NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:218
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: JANGKAR DAN EFISIENSI

Keheningan di dalam lobi parkir yang gagal itu adalah sebuah substansi. Benda itu memiliki berat, suhu, dan rasa. Rasanya seperti debu beton dan karat.

Reza tidak bergerak dari dinding pilar selama hampir satu jam. Dia meringkuk dalam posisi janin, tubuhnya akhirnya menyerah pada kelelahan dan guncangan. Dia tertidur—tidur yang gelisah dan penuh mimpi buruk, diwarnai dengan erangan pelan.

Rania tidak tidur. Dia tidak bisa.

Dia duduk di kursi kantor yang robek di dalam trailer kontainer yang berbau apak. Amulet obsidian itu tergantung di lehernya, dingin dan berat di dadanya. Dia telah mencoba melepasnya lagi, hanya untuk sepersekian detik. Kesalahan.

Lolongan psikis kota itu, meskipun jauh, masih memekakkan telinga. Pikirannya langsung diserbu oleh data Gema yang tidak berguna: ketakutan dari seorang wanita di blok sebelah, denyutan statis dari trafo listrik, dan gema panik dari "ikan-ikan" tak terlihat yang berenang di atas kepalanya. Dan di bawah itu semua, denyutan lambat yang dalam dari Titik Buta yang tertidur di bawah fondasi.

Dia segera mengenakan kembali amulet itu.

*KLIK.*

Dunia kembali sunyi. Pikirannya kembali jernih. Tenang. Efisien.

Dia menatap Reza yang sedang tidur. Ada data logis di sana: temannya sedang mengalami trauma psikologis yang parah, kelelahan, dan kemungkinan dehidrasi.

Rania bangkit. Dia bergerak tanpa suara.

Di dalam trailer, dia menemukan apa yang dia cari. Sebuah lemari arsip logam. Terkunci. Dia menggunakan pipa rebar yang sama. Logam menjerit, tapi dia berhasil membukanya.

Di dalamnya: kotak P3K standar lokasi konstruksi. Perban, antiseptik (sudah kering), tapi ada sebotol *parasetamol* yang hampir penuh. Dan... dua bungkus biskuit *cracker* asin yang sudah kedaluwarsa tiga bulan lalu.

Dia membukanya. Biskuit itu keras, tapi tidak berjamur.

Dia berjalan ke dispenser air, mengisi ulang gelas kertas yang kotor. Dia meletakkan gelas dan sebungkus biskuit di samping Reza yang sedang tidur.

Dia kembali ke meja. Dia tidak merasa kasihan. Dia tidak merasa baik hati. Dia hanya... melakukan manajemen aset. Reza adalah satu-satunya aset yang dia miliki. Dia harus menjaganya agar tetap fungsional.

Pikiran itu membuatnya berhenti.

*Aset?*

Dia menyentuh amulet itu. Suara Reza menggema di benaknya yang sunyi. *"Kamu... kamu seperti... Pria Payung itu."*

Dia memaksa pikiran itu menyingkir. Itu tidak efisien.

Dia kembali bekerja. Dia butuh data. Dia menyalakan ponselnya yang retak. Baterai: 4%. Sinyal: Tidak ada. Tentu saja. "Koreksi" itu telah merusak menara seluler.

Tapi dia tidak butuh sinyal. Dia butuh data yang tersimpan.

Dia membuka aplikasi *file manager*-nya. Sebagai kurir, dia menyimpan ratusan *file* PDF rute, manifes, dan... *denah bangunan* lama untuk pengiriman yang rumit.

Dia menemukannya. *Apartemen Taman Pinus. Denah Lantai & Utilitas.*

Itu adalah apartemennya.

Dia membukanya. Dia mulai menghafal. Titik akses. Tangga darurat. Saluran pipa. Dia memetakan rute masuk dan keluar, mengabaikan fakta bahwa dia sedang merencanakan untuk membobol rumahnya sendiri.

Pukul 14.00. Reza terbangun dengan erangan.

Dia melihat biskuit dan air. Dia menatap Rania, yang sedang duduk diam di kursi, menatap *blueprint* di mejanya seperti seorang jenderal merencanakan perang.

"Kamu... tidak tidur," kata Reza. Suaranya serak.

"Tidur tidak efisien saat ini," jawab Rania, tidak mendongak. "Makan. Minum. Kita butuh tenagamu."

Reza memakan biskuit itu dengan rakus, menelannya dengan air dispenser yang terasa seperti plastik. "Untuk apa? Menunggu di sini sampai kita mati kelaparan?"

"Tidak," kata Rania. Dia akhirnya mendongak. Matanya jernih dan sangat dingin. "Untuk mengambil kembali data saya."

Dia menjelaskan rencananya. Kembali ke apartemennya.

"Gila," kata Reza, setelah Rania selesai. "Itu bunuh diri. Kamu bilang sendiri. Pembersih, Pelestari, Bima... mereka semua akan ada di sana. Itu adalah sarang lebah."

"Itu *adalah* sarang lebah," Rania setuju. "Dan aku adalah lebah yang tidak bersuara." Dia mengetuk amulet di dadanya. "Dion bilang ini 'meredam'-ku. Pria Pembersih itu tidak mendeteksiku sampai aku *bertindak*. Aku 'sunyi' bagi mereka. Aku bisa masuk dan keluar."

"Kamu tidak tahu itu!" teriak Reza, berdiri. "Itu asumsi! Bagaimana jika benda itu hanya... meredam *kamu*, tapi mereka masih bisa melihatmu? Bagaimana jika ada 'Pengamat' manusiawi seperti Pria Berpayung di setiap sudut?"

"Itu risiko yang harus kuambil," kata Rania datar.

"Kenapa?! Untuk laptop?! Kita bisa beli laptop baru, Ra!"

"Ini bukan soal laptopnya, Za!" Suara Rania meninggi untuk pertama kalinya, sebuah retakan emosi muncul di fasadnya yang dingin. "Ini soal *apa* yang ada di dalamnya!"

Dia berdiri, berjalan mondar-mandir di trailer yang sempit. Dia harus membuatnya mengerti.

"Skripsiku," katanya. "Skripsi arsitekturku yang gagal. Yang membuatku *drop out*... bukan, yang membuatku *pensiun*."

"Aku tahu," kata Reza. "Kamu bilang itu... idealisme yang hancur."

"Itu lebih dari itu. Judulnya," Rania berhenti, ingatan itu terasa aneh, seperti datang dari kehidupan orang lain. "Judulnya adalah: *'Resonansi Spasial: Analisis Pola Arsitektur Kuno dan Dampaknya Terhadap Persepsi Emosional Manusia'*.

Reza mengerutkan kening. "Artinya...?"

"Artinya aku sudah mempelajari ini sepanjang waktu tanpa aku sadari!" kata Rania. "Aku menghabiskan empat tahun meneliti *mengapa* kuil membuatmu merasa 'suci'. *Mengapa* penjara bawah tanah membuatmu merasa 'putus asa'. *Mengapa* katedral membuatmu merasa 'kecil' di hadapan Tuhan."

"Kamu... kamu mempelajari Gema," bisik Reza, akhirnya mengerti.

"Aku menyebutnya 'gema psikologis'. Aku pikir itu hanya trik desain. Akustik. Cahaya. Proporsi. Tapi aku *salah*. Itu bukan trik. Itu adalah *fungsi*. Para arsitek kuno... mereka adalah 'Sensitif'. Mereka *tahu*."

Dia menatap Reza, matanya kini berkilat dengan intensitas yang menakutkan.

"Semua penelitianku. Semua catatan lapanganku dari situs-situs kuno. Semua diagramku tentang bagaimana sudut dan material tertentu bisa *memperkuat* atau *meredam* emosi... Itu bukan skripsi. Itu adalah *manual instruksi* Gema. Itu adalah *cara* menjadi Arsitek. Dan Bima... Bima yang terobsesi pada tatanan... dia *tahu* aku sedang mengerjakan ini. Dia mengejekku di depan dosen, menyebutnya 'nostalgia spiritual bodoh'."

Keheningan memenuhi trailer.

"Jika dia," lanjut RANIA pelan, "mendapatkan *hard drive* itu... dia tidak hanya akan mendapatkan kuil untuk 'Sang Geometer'. Dia akan mendapatkan *cara* untuk *mengendalikannya*. Dia akan mendapatkan semua penelitianku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."

Reza akhirnya mengerti. Ini bukan soal laptop. Ini soal mencegah Bima mendapatkan senjata pemusnah massal.

"Oke," kata Reza pelan. "Oke. Aku mengerti. Tapi kamu... kamu tidak bisa pergi sendiri. Kamu bilang kamu 'buta'. Batu itu... membuatmu seperti mereka."

"Aku harus," kata RANIA.

"Tidak." Reza melangkah maju. "Aku ikut denganmu."

Rania akan membantah. *Tidak logis. Kamu adalah beban. Kamu 'berisik'.*

"Tutup mulutmu," kata Reza, seolah membaca pikiran logisnya. "Jangan katakan aku tidak efisien. Aku tahu. Tapi kamu butuh aku, Ra. Batu itu membuatmu... *pintar* secara supernatural, tapi itu membuatmu *bodoh* secara manusiawi. Kamu akan berjalan lurus ke patroli polisi atau militer karena mereka tidak terbuat dari Gema. Kamu buta Gema. Aku... aku adalah mata normalmu. Mata *manusiawi*-mu."

Dia menepuk dadanya. "Aku tidak bisa membengkokkan ruangan. Tapi aku bisa melihat tentara dari jarak seratus meter. Aku bisa mendengar radio polisi. Kamu adalah agen 'sunyi'-nya. Aku adalah *pengamat*-nya."

RANIA memproses data baru itu. Argumen Reza... sangat logis. Sebuah tim dua orang. Satu "Infiltrator Gema" yang sunyi, satu "Pengamat Manusiawi" yang waspada. Itu... efisien.

Dia mengangguk sekali. Dingin. "Oke. Kamu jadi mata di luar. Kamu mengawasi perimeter. Kamu akan mengawasi *manusia*. Polisi. Militer. Apapun yang mereka kirim untuk 'karantina'. Aku akan masuk. Sendirian."

Dia melihat ke luar jendela. Matahari mulai turun. "Kita tunggu sampai pukul tiga dini hari. Jam paling mati."

 

**(Interlude: Kepingan Puzzle)**

**Arsip Bawah Tanah Universitas - 20.44 MALAM**

Tempat itu berbau seperti kertas yang sekarat.

Arsip Bawah Tanah di bawah Perpustakaan Pusat Universitas adalah salah satu "Titik Buta" Pelestari yang paling aman di kota. Dindingnya dilapisi timah tipis di balik rak-rak buku, meredam Gema eksternal.

Dion mengganti kantong infus saline—yang dicampur dengan larutan perak koloidal yang berdenyut redup—yang tergantung di samping tempat tidur lipat.

Di atas tempat tidur, Elara terbaring. Dia pucat seperti porselen. Dia sadar, tapi nyaris tidak. "Koreksi" sonik itu, dan tindakan balasannya dengan perisai frekuensi, telah membuatnya "terbakar". Gema internalnya kacau.

"Mereka... bodoh," bisiknya, bibirnya pecah-pecah. "Kuno... dia selalu... berlebihan."

"Kuno?" tanya Dion, mencatat di tabletnya.

"Pembersih itu," desis Elara. "Namanya Kuno. Fanatik. Dia percaya *semua* Arsitek Gema adalah bidah. Dia..."

Pintu arsip mendesis terbuka.

Dion meloncat berdiri, tangannya meraih garpu tala di ikat pinggangnya.

Itu bukan Kuno.

Pria yang masuk itu tinggi, mengenakan setelan hitam yang rapi, dan memancarkan aura otoritas yang dingin. Dia adalah **Markus**. Pemimpin Faksi Pembersih lokal—atasan Kuno.

Markus mengabaikan Dion. Dia berjalan ke tempat tidur Elara dan menatapnya dengan tatapan yang akan diberikan seorang insinyur pada mesin yang rusak.

"Kau terlihat mengerikan, Elara," katanya. Suaranya datar.

"Dan kau terlihat seperti baru saja kehilangan kendali atas asetmu, Markus," balas Elara lemah. "Pembersih-mu... Kuno... dia melakukan 'Koreksi' Tipe-Alfa di zona sipil."

"Dia *menetralisir* Titik Buta yang rusak, yang *kau* biarkan Anomali itu buka," balas Markus, tidak terpengaruh. "Dia melakukan pekerjaannya. Dan 'Koreksi' itu memiliki manfaat tambahan: seluruh jaringan Gema kota kini berantakan. Mengacaukan sensor Bima. Kita sekarang berada dalam 'Kabut Perang' supernatural. Kuno memberi kita kesempatan."

Dion melangkah maju. "Kesempatan? Dia hampir membunuh kita! Dan Anomali itu... Rania... dia bisa menjadi kunci untuk—"

"Anomali itu adalah *kunci kontak* yang tidak stabil," potong Markus. "Dan dia sekarang tidak relevan."

"Tidak relevan?" teriak Dion.

Markus akhirnya menatap Dion. "Data sensor kami menangkap sinyalnya sesaat sebelum 'Koreksi'. Dia memakai 'Filter Obsidian'. Dia *Gema-buta* sekarang. Dia tidak bisa mengakses Denah. Dia tidak bisa *menulis ulang* apa pun. Dia hanyalah seorang gadis yang ketakutan dengan kalung, yang bersembunyi di suatu tempat."

"Kita harus menemukannya!" desak Dion. "Dia dalam bahaya!"

"Dia *adalah* bahaya," kata Markus. "Tapi dia bukan prioritas."

Markus berbalik ke terminal utama arsip. "Perintah Ordo baru saja turun. Faksi Pembersih mengambil alih operasi di kota ini. Prioritas Satu: Bima dan 'Proyek Geometer'-nya. Dia adalah ancaman eksistensial. Prioritas Dua: Menahan zona 'Koreksi' Tipe-Alfa yang dibuat Kuno. Prioritas Tiga..."

Dia berhenti sejenak.

"Prioritas Tiga: Temukan dan *dekomisi* Anomali itu. Dia adalah detonator berjalan. Kirim unit 'Pengamat' standar untuk menyisir tempat-tempat yang diketahui—apartemennya, catatan kerjanya. Tapi jangan buang aset primer. Dia hantu. Biarkan hantu berkeliaran untuk saat ini."

Markus menatap Elara yang terbaring lemah. "Pekerjaanmu sebagai Pelestari selesai di sini, Elara. Istirahatlah."

Dia berbalik dan berjalan keluar dari arsip, meninggalkan keheningan yang dingin.

Dion menatap Elara dengan putus asa. Elara perlahan menoleh padanya.

"Dia... bodoh," bisik Elara lagi. "Dia meremehkannya. Sebuah 'Filter Obsidian'... tidak hanya... *memblokir*. Itu... *menyimpan*..."

Mata Elara terpejam, kelelahan akhirnya mengalahkannya.

Dion menatap pintu tempat Markus menghilang, lalu ke tabletnya yang masih berkedip-kedip, penuh dengan data yang tidak masuk akal. Rania masih di luar sana. Sendirian. Dan buta.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!