika tidak… kau akan kehilangan diri.”
Wuyan menunduk, mengangkat tangan kanannya perlahan. Air perak di bawah kakinya beriak lembut, memantulkan kilasan cahaya yang kini lebih stabil. Ia berbisik pada diri sendiri:
“Aku akan berjalan. Aku akan menerima semuanya… tapi tetap menjadi aku.”
Suara terakhir bergema dari wajah pertama, menembus kesadaran Wuyan:
“Kau harus memilih, atau semua ini akan menelanmu.”
Dan dengan itu, Wuyan membuka mata di dunia nyata. Lilin-lilin di ruang meditasi masih menyala, aroma dupa memenuhi udara, namun jantungnya berdetak cepat. Napasnya berat. Ia tahu, malam ini, Laut Tanpa Dasar mengajari sesuatu yang lebih berbahaya daripada sekadar mimpi: menghadapi ribuan wajah di dalam dirinya sendiri.
Bayangan di sisinya—tidak nyata, tapi terasa—tersenyum. “Selamat datang di awal jalan yang tidak ada akhir,” bisiknya.
Wuyan menatap sekeliling, memahami kedalaman fragmentasi yang baru mulai ia rasakan. Ribuan wajah tidak lagi sekadar kenangan. Mereka hidup di dalamnya, menuntut eksistensi, menunggu pengakuan. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.
Hening menyelimuti ruangan meditasi. Di luar, angin malam berdesir, membelai lilin-lilin kecil, dan permukaan air di dunia mimpi kini tenang—untuk sementara.
Tapi suara itu, suara yang menembus kesadarannya, masih terdengar, samar namun nyata:
“Kau harus memilih, atau semua ini akan menelanmu.”
Wuyan menutup mata, merasakan Hun dan Po berdenyut, fragmentasi yang mulai terintegrasi, namun kesadaran penuh tentang wajah-wajah yang tersisa tetap menekannya. Ia mengerti satu hal dengan jelas: malam ini hanyalah awal dari ujian batin yang sesungguhnya, dari pengakuan terhadap ribuan wajah dalam dirinya.
Dan di dalam diam itu, Laut Tanpa Dasar menunggu…