Seorang kakak miskin mendadak jadi sultan dengan satu syarat gila: Dia harus menghamburkan uang untuk memanjakan adik semata wayangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Matematika Orang Gila
Atlas menampar pipinya sendiri. Keras.
Plak!
Rasa perih menjalar di kulitnya yang basah. Dia tidak sedang bermimpi. Hujan di luar masih turun, atap masih bocor, dan layar biru transparan itu masih melayang diam di udara, menatapnya dengan tulisan yang tidak masuk akal.
[Aturan Utama: Setiap 1 Rupiah yang Anda habiskan untuk Adik Anda, akan dikembalikan 100 kali lipat.]
"Ini gila," bisik Atlas, suaranya serak. "Aku pasti sudah gila karena kelaparan."
Dia mencoba mengusir layar itu dengan tangannya, tapi tangannya hanya menembus cahaya hologram tersebut.
Atlas kembali menatap Orion. Adiknya menggigil lagi di bawah selimut tipis. Bibirnya yang biasanya merah muda kini terlihat sedikit kebiruan. Orion butuh kehangatan, sesuatu yang masuk ke perutnya untuk melawan dingin.
Atlas merogoh saku celananya lagi. Kali ini dengan putus asa. Dia mengeluarkan tiga keping uang logam sisa kembalian tadi.
Tiga keping lima ratus rupiah. Total: Seribu lima ratus rupiah.
Itu adalah seluruh kekayaannya di dunia ini. Jika dia membelanjakannya dan sistem ini ternyata hanya halusinasi, besok dia benar-benar tidak punya apa-apa. Bahkan sekadar untuk membeli kerupuk.
Tapi, jika ini nyata...
Atlas menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering meski udara lembap. Dia menatap koin-koin kusam di telapak tangannya yang kapalan.
Ini matematika orang gila, batinnya. Tapi kalau aku tidak gila malam ini, Orion yang akan menderita.
Tanpa berpikir dua kali lagi—karena takut dia akan berubah pikiran—Atlas menyambar payung butut yang salah satu jerujinya patah, dan berlari keluar menembus hujan.
Dia berlari ke warung kelontong Bu Atik di ujung gang, satu-satunya warung yang masih buka jam sebelas malam begini.
"Bu Atik," panggil Atlas, napasnya memburu. "Beli... beli teh tarik sachet satu. Yang hangat, tolong diseduh sekalian. Saya nggak punya air panas."
Bu Atik, wanita paruh baya yang gemuk dengan wajah ramah, menatap Atlas dengan iba. Dia tahu kondisi kakak beradik itu. "Buat Orion ya, Jang? Sakit lagi dia?"
Atlas hanya mengangguk kaku.
Bu Atik dengan sigap menyeduh satu sachet teh tarik instan ke dalam gelas plastik. "Nih. Harganya pas seribu lima ratus."
Atlas menyerahkan tiga keping logam terakhirnya dengan tangan gemetar. Transaksi selesai. Dia sekarang resmi miskin absolut.
Dia berlari kembali ke kamar kos, menjaga gelas plastik itu agar tidak terkena air hujan seolah-olah itu adalah berlian.
Sesampainya di kamar, dia mengguncang pelan bahu Orion.
"Rion... bangun sebentar. Minum ini dulu, biar hangat."
Orion membuka matanya setengah. Dia menurut, meminum teh tarik hangat yang manis itu perlahan-lahan sampai habis.
"Enak, Kak. Hangat..." gumam Orion, lalu kembali memejamkan mata dengan napas yang sedikit lebih teratur.
Atlas meletakkan gelas kosong itu di lantai. Jantungnya berdegup kencang, serasa mau meledak di dalam rongga dadanya. Dia menunggu. Sedetik. Lima detik. Sepuluh detik.
Hening. Tidak terjadi apa-apa.
Rasa kecewa yang luar biasa menghantam Atlas. Lututnya lemas. Tentu saja itu cuma halusinasi, idiot. Mana ada keajaiban di dunia brengsek ini? Dia baru saja menghabiskan uang terakhirnya untuk...
Tring!
Bunyi notifikasi pesan masuk dari ponsel retak di saku celananya memecah keheningan. Bunyi yang sangat jarang dia dengar karena biasanya hanya berisi pesan dari operator seluler yang menagih pulsa.
Tangan Atlas gemetar hebat saat meraih ponsel pintar butut keluaran lima tahun lalu itu. Layarnya retak seribu, tapi masih bisa dibaca.
Sebuah SMS dari layanan Mobile Banking.
[TRF Masuk: Rp 150.000,00. Saldo Akhir: Rp 150.214,00]
Atlas ternganga. Matanya melotot nyaris keluar. Dia mengucek matanya, memastikan dia tidak salah baca digit nolnya.
Seratus lima puluh ribu rupiah.
Dia tadi mengeluarkan Rp 1.500.
Sistem bilang dikali 100.
1.500 x 100 \= 150.000.
Matematika orang gila itu... nyata.
Layar hologram di depannya berkedip, menampilkan teks baru.
[Transaksi Pertama Berhasil!]
[Tingkat Kebahagiaan Adik: Meningkat 5% (Kenyamanan sementara).]
[Poin Charisma: +1 (Awal yang baik).]
Atlas merosot ke lantai, bersandar pada dinding yang basah. Dia tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dia menatap langit-langit bocor, lalu menatap wajah damai adiknya, dan terakhir menatap angka di layar ponselnya.
Malam ini, di kamar kos yang bau apek ini, takdir Atlas Wijaya baru saja berubah total.
Dia menatap layar hologram itu dengan sorot mata yang berubah. Rasa lelah di matanya hilang, digantikan oleh kilatan tekad yang membara—dan sedikit keserakahan yang baru lahir.
"Oke, Sistem," bisik Atlas, senyum miring muncul di wajah tampannya yang selama ini selalu muram. "Mari kita mainkan permainan gilamu ini."