NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penghantar tidur

Pintu apartemen penthouse itu terbanting keras ketika Arsenio masuk. Langkahnya berat, tubuhnya masih bergetar oleh emosi yang belum reda. Jasnya ia lempar sembarangan ke sofa, napasnya memburu.

Ia memandang bayangannya di dinding kaca, wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Dan dalam sepersekian detik, ia menendang meja kecil di dekatnya hingga terbalik, gelas kristal pecah berserakan.

“Brengsek!” bentaknya, telapak tangannya menghantam sisi meja kerja.

Ingatan tentang Dewangga yang melindungi Mentari dalam pelukannya kembali—menusuk seperti pisau yang baru diasah. Ia menghantam rak dokumen, menjatuhkan segala isi di dalamnya. Bingkai foto keluarga terhempas ke lantai, retaknya menambah kebisingan malam itu.

Tak lama, pintu terbuka pelan. Asistennya, Bagas, melongokkan kepala, tampak hati-hati.

“Pak… ada yang bisa—”

“Masuk,” suara Arsenio rendah namun penuh ancaman. “Dan tutup pintunya.”

Bagas menelan ludah sebelum menuruti perintah.

Arsenio berjalan ke arahnya dengan tatapan gelap, seperti binatang terluka yang siap menyerang siapa pun yang mendekat.

“Mulai malam ini,” katanya dingin, “cancel semua jadwalku. Meeting, kunjungan, bahkan pertemuan keluarga. Tidak ada yang boleh mengganggu.”

Bagas mengangguk cepat. “Ba-baik, Pak.”

Arsenio mengambil napas panjang, mencoba menahan amarahnya yang mendidih.

“Kamu tahu Dewangga Danurengga, kan?” tanyanya, suaranya kembali tajam.

“Pemilik jaringan fashion dan beberapa properti… tentu, Pak. Namanya cukup… besar.”

Arsenio menggertakkan gigi. “Gali semua tentang dia.”

Matanya menatap lurus, seperti pisau yang mencari sasaran.

“Usahanya. Orang-orang sekitarnya. Hubungan lamanya. Partner bisnis. Rekam jejak keluarga. Aku ingin semuanya.”

Bagas menunduk. “Termasuk masa lalunya?”

Arsenio mendekat, menatap tajam. “Terutama masa lalunya.”

Ia mengambil ponsel di meja, memutar-mutarkan dengan gelisah. “Aku tahu dia punya luka. Menikah dengan seorang model ternama dulu… lalu dikhianati, kan?”

Nadia mengangguk pelan. “Rumornya begitu, Pak.”

“Cari detailnya. Aku mau tahu nama modelnya, apa yang terjadi, siapa yang terlibat, kenapa hubungan itu hancur.”

Ia berhenti sejenak, matanya menyipit.

“Luka lama adalah titik paling lemah manusia. Aku ingin tahu luka miliknya di mana.”

Bagas mencatat cepat, wajahnya berubah pucat.

“Segera, Pak. Saya akan mulai malam ini.”

Arsenio berjalan ke jendela besar penthouse, memandangi city light kota Bandung yang berpendar. Tapi tatapannya kosong. Dingin.

“Kau tahu, Bagas…” suaranya serak, rendah, menahan kemarahan.

“Tidak ada yang bisa merampas milikku. Termasuk Dewangga.”

Ketika pintu tertutup dan Bagas pergi, Arsenio menghela napas kasar. Ia menendang kursi hingga jatuh ke samping. Ia merasa seluruh harga dirinya diinjak-injak.

Ia meraih ponsel, membuka foto Mentari—satu-satunya hal yang bisa sedikit menenangkannya. Tapi kali ini, tatapan Mentari hanya membuatnya semakin marah.

Dalam hatinya, sebuah kalimat terpatri:

Jika Dewangga mau perang, aku lebih siap.

*****

Malam merayap pelan di rumah keluarga Wiradiredja. Lampu kamar Mentari menyala temaram, hanya ditemani semilir angin dari jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Gadis itu duduk bersila di atas kasurnya, rambutnya diikat asal, namun matanya fokus—sangat fokus—pada tablet di pangkuannya.

Garis demi garis ia goreskan dengan stylus, sentuhan tangannya mengalir luwes.

Kebaya modern dengan sentuhan klasik Sunda, penuh detail halus yang hanya bisa muncul dari tangan yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Lace tipis di bagian lengan, permainan payet minimalis, dan warna ivory yang lembut—semua tampak hidup di layar tablet.

Mentari mengembuskan napas, senang. “Kayanya ini cocok banget…” gumamnya kecil.

Setelah beberapa menit memastikan detail terakhir, ia menekan ikon kamera, memotret hasil desainnya. Ia sempat ragu sesaat sebelum mengirimnya—pipinya memanas tanpa alasan jelas.

Akhirnya ia memberanikan diri menekan tombol kirim:

“Mas… ini sketsa kebaya untuk pernikahan kita nanti. Mas suka nggak?”

Tak sampai satu menit, ponselnya bergetar.

Ia meraihnya cepat—lebih cepat dari yang ia sadari.

“Cantik.

Sederhana tapi berkelas. Pas sekali untukmu.”

Mentari menggigit bibir bawahnya refleks. Dadanya menghangat.

Balasan kedua masuk hampir bersamaan:

“Kamu memang selalu membuat sesuatu terlihat istimewa. Termasuk hari ini.”

Senyumnya langsung mengembang, begitu lebar hingga pipinya terasa sakit.

Ia mengetik balasan singkat, jempolnya gemetar halus.

“Terima kasih, Mas… Aku senang kalau Mas suka.”

Beberapa detik hening, lalu balasan ketiga muncul.

“Bawa sketsanya besok. Kita realisasikan segera.”

Kalimat itu membuat jantung Mentari berdebar—bukan sekadar “rencana”, tapi janji yang terasa nyata.

Ia menatap layar ponselnya lama, mengulang membaca chat itu seolah ingin memastikan bahwa kalimat itu memang ada, ditulis oleh Dewangga, dan ditujukan padanya.

Perlahan tubuhnya merebah ke kasur, tablet masih terbuka di sampingnya. Raut wajahnya begitu tenang, senyumnya belum pudar. Ponsel masih berada dalam genggaman tangan kanan, layarnya menyala memperlihatkan nama Dewangga.

Dan tanpa ia sadari, rasa letih dan damai bercampur menjadi satu. Kelopak matanya menutup perlahan.

Mentari tertidur dengan senyum kecil—indah, polos, dan penuh harapan.

Di sampingnya, pesan terakhir Dewangga masih tampak jelas:

“Bawa sketsanya besok, kita realisasikan segera.”

Seakan menjadi selimut hangat yang meninabobokannya malam itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!