Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THALIA ISTRI SAYA
"Kenapa nggak bilang saja kalau Pak Bhumi suka Nona Thalia?" tanya Aji.
Sejak seminggu terakhir, majikannya itu seperti orang yang sedang jatuh cinta. Menit sekarang bisa saja ia tersenyum menatap layar ponselnya, tetapi menit setelah itu senyumnya berubah raut gusar. Apalagi saat ia melihat hasil photoshoot istrinya dengan Julian.
Saat ini mereka berdua sedang berada di ruangan Bhumi. Ruang dengan dinding abu-abu gelap itu menjadi saksi betapa bimbangnya Bhumi terhadap perasaannya untuk Thalia.
Bhumi merebahkan setengah badannya pada kursi putar ruangannya. Di tangannya layar ponsel itu masih menyala. Menampilkan sosok wanita cantik yang diam-diam ia ambil fotonya.
"Saya suka dia. Tapi dia tidak suka saya. Susah, Aji. Saya malah khawatir dia akan canggung kalau saya mengungkapkan perasaan saya." Bhumi meletakkan ponselnya di meja.
Wajahnya terangkat, mengadah pada langit-langit ruangan yang menimbulkan sensasi cahaya hangat.
"Pak Bhumi bilang apapun ke Nona. Gimana bisa tahu?" Aji terus memprovokasi majikannya.
Bhumi terdiam sejenak, memijit pelipisnya. Kilas balik saat Thalia mengatakan ia menyukai Julian, membuat hatinya tersentil.
"Coba dulu, Pak. Kalau mau, saya bisa bantu Pak Bhumi menyiapkan semuanya."
Bhumi meragu. Apa yang sudah ia lakukan pada Thalia sudah keterlaluan. Bagaimana jika ia menunjukkan kelembutan pada wanitanya itu, Thalia justru memilih untuk pergi?
"Nona Thalia pasti suka dengan makan malam romantis, Pak. Atau... Pak Bhumi bisa ajak Nona honeymoon. Gimana, Pak?" Intonasi bicara Aji terdengar semangat.
Bhumi menegakkan tubuhnya. Satu alisnya terangkat samar, merasa Aji terlalu antusias.
"Kamu kenapa senang begitu? Menurut kamu, saya dan Thalia cocok tidak?"
Aji ingin sekali berteriak di telinga majikannya itu. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak memaki kebodohan majikannya.
"Kamu diam? Cocok tidak?!" gertak Bhumi, khawatir Aji mengatakan kata tidak. Ia butuh saran dan masukkan dari orang terdekat.
Sejak dulu Bhumi tidak dekat dengan keluarganya. Bukan berarti membenci, ia hanya membatasi diri. Namun, Aji adalah pengecualian. Pria yang juga saudara jauhnya itu tiba-tiba menjadi pendengar yang baik di setiap kesempatan Bhumi berkeluh kesah.
"Cocok, Pak. Jadi gimana? Mau eksekusi malam ini?" Gurat sumringah itu terlihat jelas di wajah Aji.
Bhumi mengangguk. "Baiklah. Akan saya coba. Kamu siapkan sekarang."
Aji mengangguk cepat. Ia mengacungkan dua jempol pada Bhumi. "Saya permisi dulu, Pak."
"Hmmmh...." Bhumi mengangguk, membiarkan Aji pergi.
Aji memutar tubuhnya, melangkah menuju pintu keluar. Namun, belum sempat Aji meraih gagang pintu, seseorang lebih dulu mendorong benda berwarna hitam tersebut.
"Hai Aji!" sapa Adelia dengan senyum lebarnya.
"Siang, Mbak!" balas Aji, menunduk sopan. Tak ada senyum hangat, ia hanya melengkung sedikit bibirnya.
Namun, itu bukanlah hal besar untuk Adelia. Seperti biasa, gadis dengan tubuh tinggi semampai itu melangkah dengan penuh percaya diri melewati Aji.
"Siang, Mas!" Sapaan hangat cenderung manja Adelia menyapa Bhumi.
Sosok yang duduk di kursi kebesarannya itu mengukir senyum menyambut Adelia. Ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
"Ada apa, Del?" tanya Bhumi langsung. Ia mendengar suara pintu ditutup. Artinya kini hanya ia dan Adelia di ruangan.
Senyum Adelia lenyap. Bergantikan raut kesal yang dibuat-buat untuk menarik perhatian Bhumi. Ia tak lantas duduk di sofa panjang seperti biasa. Kakinya justru membawa Adelia menuju meja Bhumi.
"Kenapa sambutannya harus seketus itu? Seharusnya kamu minta maaf loh, Mas. Kamu nggak datang ke acara ulang tahun papiku."
Bhumi menegakkan tubuhnya. Garis wajahnya begitu tegas. Manik gelapnya menyelami mata Adelia yang berbalut softlens.
"Kalian mengapa tidak mengabari Thalia?"
Adelia terhenyak, terkejut dengan nada pertanyaan Bhumi. Telinga Adelia menangkap nada dingin-menahan amarah yang sedang membuncah di dada.
Namun, Adelia mengontrol ekspresinya dengan cepat. Mengabaikan nada bicara Bhumi yang dingin, Adelia pun duduk di tepi meja kerja Bhumi. Kakinya yang terbalut heels tinggi mengetuk-ngetuk marmer hitam ruangan.
"Thalia tidak menyukai aku dan mama. Kamu tahu sendiri gimana sikap anak itu ke kami. Bahkan sejak dia menggugurkan anak kalian, ia seperti tidak menganggap kami lagi menjadi keluarganya," ujar Adelia, pelan dan terdengar sedih.
Mendengar kata 'menggugurkan' membuat Bhumi marah. Tidak, putri mereka masih hidup. Tumbuh cantik seperti ibunya.
"Thalia bukan perempuan yang baik, Mas. Kesehatan papi juga menurun. Aku dan mama tidak ingin kedatangan Thalia membuat papi tambah drop."
Bhumi mengangguk kecil. "Jadi ada apa kamu ke sini?"
Adelia memutar sedikit wajahnya, menatap Bhumi dengan antusias. "Makan siang bareng, yuk! Aku dapat undangan makan siang temanku untuk opening restorannya."
"Kamu pergi sendiri saja. Saya tidak bisa." Bhumi mengalihkan pandangannya.
Berpura-pura fokus pada laptop yang sejak tadi ia biarkan terbuka.
Bahu Adelia merosot tak semangat. Ia sudah terlanjur akan mengenalkan kekasihnya ke para sahabatnya nanti. Meski kenyataannya tidak seperti itu, tetapi Adelia yakin para sahabatnya itu akan iri saat melihatnya datang bersama Bhumi.
"Kamu tega sama aku, Mas? Selain kamu, aku nggak punya orang terdekat yang bisa diajak. Temanku yang lain lagi sibuk sama keluarganya masing-masing."
Bhumi tetap tidak bergeming. Jemarinya menari-nari di keyboar laptop. Matanya yang berbingkai kaca mata tipis memandang layar dengan fokus.
Adelia beranjak dari tempatnya. Kemudian, melangkah pelan menghampiri Bhumi lebih dekat. Tanpa ragu, ia menyentuh lengan bawah Bhumi.
Pria itu berjengit kaget lalu menepis tangan Adelia. Gadis itu terlonjak tak kalah terkejut. Ia tidak percaya Bhumi sekasar itu padanya.
"Mas kamu—"
"Jangan sembarangan menyentuh saya, Adelia!" Bhumi memundurkan kursinya. Kemudian, beranjak berhadapan dengan gadis berkulit kuning langsat itu.
Mata Adelia mengeras. Jantungnya berdebar kencang. Hawa dingin ruangan tersebut membuat dadanya yang panas tidak kunjung reda.
"Kamu membentakku?" lirih Adelia.
Bhumi terdiam. Ia merasa bersalah pada Adelia. Namun, seperti yang Aji katakan padanya tadi pagi, ia harus menjaga jarak dan sikap dengan wanita manapun, termasuk Adelia.
Aji bilang, ipar adalah maut. Artinya Adelia juga bisa jadi pemicu renggangnya hubungan dirinya dengan Thalia.
"Mas! Kamu kenapa berubah, sih?!" tanya Adelia meninggi. Kemudian memusatkan tatapannya pada Bhumi. "Aku salah apa? Mengapa kamu tega melakukan ini padaku?!"
Bhumi menarik napas dalam. Tiba-tiba saja getaran ponselnya membuyarkan fokus mereka berdua. Layar ponsel Bhumi hidup dan foto Thalia terpampang jelas di sana.
Semua itu tak luput dari pandangan Adelia. Entah sejak kapan, mata bulat Adelia menyiratkan rasa tidak percaya.
Gadis itu tertawa sumbang. "Dia?" tunjuk Adelia.
"Dia istri saya. Adik kamu. " Bhumi konsisten dengan raut datarnya.
"Kamu mencintai dia? Meskipun kamu tahu dia sudah membunuh anak kamu?" tanya Adelia, pelan tetapi menusuk.
"Dia bukan pembunuh, dia istri saya. Dan... Kamu benar. Saya mencintai dia."
Kalau bukan karena Thalia yang tidak ingin keberadaan Jemia diketahui keluarga mereka, Bhumi ingin sekali memamerkan kepada dunia tentang Jemia.
Kaki Adelia lemas seketika. Tubuhnya hampir limbung. Beruntung tangannya dengan cepat berpegangan pada kursi berbahan kulit milik Bhumi.
Kepala Adelia pusing, rasanya tertimpa beban yang sangat berat. Dadanya sakit dan napasnya tercekat. Adelia tidak tahu rasanya akan lebih sesak daripada saat Bhumi memutuskan ingin menikahi Thalia dulu.
"Kamu jahat... Mas!"
Bhumi tidak tergerak untuk membantu Adelia untuk berdiri. Sebaliknya, ia justru menegakkan tubuhnya. Menunduk sedikit, mengurai penjelasan kepada Adelia.
"Sejak awal saya tidak pernah menjanjikan apapun padamu. Saya tidak pernah memberimu harapan, sekecil apapun. Semua yang saya lakukan adalah bentuk kepedulian saya terhadap teman."
Adelia tertawa lagi, begitu sumbang. Matanya menatap Bhumi dengan penuh keyakinan.
"Selamat, Mas. Tapi kamu harus tahu, kalau bukan aku, Thalia nggak bisa milikin kamu."
Adelia berdiri tegak. Kemudian berjalan cepat keluar ruangan itu.
"Jangan salahkan aku jika rahasia itu akan aku bongkar dan Thalia akan pergi dari hidupmu, Mas!"
*
*
*
Satu kata untuk Adelia! wkwkwk
Jangan lupa tap love, ketik komen dan beri bintang 5, yaaa 😘😘
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
Innalilahi wa innailaihi roojiun....
Semoga Almarhum Ayahnya kak Author, di ampuni segala kesalahannya dan di tempatkan di JannahNya Aamiin 🤲 🤲
Sehat" kak Author & keluarga
🙏🙏
yg sabar dan tabah ya thorr...
semoga diampuni segala dosa"nya..dan diterima semua amal ibadahnya..
aamiin
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fuanhu 🤲🤲
Turut berdukacita sedalam-dalamnya yaa Thor 😢🙏🙏
Semoga keluarga yg ditinggalkan diberikan keikhlasan, kekuatan, dan kesabaran dalam menerima Takdir Nya ini 🙏🙏