Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20.
Perasaan hati Anisa masih belum juga tenang. Dengan langkah pelan dan hati-hati, sambil menggumamkan doa yang lirih, ia bergerak menuju pintu kamarnya.
“Jangan jangan ada teman teman yang kepo, melihat aku dan Ibu pergi berdua sampai larut malam,” pikirnya cemas.
Tangannya yang dingin memegang gagang pintu. Ia membuka pintu itu perlahan. Sangat perlahan, hingga tak terdengar sedikit pun suara engsel berderit.
Begitu celah pintu terbuka sedikit, matanya menelusuri ruangan di luar.
“Tidak ada siapa-siapa,” gumamnya lega, lalu ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum kembali menutup pintu.
Anisa melangkah menuju meja kecil di sudut kamar untuk meletakkan tasnya. Namun, entah mengapa, perasaan tidak nyaman itu kembali menyeruak di dadanya. Ada sesuatu yang tidak beres, seperti ada mata yang mengawasinya dari kejauhan.
“Aku tidur di kamar Ibu saja, ya... sekalian tidur berdua dengan Ibu, di sisa-sisa waktuku di sini,” katanya dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Ia mengambil ponsel dan segera mengirim pesan izin pada Bu Lastri, kepala pelayan yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri. Tak lama kemudian, balasan datang, hangat dan penuh kasih. Bu Lastri mempersilakan Anisa untuk tidur di kamarnya malam itu.
Anisa pun bergegas mengambil baju tidurnya, lalu keluar dari kamar. Tapi saat menutup pintu, bulu kuduknya mendadak berdiri. Ia merasakan ada sesuatu... seperti langkah halus yang mengikuti dari belakang.
Ia berhenti. Menoleh perlahan.
Sepi. Hanya angin yang bergerak, mengayun tirai putih di jendela koridor.
Deg.
Jantung Anisa berdetak cepat. Ia mempercepat langkah menuju kamar Bu Lastri.
TOK.
TOK.
TOK.
“Bu...” panggil Anisa pelan, sambil mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Tampak Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan wajah sembab, matanya masih basah oleh air mata. Belum juga sempat berganti pakaian, beliau tampak seperti baru saja menahan tangis.
Air mata itu pun kembali menetes saat melihat Anisa. Ia segera menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Bu, jangan bersedih,” ucap Anisa lembut, ikut memeluknya erat dan mengusap punggungnya yang gemetar.
“Ayo masuk, Nak... tidurlah di sini sampai waktunya tiba... hu... hu...” isak Bu Lastri di sela tangisnya.
“Iya, Bu...” jawab Anisa lirih. Pintu kamar ditutup perlahan, menyingkirkan dunia luar yang terasa dingin dan menegangkan.
Malam itu mereka berganti pakaian tidur, lalu berbaring di tempat tidur Bu Lastri yang cukup luas. Udara kamar terasa tenang, hanya terdengar detak jam dinding dan desah napas mereka berdua.
“Nis,” suara Bu Lastri pelan memecah kesunyian, “kenapa kamu tadi berteriak memanggil orang yang membawa Mbak Angela?”
Tatapannya tertuju pada Anisa yang kini telah berbalut selimut hingga dada.
“Oh... itu, Bu. Waktu kecil, saya pernah sangat akrab dengan seseorang bernama Hegar. Dia sepupu saya... tapi saya lupa nama panjangnya. Apa mungkin orang yang tadi itu Hegar yang sama? Tapi seingat saya, dia dulu tidak kaya...” jawab Anisa, menatap jauh ke langit langit kamar, pikirannya melayang ke masa kecil yang samar.
“Mungkin Hegar yang lain, Nak. Di dunia ini banyak nama yang sama,” kata Bu Lastri lembut, menatap Anisa dengan iba.
“Iya, Bu,” ucap Anisa pelan. Namun jauh di dalam hatinya, kerinduan akan keluarga membuat dadanya terasa sesak. Ia yang sejak kecil tumbuh tanpa orang tua, tanpa sanak saudara, kini ingin sekali kembali terhubung dengan siapa pun yang masih hidup dari keluarganya.
Air matanya mulai menetes.
“Apa sebenarnya yang dulu terjadi... kenapa tiba tiba Mama dan Papa pergi... dan aku dibawa ke panti asuhan? Tak pernah ada yang datang menjemputku...” bisiknya di dalam hati. Suara isak pun pecah.
“Hiks... hiks...”
Ia menghapus air matanya dengan ujung selimut, tapi tangis itu justru makin menjadi.
“Nis, jangan menangis, Nak. Ibu tambah sedih kalau kamu sedih. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Semoga orang tua kamu tenang di surga, ya,” ucap Bu Lastri lembut sambil mengelus rambut Anisa.
Namun Anisa justru semakin sesenggukan.
“Hu... hu... hu...”
“Tadi kamu yang menyuruh Ibu jangan sedih, sekarang malah kamu yang menangis,” kata Bu Lastri dengan senyum tipis di tengah air mata.
Ia menepuk bahu Anisa pelan. “Ayo, kita sembahyang saja. Kita pasrahkan semuanya pada Allah. Hanya Dia sumber kebahagiaan dan ketenangan hati.”
Anisa mengangguk setuju. Mereka pun bangkit, menunaikan sembahyang di sepertiga malam, memanjatkan doa dalam keheningan yang syahdu.
✨✨✨
Sementara itu, di alam gaib, suasana jauh berbeda dari kamar Bu Lastri.
Kerajaan Jin dipenuhi cahaya dan keriuhan. Pesta empat puluh hari empat puluh malam masih berlangsung meriah. Musik menggema dari berbagai penjuru, tawa dan kidung bercampur jadi satu.
Para tamu berdatangan tanpa henti; bahkan mereka yang sempat pulang kini kembali hadir hanya untuk menyaksikan sosok mempelai wanita yang katanya begitu memesona.
Hiburan pun beragam, mulai dari musik klasik, gamelan, tarian, hingga pertunjukan wayang kulit yang memukau para hadirin dari kalangan jin maupun manusia desa yang “diundang” secara gaib.
Sang Ibunda Ratu duduk di singgasana, wajahnya berseri seri penuh kebanggaan. Di sisinya, Nyi Dasih tampak makin bulat, gembul. Wajahnya berseri setelah berhari hari menikmati hidangan pesta.
“Akhirnya, aku benar benar akan menikahkan putraku. Bukan pesta kosong lagi seperti sebelumnya,” ucap Sang Ratu dengan senyum bahagia.
“Kapan dia datang, Ratu? Kapan mempelai itu duduk di kursi pelaminan yang sudah lama menunggu?” tanya Nyi Dasih sambil melirik kursi pelaminan yang masih kosong di tengah aula megah itu.
“Tak lama lagi,” jawab Sang Ibunda Ratu tenang.
“Seperti apa gadis pilihan Pangeran itu, Ratu?” Nyi Dasih mencondongkan tubuh, penasaran.
“Cantik. Lembut tutur katanya, santun sikapnya, dan pembawaannya begitu tenang. Ia tampak keibuan... sangat cocok menjadi permaisuri Putraku,” jawab Sang Ratu sambil tersenyum puas.
Nyi Dasih mengangguk, matanya berbinar.
“Dan yang paling penting,” lanjut Sang Ratu dengan suara lembut, “Putraku akhirnya jatuh cinta lagi...”
Pangeran Dewa Anum terlihat di kejauhan sedang menyambut para tamu. Wajahnya bersinar, penuh semangat. Saat merasa tatapan ibunya tertuju padanya, ia menoleh, lalu berjalan mendekat.
“Ada apa, Ibu?” tanyanya hormat begitu tiba di depan Sang Ratu.
“Tidak apa-apa, Nak. Hanya Nyi Dasih ingin tahu seperti apa calon mempelai wanitamu,” jawab Sang Ratu tersenyum lembut.
Pangeran pun tersenyum samar, namun matanya berbinar, seolah sedang memandangi bayangan wajah Anisa di benaknya.
“Aku sudah tidak sabar,” gumamnya dalam hati.
“Ibu,” katanya lagi, “apa aku boleh mengunjungi gadis itu? Aku tahu di mana dia tinggal. Aku pernah ke sana.”
Belum sempat Sang Ratu menjawab, ketiganya tiba tiba terdiam. Sebuah sosok yang mereka kenal melangkah perlahan ke arah mereka, penuh wibawa, namun membawa aura yang berbeda dari sebelumnya.
Sang Ibunda Ratu menegang, mata nya menyipit.
“Ada apa... kenapa dia datang lagi?” gumamnya perlahan, menatap sosok itu semakin mendekat...
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣