"Aku ini gila, tentu saja seleraku harus orang gila."
Ketika wanita gila mengalami Transmigrasi jiwa, bukan mengejar pangeran dia justru mengejar sesama orang gila.
Note : Berdasarkan imajinasi author, selamat membaca :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mellisa Gottardo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
upacara kelulusan
Upacara kelulusan berlangsung dengan khidmat dan membosankan. Ruby bahkan menahan diri untuk tidak tertidur karena saking ngantuknya. Hanya berisi pidato pidato membosankan, pemanggilan murid berprestasi dan pemberian hadiah.
"Murid berbakat dengan banyak prestasi yang diraih dalam dua tahun terakhir. Selamat kepada Pangeran Fang Xui."
Fang Xui bahkan Terkejut, bukan hanya panggilannya yang berubah tapi juga kenapa tiba-tiba dia mendapat penghargaan?. Padahal dia hanya belajar seperti biasa, tidak mengejar apapun.
Xui dengan canggung naik ke atas, Ruby menatap dengan bangga. Rui juga menatap dengan tatapan penuh, dulu dia tidak pernah merasakan seperti ini. Tapi, syukurlah anaknya merasakan dan mendapatkan penghargaan siswa terbaik.
Fang Lu, Tuan muda bangsawan dan Xui, berdiri diatas mimbar. Kaisar memberikan gulungan semacam sertifikat resmi, lalu memberikan hadiah di dalam kotak kayu yang entah apa isinya.
Banyak siswa yang berbisik-bisik karena Pangeran Ketiga yang posisinya Putra mahkota, justru tidak mendapatkan penghargaan apapun.
Fang Yun yang di lirik banyak orang merasa geram, menatap bengis ke arah Xui yang menerima hadiah bersama Fang Lu. Dia juga melirik ke arah Rui, Kakak tertuanya untuk apa kembali.
Rui yang merasakan tatapan membunuh, membalas lirikan itu dengan lebih mengerikan. Fang Yun langsung kicep, perbedaan umur yang sangat jauh ditambah kekuatan mereka yang jomplang. Fang Rui terlalu kuat jika ingin menjadi lawannya.
Selir Agung juga menahan kesal, dia meremas hanfu nya kuat-kuat. Beraninya anak dari Selir Rendahan menyalip prestasi putranya, bahkan anak dari Pangeran gila pun mendapatkan penghargaan.
Melihat Selir Kehormatan dan Ruby naik ke atas mimbar, Selir Agung menggeram dengan marah. Iri dengki nya memuncak, bahkan melihat kecantikan Ruby yang diluar nalar semakin membuatnya mendidih.
"Dimohon para orangtua memberikan pesan yang ingin di sampaikan, mengenai keberhasilan anak anda meraih prestasi."
Selir Agung mendapatkan giliran pertama, kata-katanya lembut dan penuh dukungan positif. Ruby hanya bisa tersenyum canggung karena dia kan orang gila, masa orang gila memberi pesan pada orang waras.
Ruby mendapatkan giliran terakhir, tapi dia tetap percaya diri. Merangkul pundak Xui dengan bangga dan penuh wibawa, dia akan memberikan keanggunan yang sesungguhnya.
"Pertama-tama saya ingin mengucapkan Terimakasih kepada Putra saya, selama ini dia pasti telah menjalani hari-hari yang berat. Prestasi ini sungguh sangat membanggakan bagi saya dan suami saya, keberhasilan yang diraih putra kami tanpa dukungan apapun. Saya berharap Xui bisa tumbuh menjadi anak yang bahagia, dan bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari kami yang masih banyak kekurangan. Terimakasih untuk para guru yang telah mengajarkan pelajaran hebat kepada putra saya, kepada teman-teman yang mau menerima Xui disini. Baik saya maupun suami saya, tidak mendapatkan kesempatan belajar di sebuah Akademi. Banyak hal yang sudah kami lewati hingga akhirnya kami bisa mewujudkan mimpi itu melalui Putra yang kami kasihi, Segala hormat kepada yang mulia Kaisar yang telah berbaik hati kepada kami. Terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya bila ada salah kata dari ucapan saya, saya akhiri Selamat atas kelulusan kalian semua."
Prok
Prok
Prok
Ruby terkejut saat mendengar tepukan meriah, padahal sejak tadi tidak ada tepuk tangan seperti itu. Ruby jadi merasa malu dan canggung, dengan cepat dia turun dari mimbar dan kembali ke tempat duduknya.
"Anjir, rasanya abis nyalon presiden deh." Batin Ruby berdebar.
"Kau hebat dalam berpidato." Puji Rui.
"Hebat apanya, itu banyak yang terbalik. Sudahlah aku malu sekali, kenapa tidak kau saja yang naik." Ruby menutup wajahnya malu.
"Kan yang naik kebanyakan perempuan." Jujur Rui.
"Alasan." Ketus Ruby.
Setelah acara selesai, semua siswa mendapatkan papan kayu yang memiliki ukiran tinta hitam. Mungkin semacam ijasah di zaman ini, mereka naik berurutan hingga semuanya mendapatkan sesuai nama yang tertera.
Acara dilanjutkan dengan makan bersama, Ruby makan dengan anggun tapi lahap karena dia memang lapar. Rui dan Xui makan dengan tenang, melihat betapa kikuknya Rui dan Xui, Ruby jadi sakit kepala.
"Hey kalian ini Ayah dan Anak, kenapa malah kaya ngga kenal." Batin Ruby kesal.
"Xui kesulitan makan ikan, suapi dia." Bisik Ruby.
"Hmm? dia tidak terlihat kesulitan." Bingung Rui.
"Hey, bersikaplah menjadi Ayah yang penyayang." Ruby mencubit paha Rui.
Rui menahan rasa panas di pahanya, dengan kaku dia menyuapi Xui dengan ikan yang ada di piringnya. Xui sendiri Terkejut tapi entah kenapa reflek mangap, meksipun tidak ada interaksi yang hangat setidaknya Rui mau menyuapi Xui dengan sumpitnya.
Interaksi Rui dan Xui menjadi pusat perhatian, Apalagi Xui yang makan dengan lahap. Tetap membuka mulut meskipun suapan dari Rui kadang terlalu besar, bahkan saat Xui kesulitan menelan karena seret, Ruby dengan perhatian memberikan minum. Benar-benar interaksi keluarga yang hangat.
Setelah makan, para murid diperbolehkan pulang. Rui menggenggam tangan Ruby dan Xui, sebenarnya dia hanya pasrah karena dia yang digandeng duluan.
"Sebenarnya kau pernah makan tidak? kenapa kurus sekali seperti ranting pohon." Ucap Rui menoleh pada Xui.
"Aku hanya tidak berselera makan." Jawab Xui.
"Bilang saja jatah makanmu diambil Fang Yun." Ujar Rui.
"Itu Ayah tahu, sudahlah toh setelah ini aku bisa makan sampai perutku meledak." Ujar Xui.
"Xui, sudah sampai mana kekuatanmu?." Tanya Ruby, dia penasaran.
"Sudah sampai ranah Langit, Ayah sendiri terlihat jauh lebih kuat. Apa Ayah menerobos ranah Surgawi?." Tanya Xui.
"Ayah sudah sampai ranah Transendan." Jawab Rui, sombong sedikit.
"Apa?? Ayah sudah sekuat itu? Kalau Ibu?." Tanya Xui syok.
"Ibu berada di ranah yang sama denganmu." Ucap Rui.
"Loh emangnya iya?." Ruby sendiri tidak tau.
"Padahal kau sudah berkultivitasi tapi kau tidak sadar?." Rui tersenyum geli.
"Aku tidak merasa apa-apa, saat bertapa juga aku merasa seperti tidur saja. Entahlah aku benar-benar tidak mengerti." Jujur Ruby.
"Tanpa kultivitasi juga Ibu sudah menakutkan." Ceplos Xui.
"Itu benar." Saut Rui.
"Apa-apaan maksud kalian?!." Sungut Ruby.
Rui dan Xui hanya tertawa, ekspresi Ruby saat marah memang lucu. Apalagi saat menghentak-hentakan kakinya ke tanah, saat mereka sudah sampai kereta kuda dan hendak naik. Suara seseorang menghentikan mereka.
"Kemana kau akan pergi?." Ujar Kaisar.
"Tentu saja ke rumah." Jawab Rui, cuek.
"Rumahmu ada di Istana." Ucap Kaisar.
"Aku akan kembali jika memang ingin kembali." Ujar Rui.
"Apa kau marah karena posisi Putra mahkota? kau tau sendiri saat itu kondisimu tidak memungkinkan untuk menyandang gelar itu." Ujar Kaisar.
"Lalu, bagiamana denganku yang sekarang?." Rui bertanya dengan tegas.
"Jika kau memiliki kekuatan yang mendukungmu, tentu saja itu bukan hal yang mustahil. Kau paling tau betapa sulitnya menenangkan para Pejabat." Ucap Kaisar.
"Aku tidak tau, aku selalu menghabisi mereka yang menghalangi jalanku. Aku pegang ucapanmu, akan aku bawa kekuatan itu." Ujar Rui, membawa Ruby dan Xui masuk kereta tanpa memberi salam.
Kaisar menatap kereta kuda Rui yang melenggang pergi, pengawal - pengawal yang kuat membuat Kaisar menatap penasaran. Sebenarnya apa saja yang sudah dilakukan Rui selama ini.
"Pendekar itu kuat, tapi mustahil Rui membentuk pasukan tanpa terendus olehku. Bahkan jika dia melatih pasukan di luar wilayah sekalipun, pasti dia akan ditemukan. Sebenarnya apa yang dia lakukan selama ini." Batin Kaisar menerka.
Di kereta kuda, Ruby dan Xui ketiduran karena mengantuk. Mereka bersandar pada pundak Rui, Rui hanya tersenyum tipis. Menatap Wajah Ruby dan Xui bergantian, merasakan perasaan hangat menjalar di hatinya.
"Beginikah bentuk sebuah keluarga?." Batin Rui.
Setelah menerobos ranah Transendan, dia jadi mengerti banyak perasaan. Dia lebih tenang dan bisa mengendalikan emosi, bisa melakukan banyak hal tanpa kebingungan karena otaknya tidak lagi kosong.
Dengan kaku, Rui merentangkan tangannya dan mendekap Ruby dan Xui, merasakan sentuhan hangat dari Istri dan anaknya. Benar-benar membuatnya bahagia, dia jadi ikut mengantuk.