Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Lenteramu
Untuk beberapa saat, waktu seakan terhenti bagi Priska. Ia membeku di tempat. Mendengar pernyataan Awan yang memilih wanita selain dirinya bagaikan sebuah pukulan telak. Kemana Awan yang dulu, kekasihnya yang rela berbuat apapun demi dirinya. Bahkan kepergian priska keluar negeri benar-benar menghancurkan pria itu.
“Kamu serius, Awan? Baru beberapa waktu lalu kamu mengatakan belum bisa melupakan aku. Apa artinya semua itu?” Lelehan air mata mulai mengaliri wajah Priska. Sakit, kecewa, malu dan marah bercampur menjadi satu.
“Untuk itu aku minta maaf. Aku pun pernah menolak Pelangi karena perasaan itu. Tapi sekarang aku mengerti, Pelangi adalah jodoh yang dipilihkan Tuhan untukku.”
Amarah yang sejak tadi ditahan Priska seolah meledak saat itu juga. Pria yang dicintainya itu menolaknya dengan begitu kejam. Dan tanpa memikirkan perasaannya, Awan malah mendeklarasikan cintanya untuk Pelangi di hadapan semua orang. Hanya satu yang Priska tahu saat ini ... ia patah hati.
“Kamu benar-benar tega sama aku! Lihat dia dan lihat aku!” Priska menunjuk Pelangi dan dirinya sebagai bentuk perbandingan. “Aku lebih segala-galanya dibanding dia!”
“Seburuk apapun seorang istri dalam pandangan orang lain, dia tetaplah permata di hati suaminya,” balas Awan.
Priska merasa tak tahan lagi. Sesak memenuhi dadanya, seakan udara dalam ruangan itu tak cukup baginya untuk bernapas. Sorot mata penuh harap ia arahkan kepada Ibu Sofie, seseorang yang selama ini mendukung hubungannya dengan Awan. Namun, apa yang ia dapati membuatnya kecewa. Wanita itu memilih untuk diam. Tatapannya yang lembut terhadap Pelangi sudah cukup bagi Priska sebagai jawaban.
“Kamu jahat, Awan! Kamu jahat!” Tak ingin harga dirinya terus terinjak, wanita itu melangkah keluar dengan isak tangis yang terus terdengar.
Kepergian Priska turut membawa suasana tegang yang sejak tadi menyelimuti seisi ruangan, berganti menjadi suasana haru. Awan masih enggan melepas tangan pelangi yang ia genggam di dadanya.
“Ayah, Ibu, apa boleh Pelangi kembali kepada saya?”
Garis bahagia tak dapat disembunyikan oleh Ayah Ahmad dan Ibu Humairah. Begitu juga dengan kedua orang tua Awan. Zidan pun tampak bernapas lega. Bibirnya bergerak tanpa suara, mengucap alhamdulillah.
“Kami hanya orang tua, sedangkan Nak Awan suaminya. Nak Awanlah yang memiliki hak mutlak atas Pelangi. Ketika seorang anak perempuan menikah, maka surganya sudah berpindah dari ibu ke suaminya.”
Jawaban melegakan dari Ayah Ahmad membuat senyum terlukis di bibir Awan. Segenap beban yang menghimpit dadanya seketika sirna.
“Terima kasih, Ayah, Ibu, Zidan. Mulai sekarang, saya akan menjaga Pelangi dengan sebaik-baiknya.”
..........
Sepanjang hari ini tak sedikit pun Pelangi beranjak dari sisi suaminya. Keluarga dari kedua belah pihak memutuskan meninggalkan mereka berdua saja demi memberi ruang untuk saling mendekatkan diri.
Pelangi menemani, merawat dan menyuapi makan suaminya dengan penuh kasih sayang. Ujian kali ini bagai sebuah jembatan yang turut mendekatkan hati keduanya.
Retak pada tulang kaki benar-benar membatasi ruang gerak Awan. Seharian terus terbaring membuat tubuhnya terasa lengket, sehingga Pelangi segera membasuhnya dengan handuk basah. Tatapan hangat Awan pun tak pernah lepas dari wajah istrinya yang selalu tampak kemerah-merahan. Sangat cantik.
Awan merasa perlakuan Pelangi saat ini sangat tidak sebanding dengan perbuatan buruk Awan terhadapnya. Ia malah sering menyakiti perasaan wanita seharusnya ia jaga dan cintai dengan segenap jiwa dan raganya.
“Kamu terlalu baik. Aku merasa sangat tidak pantas untuk menjadi suami kamu.”
Pelangi tersenyum. Tangannya meremas handuk kecil di tangannya. Wajah suaminya adalah bagian terakhir yang ia basuh. Setelah selesai, ia meletakkan wadah kecil ke atas meja.
“Kita bisa hijrah sama-sama.”
“Hijrah?” Sebuah kata yang menciptakan kerutan tipis di kening Awan. Pikirannya langsung membedah kata ‘hijrah’ membentuk sebuah kesimpulan yang ia artikan sebagai ‘pindah’. “Memang kita mau imigrasi ke mana?”
Pelangi pasti sudah menyemburkan tawa jika tidak mengingat suaminya sedang dalam keadaan sakit. Akhirnya, hanya tawa kecil yang keluar dari bibirnya.
“Hijrah adalah berpindah dari keadaan yang semula buruk menjadi keadaan yang lebih baik, dari kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Sebuah proses untuk terus-menerus memperbaiki diri, memperbaiki cara berucap dan bersikap.”
Kelembutan Pelangi dalam menjelaskan sesuatu membuat Awan kembali terpaku. “Kamu mau mengajari aku? Aku pasti akan sangat merepotkan kamu, bahkan aku tidak tahu cara wudhu yang benar.”
“Aku juga masih sangat banyak kekurangan. Kita belajar sama-sama, ya.”
“Kamu tidak merasa berat memiliki suami seperti aku? Seharusnya suami yang membimbing istri, tapi malah sebaliknya.”
“Kalau begitu, aku akan menjadi lenteramu dalam kegelapan, dan kamu akan menjadi jalanku untuk menuju surga. Apabila seorang wanita selalu menjaga shalatnya, menjalankan puasa, menjaga diri dari perbuatan zina, dan selalu taat kepada suaminya, maka dia akan masuk ke surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.”
Mereka saling berpegangan tangan dengan jari-jari yang saling bertaut. Awan menatap mata istrinya semakin dalam. “Terima kasih, Pelangi!”
“Terima kasih juga sudah melewati masa kritis dan terbangun dalam kondisi yang lebih baik,” balas Pelangi.
“Kamu tahu ... tadinya aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Aku sempat menyerah, tapi sesuatu membuatku bertahan.”
“Sesuatu apa?” tanyanya.
“Aku mendengar suara lembut yang memanggilku Hubby.”
Pipi Pelangi seketika merona merah.
...........