Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir Aneh
Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui celah gorden, menyinari kamar tidur dengan rona keemasan.
Green perlahan-lahan tersadar. Tubuhnya terasa hangat dan nyaman, diselimuti oleh selimut tebal dan... sesuatu yang keras dan berotot. Ia menggerakkan wajahnya sedikit, hidungnya menabrak kain lembut yang beraroma cologne mahal dan maskulin.
Matanya langsung terbelalak.
Ia tidak lagi membelakangi Rex. Entah bagaimana, ia bisa tidur sangat lelap, sampai tidak sadar Green telah berbalik. Kini ia tidur miring, memeluk Rex, dengan satu tangan melingkari pinggang pria itu dan wajahnya tersembunyi di dada suaminya. Kaki Rex melingkari kakinya, seolah menahannya agar tidak pergi.
Green menahan napas. Jantungnya berdebar kencang, memukul rusuknya seperti drum. Ia ingin berteriak karena terkejut dan jijik pada dirinya sendiri, tetapi segera sadar bahwa dialah yang memeluk, bukan Rex.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati, seperti seorang pencuri profesional, Green menarik tangannya dari pinggang Rex. Ia melepaskan lilitan kakinya dari kaki suaminya dan mengangkat kepalanya dari dada bidang itu. Setiap gerakannya terasa sangat lambat, takut membangunkan pria yang tampak tenang dalam tidurnya.
Setelah berhasil melepaskan diri, Green turun dari ranjang. Ia segera berjalan ke lemari, menarik baju training abu-abu dan celana lari hitam, lalu masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Selesai berganti, Green berdiri di depan pintu kamar. Ia menoleh sekali lagi ke ranjang. Rex tampak tenang, selimut menutupi setengah badannya.
Sip. Pergi sebelum dia bangun dan mulai mengejek.
Green membuka pintu kamar dengan sangat perlahan. Langkah kakinya di lantai kamar apartemen mereka sangat ringan, hampir tidak terdengar. Ia keluar, menyambar earphone dan kunci dari meja konsol di ruang tamu, dan menutup pintu unit mereka tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia harus berolahraga untuk menghilangkan pikiran tentang bagaimana ia bangun di pelukan pria itu.
Di dalam kamar, Rex mendengar bunyi pintu utama tertutup.
Ia membuka matanya perlahan. Senyum tipis yang penuh kepuasan tersungging di bibirnya.
Dasar keras kepala.
Rex sebenarnya sudah terbangun sejak Green bergerak panik di sampingnya. Ia bisa merasakan tarikan Green yang hati-hati menjauh, merasakan kehangatan lengan wanita itu yang semula melingkari pinggangnya. Ia bahkan menikmati kepanikan Green, tetapi memutuskan untuk berpura-pura tidur demi menghindari drama pagi.
Setelah yakin Green sudah pergi lari, Rex baru bangkit. Ia meregangkan ototnya, lalu berjalan keluar kamar, menuju dapur.
Dapur apartemen mereka yang modern dan minimalis adalah area yang jarang mereka sentuh bersama. Rex membuka kulkas, berniat menyiapkan sarapan. Saat ia mencari telur, matanya menangkap sesuatu di atas counter dapur, di samping mesin kopi.
Itu adalah selembar kartu tebal berwarna navy dengan ukiran emas. Sebuah undangan.
Rex mengernyit, mengambil undangan itu dan membacanya.
St. Regis Manor Hotel
Rex terdiam, saat menatap nama keluarga itu. Anderson. Ia merasa ada yang aneh.
"Kenapa undangan ini ada di sini? Padahal aku sudah menyimpannya," gumam Rex pada dirinya sendiri.
Rex ingat ia menerima undangan yang sama untuk acara bisnis, tetapi ia yakin sudah menyimpannya di tas. Ia tidak menyadari bahwa undangan yang ada di tangannya adalah salinan lain, milik Green, yang dibuang oleh Green sendiri ke tempat sampah dapur sehari sebelumnya dan entah bagaimana jatuh kembali ke counter.
Tanpa pikir panjang, Rex mengambil undangan itu dan memasukkannya ke saku celana training-nya. Mungkin ia bisa memeriksanya nanti.
...
Sore hari di St. Regis Manor Hotel
Green berdiri di depan cermin toilet staf Hotel Regis. Ia mengenakan seragam pramuniaga yang rapi; blazer hitam, rok span, dan blus putih. Rambutnya disanggul ketat, dan wajahnya dipoles dengan makeup profesional.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengencangkan name tag di dadanya: Green.
Di luar, ia tahu seluruh staf sedang sibuk menyiapkan Grand Manor Ballroom. Malam ini, Green bertugas sebagai koordinator lapangan di jamuan makan malam terbesar yang pernah ditangani Hotel Regis Manor tahun ini.
Sebuah jamuan besar untuk menyambut seorang anggota keluarga.
Green menghela napas berat, mengingat kembali bagaimana keluarganya sering mengadakan jamuan besar untuk mengundang rekan bisnis orang tuanya.
Baginya, pesta seperti itu bukan sesuatu yang baru tapi meski begitu Green hampir tidak pernah menghadirinya. Bukan karena orang tuanya melarang tapi karena memang dirinya yang enggan.
Saat sedang bersiap, sebuah suara terdengar dari luar pintu memanggilnya.
Green bergegas menghampiri.
“Green, keluarga Anderson meminta satu sesi untuk dansa. Nyonya Anderson akan berdansa dengan putra keduanya, Chester Anderson, dan tuan pertama akan berdansa dengan istrinya.”
Atasan Green berkata seraya menyerahkan nota baru susunan acara yang baru.
“Kamu juga harus memastikan orang-orang di area permainan siaga.”
Bagaimanapun di area itu anak-anak dari keluarga kaya akan berkumpul, mereka tidak bisa lengah.
“Ke-keluarga Anderson?”
Alih-alih mendengarkan instruksi atasannya, fokus Green justru pada si empunya pesta.
“Ya, keluarga Anderson. Jangan bilang kau tidak tahu kalau yang mengadakan pesta kali ini adalah konglomerat keluarga Anderson?”
Green menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak peduli dengan hal itu karena yang penting baginya adalah pekerjaan.
Bagaimana bisa dia bekerja untuk keluarga Anderson? Dengan kondisinya saat ini?
Tiga tahun lalu, Green meninggalkan keluarga Anderson dan semua kemewahan mereka, memilih menjalani hidup mandiri. Ia memotong kontak, menolak uang, dan bekerja keras dari nol.
Akan tetapi nasibnya aneh. Pekerjaan yang ia cintai kini membawanya kembali ke titik nol, bertugas melayani keluarga yang ia tinggalkan.
Ia mengecek jam tangannya. Sebentar lagi, mobil-mobil mewah akan berdatangan. Sebentar lagi, Nyonya Anderson, wanita yang pernah sangat mencintainya dan kini sangat membencinya akan tiba.
Green memejamkan matanya perlahan, kembali meratapi konflik antara dirinya dan sang ibu yang amat sangat membencinya karena menganggap penyebab kematian Tuan Anderson adalah dirinya.
Saat itu, Tuan Anderson baru saja tanpa sengaja mengetahui kondisi Green yang buruk dan menjalani pengobatan di klinik psikiatri. Sebagai ayah tentu saja itu sangat menyakitinya. Ia merasa gagal karena tidak tahu dengan kondisi anak kesayangannya.
Saat itu, Tuan Anderson yang tidak pernah punya waktu untuk Green tiba-tiba meluangkan waktu dan mengajak Green hiking di pegunungan sebagai kado ulang tahun.
Nahas, Tuan Anderson yang belum lama menjalani operasi jantung kolaps di dekat tebing. Evakuasi cukup sulit hingga terlambat mendapatkan penanganan medis.
Green yang berada di sisinya Sanga terkejut dan ketakutan. Begitu petugas medis datang mereka memberitahu kalau Tuan Anderson sudah meninggal.
Saat itu juga, Green tidak sadarkan diri. Tiga hari kemudian, setelah pemakaman Tuan Anderson, Green baru saja sadarkan diri dan saat itu pulalah dia harus menanggung tuduhan sebagai pembunuh ayahnya dari mulut ibunya sendiri.
Fakta ayahnya meninggal yang belum bisa diterima oleh nalar Green dan juga tuduhan menyakitkan dari ibunya membuatnya hidup dalam kegelapan. Menjauh dari keluarganya.
“Green.”
Panggilan itu berhasil menarik Green dari lamunan. Dia menatap wanita di depannya.
“Ah, iya, Kak. Maaf. Aku mengerti dan akan mencatat semuanya.”
Wanita di depannya mengangguk dan segera pergi.
"Baiklah, Green," ia berbisik pada bayangannya. "Ini hanya pekerjaan. Kau hanya Green si koordinator, bukan Green Anderson. Jangan sampai ada yang mengenalimu."
Meski berasal dari keluarga Anderson, sejak lahir ia sudah mengenakan nama keluarga ibunya, keluarga Simon.
Ia membuka pintu dan melangkah keluar, wajahnya memasang ekspresi profesional dan dingin, siap menghadapi malam terpanjang dalam hidupnya.
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor