Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.
Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.
4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.
Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Act 4 - Heartache
POV Torren
Angin berhembus kencang, membawa aroma asin laut yang masih tersisa di udara. Hujan baru saja reda, meninggalkan pasir basah yang berkilau di bawah sinar matahari. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, langit di atas Iron Coast tampak cerah.
Laut pun tenang. Terlalu tenang.
Dan ketenangan seperti ini… jarang membawa kabar baik.
Aku menatap tembok luar dari kejauhan—retak, belum rampung diperbaiki, meski puluhan pekerja telah bekerja siang dan malam. Luka di dinding itu seperti mengingatkan kami: perang belum berakhir.
Hari ini, aku menuju penjara bawah tanah di luar pantai.
Para penjaga bilang, makhluk Thal’kren muda yang kami tangkap malam itu… bisa berbicara.
Jika itu benar, mungkin akhirnya ada jawaban di balik kegilaan ini.
Sesampainya di depan bangunan batu yang kusam, dua penjaga memberi hormat. Pintu besi berderit saat dibuka, mengungkap tangga menurun yang seolah tak berujung. Udara dari bawah terasa lembab, dingin, dan berbau logam karat.
Aku turun perlahan, cahaya lilin menari di dinding, memantul di permukaan armorku yang perak. Setiap langkah menggema, seolah suara langkah orang mati.
Lorong bawah tanah itu panjang dan sempit, dipenuhi sel-sel kosong. Hanya sedikit yang terisi—bandit, pencuri, orang-orang malang yang menantang hukum. Tapi di ujung lorong…
Satu sel dijaga ketat, dindingnya diperkuat rantai dan rune penahan.
Di sanalah makhluk itu berada.
Ia duduk di lantai, tubuh kecilnya gemetar, wajahnya tersembunyi di balik tangan. Air menetes dari atap ke tanah, menciptakan genangan kecil di bawahnya.
Aku melangkah maju dan berjongkok di hadapannya.
> “Kudengar kau bisa bicara,” ucapku, menyodorkan sepotong roti.
“Ceritakan padaku. Mengapa kau memburu manusia? Mengapa kalian datang hanya pada malam badai?”
Tidak ada jawaban.
Hanya suara napas berat, seperti hembusan udara dari dada yang lemah.
Aku mencoba lagi, kali ini dengan nada lebih tajam.
> “Atau… siapa yang kalian cari?”
Kedua mata itu akhirnya menatapku.
Mata biru muda, bersinar samar di dalam gelap.
Dan dari bibir yang pecah-pecah, keluarlah suara serak—patah dan tertahan.
> “Aa... A-andor... Andorin...”
Namanya terasa asing… dan anehnya, juga familiar.
> “Andorin? Apa itu—seorang, tempat... atau sesuatu?”
Makhluk itu menunduk lagi, seolah tersadar telah berbicara terlalu banyak. Ia menutup wajahnya rapat-rapat, menolak bersuara lagi.
Aku berdiri perlahan, menatapnya sesaat sebelum pergi. Ada rasa berat di dada—antara rasa iba dan kecurigaan.
> “Andorin…” gumamku.
“Apa sebenarnya yang kau maksud?”
Lorong itu terasa lebih dingin saat aku menapaki tangga menuju permukaan.
Di luar, sinar matahari menembus awan, namun bagiku, dunia terasa lebih suram dari sebelumnya.
---
POV Torren
Sudah seminggu tembok itu diperbaiki, tapi celahnya masih menganga seperti luka yang tak mau sembuh. Batu-batu runtuhannya menumpuk di dasar, dan setiap kali aku memandanginya, aku tahu—dinding ini takkan selesai dalam waktu dekat.
Kepalaku dipenuhi ratusan kemungkinan, tapi satu nama terus menggema tanpa henti.
Andorin.
Nama itu menghantui pikiranku lebih dari apapun. Bayangan mata biru menyala itu muncul setiap kali aku menutup mata.
Aku mencoba menyingkirkannya. Masalahku bukan makhluk itu, tapi tembok yang nyaris runtuh.
Akhirnya, kuputuskan untuk menulis pesan pada Perdana Menteri Cedric di Heartstone. Meminta pasukan tambahan… dan tukang batu terbaik yang mereka miliki.
Sebuah langkah yang berat, karena berarti mengakui kelemahanku sendiri. Tapi jika tidak, benteng ini akan runtuh — dan seluruh Iron Coast akan ikut tenggelam bersamanya.
Dalam perjalanan ke tenda, mataku menangkap sosok Erick di sisi barak penjaga. Ia tampak termenung, pandangannya kosong, meski tangannya masih menggenggam tombak.
> “Erick!” panggilku.
Ia tersentak, segera menegakkan tubuh dan memberi hormat.
> “Apa yang kau lakukan?”
“Berjaga, Komandan.”
“Kau tak terlihat seperti penjaga. Kau terlihat seperti orang yang tersesat dalam pikirannya sendiri.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda darinya hari ini.
> “Apa karena isi surat itu?”
Wajahnya langsung berubah, seolah aku menebak dengan tepat.
> “T-tidak, Komandan. Itu hanya surat dari keluarga.”
Aku menyipitkan mata, lalu menghela napas pelan.
> “Baiklah. Kembali ke posmu.”
Ia segera berbalik, tapi langkahnya ragu-ragu.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… aku tak lagi sepenuhnya mengenal anak itu.
---
Sementara itu, jauh di dalam hutan Iron Coast.
POV James
Aku berdiri di balik batang pohon, napasku perlahan. Di depan, seekor rusa jantan memakan rumput tanpa curiga. Di belakangku, Galland bersiaga dengan busurnya.
> “Hey, James,” bisiknya.
“Tentang rencanamu itu… kau yakin kita bisa percaya pada temanmu, Erick?”
“Dia teman masa kecilku. Dia akan bantu kita,” jawabku pelan.
Aku memberi isyarat, dan Galland melepaskan anak panah. Suara shush memecah keheningan, dan rusa itu roboh dengan lembut.
Kami berlari mendekat, memastikan buruannya mati, lalu segera membawanya kembali ke perkemahan. Zein dan yang lain sudah menunggu, menyalakan api kecil. Wajah mereka cerah untuk pertama kalinya setelah berhari-hari bertahan hidup dengan roti keras.
Celeste duduk diam di tepi api, tatapannya kosong. Sejak malam itu, ia hampir tak bicara.
Aku duduk di sampingnya, menyerahkan sepotong daging panggang.
> “Kau tak banyak bicara akhir-akhir ini,” kataku lembut.
“Apa yang ada di pikiranmu?”
“Aku hanya... kesal,” bisiknya.
Aku menarik napas panjang.
> “Aku tahu. Tapi malam itu... kita tak punya pilihan. Kalau bukan karena Lord Victor, mungkin kita semua sudah tiada.”
Ia menatapku, dan untuk sesaat aku melihat air di matanya bergetar.
> “Kau harus kuat, Celeste. Dunia ini belum selesai menantang kita. Aku ingin melihatmu tersenyum lagi — seperti dulu.”
Perlahan, ia menyandarkan kepala di bahuku.
> “Andai malam itu tak pernah terjadi...”
Aku tak menjawab. Kami hanya duduk di sana, membiarkan nyala api memantul di wajah kami, mencoba melupakan beban masa lalu.
Besok pagi, kami akan memulai misi yang telah kami rencanakan sejak lama.
Dan entah kenapa, langit malam terasa terlalu tenang untuk pertanda baik.
---
Keesokan harinya.
POV Erick
Aku melangkah keluar dari gerbang pantai, meninggalkan suara ombak yang memecah di belakang. Hari ini aku punya janji yang tak boleh diketahui siapapun—terutama Komandan Torren.
Para penjaga mengira aku hendak ke desa membeli perbekalan, padahal langkahku menuju hutan di utara, tempat yang hanya diketahui oleh satu orang dari masa laluku.
Angin di sini lembut, tak sekeras di pantai. Burung-burung bernyanyi di antara dahan basah, seolah ingin menyambutku. Tapi dadaku terasa berat. Aku tak tahu apakah aku datang untuk menemui seorang teman... Atau orang yang tidak aku kenal dengan wajah teman masa kecilku.
Aku berhenti di tengah celah pohon besar, menepukkan tangan pelan—sinyal lama yang hanya kami berdua tahu.
Dari balik bayangan hutan, seseorang muncul. Tudungnya diturunkan, dan wajah yang sudah bertahun-tahun tak kulihat kini menatapku dengan senyum hangat.
> “Erick,” ucapnya, lalu memelukku erat.
Aku tak membalas pelukannya.
> “Apa yang kau lakukan di sini, James?”
Ia tertegun sejenak. “Kami butuh bantuanmu.”
Dari balik pepohonan, empat sosok lain keluar. Aku langsung memegang gagang pedangku.
> “Tenang,” ujar James cepat. “Mereka bersamaku.”
Salah satu dari mereka—seorang pria bertubuh besar, menurunkan tudungnya dan menatapku dengan senyum sinis.
> “Kau Zein, bukan?”
“Hm. Rupanya aku cukup terkenal sekarang.”
James melangkah lebih dekat.
> “Erick, dengar aku. Kami ingin melawan Draco. Dia membunuh mentor kami. Dan aku tahu dia merencanakan sesuatu yang lebih buruk lagi.”
Aku menatapnya tajam.
> “Melawan Draco? Jadi benar… kalian yang membunuh putranya.”
> “Tidak! Kejadiannya tak seperti itu, kami—kami diserang!”
Aku menggeleng perlahan.
> “James, kau memang teman masa kecilku. Tapi itu bukan berarti aku akan membiarkanmu menyeretku ke dalam kejahatanmu.”
> “Kami hanya butuh senjata, dan sedikit—”
“Cukup.” suaraku memotong cepat.
“Maaf, James. Aku tak bisa membantumu kali ini.”
Zein menepuk bahu James.
> “Sudahlah. Tak semua teman pantas disebut sahabat.”
James menatapku dalam diam, matanya suram.
> “Aku senang kau masih hidup, Erick.”
“Semoga kita dipertemukan lagi nanti… dengan cara yang lebih baik.”
Ia melangkah mundur bersama yang lain. Tapi sebelum mereka sempat pergi, aku berkata:
> “Tunggu.”
Mereka berhenti.
> “Siapa bilang kalian boleh pergi?”
Tangan kiriku perlahan turun—sinyal yang hanya dimengerti oleh satu pasukan.
Dari segala arah, ranting patah. Sosok-sosok bersenjata perak muncul dari balik pepohonan.
Pasukan Silver Sentinel.
Mereka mengepung James dan kawan-kawannya, menutup seluruh jalan keluar.
James menatapku—campuran marah, kecewa, dan luka di matanya begitu dalam hingga aku nyaris berpaling.
> “Oh, Erick…” bisiknya.
Tangannya meraih pedang di pinggang, menghunusnya perlahan. Cahaya matahari pagi memantul di bilahnya.
Dan aku tahu—tak ada jalan kembali lagi.
---
Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.
Tapi aku coba positif thinking aja