Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JEBAKAN REKAM JEJAK DIGITAL
Aku meninggalkan gedung BEM dengan sensasi adrenalin yang berdegup kencang, sebuah perasaan yang sudah lama tidak kurasakan sejak Kinara yang lama berhenti berjuang melawan kelelahan eksistensial.
Aku telah memprovokasi Rendra. Dan seorang politisi sejati, apalagi yang seefisien Rendra, tidak akan membiarkan provokasi tanpa respons yang terstruktur.
Aku tidak perlu menunggu lama. Malam itu, saat aku sedang mencoba menguraikan catatan tentang anggaran acara kampus, ponselku mulai meledak dengan notifikasi. Bukan pesan dari teman, melainkan banjir tautan ke Forum Mahasiswa yang terkenal anonim dan penuh racun.
Subjek utama: "Integritas Pemimpin dan Bayangan Utang: Haruskah Kita Percaya Kritikus dengan IPK 0.9?"
Jebakan Rendra telah dipasang. Itu adalah serangan balik yang cerdas dan kejam, memanfaatkan kelemahan terbesar Amara: rekam jejak digitalnya. Forum itu tidak hanya menampilkan skandal utang judi online yang sudah lama, tetapi juga foto-foto lama Amara saat mabuk di klub malam, kutipan-kutipan media sosialnya yang kasar, dan perbandingan grafis yang menyakitkan antara IPK-nya yang rendah dan kenaikan nilai Sosiologi Kritis yang mendadak.
Aku membaca setiap komentar, membiarkan kemarahan yang dingin menggantikan rasa takut. Mereka tidak menyerang argumenku tentang kurikulum atau BEM; mereka menyerang integritasku sebagai pribadi. Mereka ingin aku terperangkap kembali di dalam kotak "Antagonis Terbuang" yang telah kubersihkan dengan susah payah.
“Sistem,” gumamku, menarik napas panjang. “Ini serangan terhadap identitas. Berikan aku data tentang *timing* unggahan ini dan siapa yang paling diuntungkan dari disinformasi ini.”
[KINERJA SISTEM: Menganalisis. Data menunjukkan lonjakan unggahan dari 12 akun anonim yang terpusat pada jam 21:00, tepat tiga jam setelah konfrontasi Anda dengan Rendra. Akun-akun ini memiliki riwayat interaksi yang kuat dengan forum BEM internal. Keuntungan utama: Rendra mempertahankan status quo dan meredam isu transparansi anggaran.]
Rendra tidak bergerak sendiri. Dia menggerakkan mesin propaganda BEM. Dia tidak peduli dengan moralitas; dia peduli dengan efektivitas. Jika dia bisa membungkamku tanpa harus mengakui bahwa aku benar, dia menang.
Keesokan paginya, suasana kampus terasa berbeda. Bisik-bisik yang biasa kudengar kini berubah menjadi tatapan penghakiman yang lebih intens. Mereka melihatku bukan sebagai Kinara yang baru, melainkan sebagai Amara yang kembali ke jalur kehancuran.
Di kelas Sosiologi Kritis, Pak Arka terlihat tegang. Setelah kelas, dia memintaku untuk tetap tinggal. Ruangan menjadi hening, hanya ada kami berdua di antara bangku-bangku kosong yang berantakan.
“Amara,” Pak Arka memulai, tanpa basa-basi, suaranya pelan namun penuh otoritas.
“Aku sudah melihat apa yang beredar di forum. Kau tahu, bukan, bahwa serangan ini sangat terstruktur?”
“Tentu saja, Pak,” jawabku, menutup buku catatan.
“Ini bukan ghibah spontan. Ini strategi disinformasi untuk mengalihkan fokus dari korupsi ke karakter.”
Pak Arka mengangguk perlahan. “Justru itu yang ingin kubicarakan. Dalam teori sosiologi konflik, ketika seseorang mulai mengganggu tatanan, senjata pertama yang digunakan sistem adalah menanyakan: Siapa kau untuk mengkritik? Seberapa bersih tanganmu? Rendra tahu, serangan digital ini akan mengikis kredibilitasmu lebih cepat daripada seribu surat teguran resmi.”
“Dan Anda khawatir saya akan menyerah, Pak?”
Pak Arka menyandarkan tubuhnya ke meja, tatapannya menusuk. “Aku tidak khawatir kau menyerah. Aku khawatir kau membuang energi pada pertarungan yang salah. Bisakah kau membersihkan masa lalu digitalmu? Tidak. Media sosial itu abadi. Rendra akan terus menggunakan hantu Amara yang lama untuk menghukum Kinara yang sekarang. Jadi, apa rencanamu?”
Aku menatapnya lurus. “Saya akan menggunakan hantu Amara yang lama itu sebagai senjata, Pak.”
“Bagaimana caranya?”
“Saya akan mengakui setiap kegagalan Amara di masa lalu utang, IPK, skandal—tetapi saya akan membalik narasinya. Saya tidak akan meminta maaf atas kegagalan itu; saya akan menuntut pertanggungjawaban dari sistem yang menciptakan kegagalan itu.”
Pak Arka tersenyum tipis, senyum yang jarang kulihat. “Teori sosiologi terbaik selalu dimulai dari refleksi diri yang jujur. Lantas, apa yang ingin kau buktikan pada Rendra?”
“Saya ingin membuktikan bahwa integritas tidak diukur dari IPK, Pak. Integritas diukur dari keberanian menghadapi ketidakadilan, meskipun Anda sendiri adalah produk dari sistem yang rusak itu. Rendra berpikir dia bersih karena dia patuh. Saya akan tunjukkan bahwa kepatuhannya hanya menutupi kotoran yang lebih besar.”
Sore harinya, saat aku sedang menelusuri data BEM, Tania tangan kanan Rendra menghampiriku di kafetaria, membawa laptop yang menyala dan wajah yang cemas. Dia duduk di hadapanku tanpa diundang.
“Amara, kita harus bicara,” kata Tania, suaranya rendah. Dia menunjuk layar laptopnya, yang menampilkan rentetan komentar dari forum anonim.
“Rendra memintaku untuk memastikan semua ini tidak meluas. Dia bilang, jika kau mau mundur dari isu kurikulum dan dana, dia akan memerintahkan penarikan unggahan ini dan membersihkan jejak digitalmu.”
“Sebuah tawaran damai dari Ketua BEM?” Aku mengangkat alis, menyesap kopi. “Sangat murah hati. Tapi aku tidak bernegosiasi dengan teroris reputasi.”
Tania mendesah frustrasi. “Ini bukan teror, ini kenyataan! Semua orang tahu masa lalumu! Kenapa kau harus mempersulit diri? Rendra hanya ingin ketertiban kembali. Kenapa kau harus membongkar isu kurikulum yang bahkan tidak ada hubungannya denganmu?”
“Justru itu yang menjadi inti masalah, Tania. Mengapa isu yang tidak berhubungan denganku harus menjadi alasan Rendra mencoba membungkamku? Bukankah itu berarti Rendra mengakui bahwa isu kurikulum itu benar-benar mengancam? Mengancam siapa? Penerbit Cendekia Nusantara? Atau kas BEM?”
Tania terdiam, matanya melebar sedikit. Dia tahu aku sudah melihat koneksi itu.
“Kami tidak tahu tentang koneksi penerbit itu,” kata Tania, defensif.
“Kami hanya mengikuti perintah untuk menjaga kampus tetap stabil. Rendra khawatir kau akan merusak citra BEM menjelang Debat Internal. Dia tidak ingin ada keributan.”
“Keributan atau transparansi?” Aku mencondongkan tubuh ke depan.
“Tania, kau orang yang cerdas. Kau tahu bahwa Rendra menggunakan efisiensi BEM untuk menutupi kebobrokan. Dia menggunakan rekam jejak digitalku sebagai palu untuk menghancurkan argumenku, tanpa pernah berani menghadapi substansi argumen itu sendiri.”
Aku mengambil pena dan mengetuk layar laptop Tania, tepat di unggahan yang menampilkan IPK 0.9 milik Amara.
“Angka ini,” kataku, menunjuk IPK.
“Ini adalah kegagalan Amara, ya. Tapi ini juga adalah kegagalan sistem. Sistem yang membiarkan seorang mahasiswi dengan potensi intelektual tinggi jatuh ke lubang utang dan depresi, hanya karena sistem ini tidak memfasilitasi kritik. Sistem ini lebih suka Amara mabuk di klub daripada memimpin reformasi.”
Tania terlihat goyah. “Tapi… kau sudah berubah. Kenapa tidak fokus pada perubahan itu? Bukankah itu cukup untuk membuktikan integritasmu?”
“Tidak,” jawabku tegas.
“Integritas sejati bukanlah tentang membersihkan diri sendiri. Itu tentang membersihkan jalan bagi orang lain. Jika aku diam sekarang, Rendra akan menggunakan taktik yang sama pada setiap mahasiswa kritis lainnya. Dia akan menelanjangi kegagalan masa lalu mereka, mempermalukan mereka, dan memaksa mereka kembali ke dalam kepatuhan. Aku tidak akan membiarkan itu.”
Aku mendorong laptop Tania kembali. “Sampaikan pada Rendra. Aku menerima tantangannya. Dia ingin membicarakan integritas? Mari kita bicarakan. Aku tidak akan mundur dari isu kurikulum atau anggaran BEM, dan aku tidak akan membersihkan namaku dari skandal judi online Amara.
Biarkan skandal itu menjadi pengingat bahwa sistem ini menghasilkan sampah, dan kini sampah itu bangkit untuk menuntut pertanggungjawaban.”
Tania terlihat sangat pucat. Dia tahu bahwa Kinara, di balik wajah Amara, kini jauh lebih berbahaya daripada Amara yang lama.
“Rendra akan marah besar,” bisiknya.
“Bagus,” kataku, tersenyum.
“Kemarahan adalah energi. Aku akan menggunakannya. Katakan padanya, jika dia benar-benar peduli pada integritas, mari kita berdebat di depan semua orang. Debat sungguhan, bukan sekadar manipulasi digital.”
Tania bergegas pergi, meninggalkan meja. Aku tahu, pesanku akan sampai ke Rendra dengan cepat.
Keesokan harinya, taktikku membuahkan hasil. Rendra, yang terpojok karena tidak bisa membiarkan serangan digitalnya terlihat seperti upaya penekanan, memilih untuk merespons dengan cara yang paling terstruktur dan formal yang dia bisa lakukan: tantangan terbuka.
Aku menerima email resmi dari BEM. Subjeknya: Undangan Partisipasi Debat Internal Fakultas: Tema ‘Integritas Mahasiswa dalam Iklim Politik Kampus’.
Penyelenggara: BEM. Waktu: Tiga hari dari sekarang. Format: Debat terbuka antar-mahasiswa yang dianggap ‘kontroversial’.
Aku tersenyum puas. Rendra telah jatuh ke dalam perangkap yang kubuat sendiri. Dia berpikir bahwa dengan memaksaku berdebat di domainnya (retorika dan politik kampus), dia bisa menggunakan panggung itu untuk menghancurkanku, menelanjangi masa laluku di depan semua orang.
“Sistem,” panggilku. “Debat Internal. Ini adalah panggung yang kubutuhkan untuk membongkar bukan hanya Rendra, tetapi seluruh struktur BEM yang didanai Target 4.”
[KINERJA SISTEM: Misi Seri 2 Diperbarui. Tujuan: Kalahkan Rendra (Target 2) dalam Debat Internal Fakultas. Hadiah: Akses ke Data Keuangan Internal BEM. Waktu tersisa: 3 hari.]
Aku menatap undangan debat itu. Rendra ingin menggunakan sejarah Amara untuk mendiskreditkanku. Baiklah. Aku akan menggunakan kelemahan Amara untuk mendiskreditkan sistemnya. Pertempuran sesungguhnya kini dimulai.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselku, bukan dari BEM, melainkan dari nomor tak dikenal. Itu adalah tangkapan layar dari forum anonim yang merisakku, tetapi kali ini, ada tambahan.
Sebuah unggahan baru muncul: “Mengapa Amara? Kenapa bukan yang lain? Kenapa dia harus menanggung semua ini?”
Di bawah unggahan itu, tersemat tautan yang sangat pendek. Tautan itu mengarah ke sebuah blog pribadi yang sudah lama mati, milik Amara yang asli, dari tiga tahun lalu. Judul blog itu: "Aku Ingin Berhenti Menjadi Sempurna."
Kinara merasa merinding. Tautan itu bukan dikirim oleh Rendra. Itu terlalu emosional dan terlalu dalam, jauh dari strategi politiknya yang dingin.
Tautan itu mungkin berasal dari seseorang yang peduli pada Amara yang lama, atau yang bahkan lebih buruk, seseorang yang mengetahui bahwa aku, Kinara, sedang mencoba menutupi jejak Amara yang dulu.
Aku mengklik tautan itu. Blog tersebut adalah curahan hati Amara yang hancur, yang menceritakan tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik tekanan yang tampaknya dipicu oleh kecemburuan dari seseorang yang sangat dekat dengannya. Di paragraf terakhir, ada sebuah nama yang disebutkan samar-samar, sebuah panggilan sayang yang terasa dingin.
"Semua ini karena dia. Aku harus dihukum agar Kakak bisa menjadi sempurna. Dia bilang aku mengganggu jalurnya..."
Nama itu. Panggilan sayang itu. Tiba-tiba, Sistem berbunyi alarm dengan suara keras, mengganggu keheningan malam.
[PERINGATAN! DATA TERLALU SENSITIF DITEMUKAN. PENGUNGKAPAN IDENTITAS ANTOGONIS UTAMA DIMULAI. IDENTITAS: SERENA (SAUDARA ANGKAT AMARA). AKTIVASI PENGUNCIAN DATA HINGGA SERI 4.]
Jantungku berdebar kencang. Rendra hanya penjahat kecil yang melindungi uang. Antagonis utamaku ternyata ada di dalam rumah Amara sendiri. Saudara angkat Amara, Serena, telah menjadi dalang di balik kehancuran digital Amara. Dan kini, seseorang telah memberiku petunjuk itu, tepat sebelum aku menghadapi Rendra.
Siapa yang mengirimkan tautan ini? Apakah itu sekutu diam-diam? Atau jebakan lain yang jauh lebih dalam?
Aku menutup laptop, merasakan kengerian yang menusuk. Aku harus menghadapi Rendra dalam tiga hari, tetapi sekarang aku tahu bahwa ada musuh yang jauh lebih berbahaya yang bersembunyi di balik senyum paling manis.
Rendra adalah pertarungan politik; Serena adalah perang eksistensial. Dan aku harus menang di panggung Rendra, agar aku memiliki kekuatan untuk bertahan dari serangan Serena.
Aku menatap bayanganku di jendela, melihat wajah Amara yang kini memancarkan tekad Kinara.
“Kau ingin aku terperangkap, Rendra? Kau akan terkejut melihat apa yang dibawa oleh seorang pecundang yang sudah tidak memiliki apa-apa untuk dipertaruhkan.”