Musuh Satu Atap

Malam hari Viola baru bangun dari tidurnya, badannya sudah terasa enak dan kepalanya juga sudah tidak pusing. Ia segera membersihkan diri, lalu bersiap-siap pergi ke reuni teman SMA dulu.

"Gaun ini sepertinya bagus," ucap Viola, menempelkan sebuah gaun yang belum pernah dipakai. Gaun itu berwarna hitam, ada hiasan perak di bagian dadanya sehingga terlihat sangat elegan saat digunakan. Apalagi yang menggunakan wanita secantik Viola, pasti sangat cocok.

Diam-diam Beni berdiri di depan pintu kamar, ia melihat apa yang dilakukan istrinya. Dalam hatinya merasa sedikit kesal, karena diabaikan begitu saja. Padahal ia berharap ketika Viola bangun langsung menghampirinya, dan mengucapkan terima kasih. Namun, Viola justru berdandan dan akan pergi.

"Ben, lo gak capek dari tadi berdiri di situ?" tanya Viola, ternyata sadar suaminya memperhatikan dari tadi.

"Hem," sahut Ben, tatapannya begitu dingin.

"Lo bisa gak anterin gue ke hotel teratai? Teman-teman SMA kita adain reuni," ujar Viola.

"Berangkat saja sendiri! Gue sibuk." Beni meninggalkan Viola, ia masuk ke dalam ruang kerjanya.

Di dalam ruang kerjanya, Beni bertanya-tanya siapa orang yang sudah memboking hotelnya digunakan untuk acara reuni. Sebenernya Beni juga mendapatkan undangan, tetapi ia mengabaikan obrolan di grup. Ia segera menghubungi Dika, mencari tahu kebenarannya.

Brak!

Beni menggebrak meja kerjanya, setelah mengetahui kalau Indra yang sudah memesan hotel untuk reuni. Ia teringat dulu, Indra pernah mengatakan kalau mencintai Viola.

"Ben!" panggil Viola.

"Berangkat saja sendiri!" seru Beni dari dalam ruang kerjanya.

"Ben, kita ini suami istri. Gue mau kenalin lo ke teman-teman gue," kata Viola, sangat berharap Beni menyetujui permintaannya.

Beni menolak berangkat bersama Viola, ia tidak mau menjadi bahan gosip teman-temannya. Dulu teman Beni SMA tahu kalau, Beni bermusuhan dengan Viola. Jadi, mereka tidak boleh tahu Viola adalah istrinya.

Viola menerobos masuk ke ruang kerja Beni, ia memaksa Beni untuk tetap ikut reuni. Bagi Viola ini adalah kesempatan bagus, untuk memperkenalkan suaminya.

"Lo bisa berangkat sama Dika. Gue sibuk." Beni menunjukkan berkas yang ada di atas meja kerjanya.

"Gue gak peduli sama kesibukan lo, Ben. Ayo kita berangkat bersama," bujuk Viola.

Bujukan Viola tidak berhasil, terpaksa ia berangkat sendiri menggunakan taksi online. Dengan wajah muram, ia keluar dari dalam rumah sambil menggerutu.

Sampai di hotel Viola bertemu teman-temannya, dan juga teman yang dulu tidak menyukainya. Rani dan Desy sudah menunggu kedatangan Viola dari tadi, mereka sengaja menunggu di dekat pintu.

"Rani, Desy!" panggil Viola, wajahnya masih terlihat muram.

"Viola!" teriak Rani dan Desy.

"Kita duduk dulu, yuk," ajak Viola, mencari meja kosong.

Ketiga wanita itu menceritakan kehidupan masing-masing setelah lulus SMA, karena baru sekarang mereka bisa bertemu lagi. Rani baru saja pulang dari luar kota, ia melanjutkan pendidikan dan bekerja di sana. Sedangkan Desy, ia juga sudah menikah dengan seorang pengusaha di kota ini.

Anehnya Desy dan Viola jarang bertemu, walaupun tinggal satu kota. Itu semua karena suami Desy tidak mengizinkan keluar, tanpa seizinnya.

"Vio, sekarang gantian lo yang cerita," pinta Desy, siap-siap mendengarkan.

"Gue udah nikah juga, sama ...

"Vio!" teriak Indra, begitu antusias melihat Viola datang. Sehingga Viola tidak jadi melanjutkan ceritanya.

"Indra, apa kabar lo?" tanya Rani.

Viola terdiam seketika, ia teringat dulu pernah menolak Indra. Waktu masih sekolah Indra menyatakan cinta ke Viola, tetapi langsung ditolak mentah-mentah. Memang Indra sangat akrab dengan Rani dan Desy, bahkan sering meminta tolong untuk membantunya mendekati Viola.

Rani dan Desy memberitahu Indra, kalau Viola sudah menikah dan melarangnya mendekati Viola lagi. Namun, Indra tidak percaya begitu saja.

"Kalian jangan bercanda," ujar Indra, tersenyum getir.

"Gue udah nikah. Lo juga kenal sama suami gue," kata Viola, membuat Rani dan Desy tercengang.

Viola membuat penasaran, ia tidak mau mengatakan siapa suaminya. Apalagi Indra tetap tidak percaya.

Kepulangan Indra untuk menunjukkan kesuksesannya kepada teman-temannya, sehingga mengadakan reuni. Tujuan utamanya menemukan Viola. Ia merasa sedikit kecewa, mendengar kabar gadis yang dicintai sejak SMA sudah bersuami.

Teman-teman Indra sangat kagum atas kesuksesannya, ia mampu menyewa hotel teratai milik pengusaha terkenal keluarga Mandala. Biasanya orang hanya sekedar menginap, untuk menikmati fasilitas lengkap hotel.

"Hai, Indra! Ini gue Dinda, lo masih ingat kan?" tanya Dinda, gadis yang dulu sangat membenci Viola. Ia datang bersama Siska, salah satu teman yang juga tidak menyukai Viola.

"Dinda, Siska! Silahkan duduk dulu, gue masih ada urusan dengan Viola," kata Indra.

Dinda menatap sinis ke arah Viola, lalu mencari meja lain yang masih kosong. Ia tidak mau gabung dengan Viola dan teman-temannya, bahkan menyapa juga enggan. Dari kejauhan Dinda dan Siska masih menatap Viola penuh kebencian.

"Din, lo ingat Beni tidak? Kenapa dia tidak hadir ya," kata Siska, teringat dulu pernah memergoki Viola dan Beni berantem di jalan.

"Mungkin dia sibuk, biasa pengusaha. Hotel ini juga milik keluarga Beni," jelas Dinda. Dulu pernah mendekati Beni, sehingga bisa tahu tentang keluarga Beni.

Melihat kedekatan Indra dan Viola, Dinda merasa kesal. Ia berbisik di telinga Siska, meminta bantuan untuk mencelakai Viola. Mereka berdua menganggap ini kesempatan bagus, membuat Viola malu di depan banyak orang.

Dinda membayar seorang pelayan hotel, memintanya untuk menyuruh Viola agar pergi ke toilet. Kebetulan dari ruangan yang digunakan reuni, ketika hendak ke toilet harus melewati kolam renang. Dinda dan Siska tahu, kalau Viola belum bisa berenang. Mereka berpikir tidak akan ada orang yang menolong, karena tempatnya sepi.

"Sekarang kita ke toilet dulu, Sis." Dinda ingin memastikan kalau rencana mereka tidak akan gagal.

"Oke! Kita eksekusi, biar tidak belagu." Siska menyetujui dan mendukung kejahatan Dinda. Mereka mulai melancarkan aksinya, seorang pelayan hotel yang tidak tahu apa-apa sudah datang ke meja Viola.

Tanpa menaruh rasa curiga, Viola mengikutinya ucapan pelayan itu. Ia berpamitan pergi ke toilet sebentar, dan menolak untuk ditemani. Viola selalu menunjukkan kalau dirinya kuat, pemberani di depan teman-temannya.

Berjalan santai menuju ke toilet, sesekali Viola menyapa teman-teman yang mengenalnya. Sampai di dekat kolam renang, Viola jatuh terpeleset hingga jatuh ke dalam kolam yang dalam.

Di dalam air, Viola berusaha bergerak agar tubuhnya naik ke permukaan. Ia berusaha sekuat tenaga, menyelamatkan dirinya sendiri. Namun, kolam yang begitu dangkal membuatnya kesulitan. Tubuh Viola mulai melemas, tenaganya terkuras habis.

"Tolong!" teriak Viola, ketika tubuhnya berhasil naik ke permukaan.