NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: HIDUP DI JALANAN

Dua minggu kemudian.

Distrik Sombra—bagian paling kumuh di Kaisarion.

Tempat sampah menggunung di sudut jalan. Bau pesing urine bercampur sampah busuk memenuhi udara. Lampu jalan lebih banyak yang mati daripada yang hidup. Grafiti memenuhi setiap dinding, sebagian besar adalah simbol-simbol geng atau kata-kata kasar.

Di kolong jembatan tua yang menghubungkan Distrik Sombra dengan pusat kota, puluhan gelandangan berkumpul. Sebagian tidur di atas kardus, sebagian duduk melingkar di sekitar drum besi yang dijadikan tungku api, menghangatkan tangan mereka yang kotor.

Dan di sudut paling gelap kolong jembatan itu, Alex duduk meringkuk, memeluk lututnya.

Dua minggu.

Dua minggu sejak keluarganya mati.

Dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit—tangan kanannya diperban karena luka bakar, tapi tidak ada yang peduli untuk merawatnya lebih lanjut. Tidak ada saudara yang datang menjemput. Tidak ada tetangga yang mau mengadopsi.

Tidak ada yang mau anak yatim piatu tanpa uang.

Baju yang ia pakai masih sama—baju yang ia pakai malam pembantaian. Sudah kotor, robek di beberapa bagian, bau keringat dan asap yang tidak pernah hilang.

Rambutnya yang dulu rapi sekarang acak-acakan, penuh debu.

Wajahnya kurus—tulang pipinya mulai terlihat jelas. Ia belum makan selama dua hari.

Alex menatap tangannya yang diperban.

Di balik perban itu, ada bekas kulit Elena yang mengelupas. Ia tidak mencucinya. Ia tidak ingin menghilangkan jejak terakhir adiknya.

Perutnya berbunyi—keroncongan keras yang menyakitkan.

Ia harus makan.

Alex bangkit, kakinya gemetar karena lemas. Ia berjalan keluar dari kolong jembatan, menyusuri jalan-jalan Distrik Sombra yang gelap.

Di ujung jalan, ia menemukan tempat sampah besar di belakang sebuah restoran murahan.

Alex membuka tutupnya.

Bau busuk langsung menyerang hidungnya, membuatnya hampir muntah.

Tapi ia tidak punya pilihan.

Tangannya yang gemetar menelusuri tumpukan sampah—botol plastik kosong, kardus basah, sisa makanan yang sudah berjamur.

Ia menemukan sepotong roti—keras, sebagian sudah berjamur, tapi masih ada bagian yang bisa dimakan.

Alex mengambilnya, meniup debu yang menempel, lalu menggigitnya.

Rasanya pahit, keras, hampir membuat giginya sakit.

Tapi ini makanan.

Ia mengunyah perlahan, menelannya meski tenggorokannya sakit.

"Hei! Itu tempat sampah kami!" Suara kasar dari belakang.

Alex menoleh.

Tiga pria—gelandangan yang lebih tua, bertubuh lebih besar—berdiri di belakangnya. Wajah mereka kotor, mata mereka tajam seperti predator yang menemukan mangsa.

"M-maaf," Alex mundur. "Aku hanya—"

"Anak baru, ya?" Yang paling besar—pria botak dengan bekas luka di wajahnya—menyeringai. "Di sini ada aturan, Nak. Setiap tempat sampah punya pemiliknya. Ini tempat sampah kami."

"Aku tidak tahu—"

"Tidak tahu bukan alasan."

Pria botak itu melangkah maju, menampar wajah Alex.

PLAK!

Alex terjatuh, pipinya panas, terasa seperti terbakar.

"Itu pelajaran pertama. Pelajaran kedua—"

Tendangan keras menghantam perut Alex.

BUGH!

Alex terlipat, muntah—mengeluarkan potongan roti yang baru saja ia makan.

"—jangan pernah ambil makanan dari tempat sampah kami lagi."

Tendangan lagi. Kali ini ke rusuknya.

KRAK.

Alex merasakan tulang rusuknya retak. Rasa sakit meledak di dadanya.

Ia mencoba merangkak menjauh, tapi salah satu pria menginjak tangannya yang diperban.

"AAAHH!" Alex menjerit ketika luka bakarnya tertekan.

"Dasar anak lemah," pria itu meludahi wajah Alex. "Kalau tidak kuat, jangan hidup di jalanan."

Mereka pergi, meninggalkan Alex tergeletak di samping tempat sampah.

Darah keluar dari sudut bibirnya. Rusuknya patah, setiap napas terasa seperti ditusuk pisau.

Tapi yang lebih sakit adalah hatinya.

Dua minggu lalu aku punya keluarga. Dua minggu lalu aku tidur di kasur hangat, makan di meja makan, dikelilingi orang yang mencintaiku.

Sekarang aku dipukuli gara-gara seporong roti berjamur.

Alex menutup mata, air mata jatuh—bercampur dengan darah di wajahnya.

"Papa... Mama... Elena..." bisiknya. "Aku tidak kuat. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku ingin ikut kalian."

Malam itu.

Alex kembali ke kolong jembatan.

Ia menemukan kardus kosong, membentangkannya di tanah dingin, lalu berbaring di atasnya.

Dingin. Sangat dingin.

Tubuhnya gemetar, tapi ia tidak punya selimut. Tidak punya apapun.

Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menghangatkan diri.

Matanya perlahan tertutup.

Dan mimpi buruk dimulai.

Dalam mimpi:

Alex ada di rumahnya lagi.

Rumah yang masih utuh, belum terbakar.

"Kakak! Kakak!" Elena berlari ke arahnya, tersenyum lebar. "Ayo main!"

"Elena..." Alex ingin memeluknya, tapi tangannya tidak bisa bergerak.

"Kenapa kakak tidak menolong Elena?" Senyum Elena perlahan hilang. "Elena teriak-teriak panggil kakak. Kakak dengar, kan?"

"Elena, maafkan kakak—"

"KAKAK DENGAR, KAN?!" Suara Elena berubah jadi teriakan. "KAKAK ADA DI LEMARI! KAKAK DENGAR ELENA MINTA TOLONG! TAPI KAKAK TIDAK KELUAR!"

"Aku takut—"

"ELENA SAKIT! ELENA DIPERKOS*! ELENA MATI!" Elena menangis darah. "KARENA KAKAK TIDAK MENOLONG!"

Tiba-tiba tubuh Elena terbakar.

Seperti malam itu.

Api menjilat tubuhnya, kulit Elena meleleh, tapi matanya tetap menatap Alex.

"Kakak... kakak jahat..." bisik Elena sebelum tubuhnya jadi abu.

"TIDAAAAAK!" Alex terbangun dengan berteriak.

Napasnya tersenggal-senggal, keringat dingin membasahi tubuhnya meski udara malam sangat dingin.

Beberapa gelandangan di sekitarnya terbangun, memandangnya dengan jengkel.

"Berisik! Mau tidur!" salah satu dari mereka melempar batu kecil ke arah Alex.

Alex memeluk lututnya, menangis dalam diam.

Setiap malam mimpi yang sama.

Elena meneriakkan namanya.

Elena memohon tolong.

Elena mati karena dia tidak keluar dari lemari.

"Maafkan aku... maafkan aku, Elena..." Alex berbisik di antara tangisnya. "Kakak pengecut... kakak janji akan balas dendam... tapi kakak tidak tahu caranya... kakak masih kecil... kakak tidak kuat..."

Angin malam berhembus, membawa hawa dingin yang menembus tulang.

Alex berbaring lagi di kardus tipis itu, menatap langit-langit jembatan yang gelap.

Mungkin lebih baik aku mati saja.

Tapi kalau aku mati... siapa yang akan balas dendam untuk Papa, Mama, Elena?

Siapa yang akan buat Adipati Guntur membayar?

Pertanyaan itu berputar di kepalanya sampai ia akhirnya tertidur lagi.

Dan mimpi buruk yang sama kembali.

Terus berulang.

Setiap malam.

Sampai ia nyaris gila.

Seminggu kemudian.

Alex berjalan tertatih-tatih di jalanan Distrik Sombra.

Tiga hari tidak makan. Rusuknya yang patah belum sembuh, setiap napas masih terasa sakit.

Ia melewati sebuah gang gelap ketika mendengar suara keributan.

Alex mengintip.

Ada lima preman—pria bertato dengan pakaian lusuh—sedang memukuli seorang gelandangan tua.

"Kamu bilang bisa bayar kami minggu depan! Sekarang sudah lewat dua minggu!" salah satu preman menendang perut lelaki tua itu.

"M-maafkan aku... aku belum dapat uang... kumohon beri aku waktu—"

"CUKUP ALASAN!"

Tendangan lagi. Kali ini ke wajah.

Gelandangan tua itu jatuh, darah keluar dari hidungnya.

Alex tahu ia harus pergi. Ini bukan urusannya. Tapi kakinya tidak bergerak.

Ada sesuatu di dalam dirinya—mungkin sisa kemanusiaan yang masih ada—yang tidak bisa melihat orang tua itu dipukuli sampai mati.

Atau mungkin karena lelaki tua itu mengingatkannya pada ayahnya.

"H-hentikan..." Alex melangkah keluar dari persembunyiannya, suaranya bergetar.

Lima preman itu menoleh.

Mereka menatap Alex—anak kurus, kotor, dengan perban lusuh di tangannya.

Lalu mereka tertawa.

"Anak kecil mau main pahlawan?" salah satu dari mereka menyeringai. "Ayo, kalau kamu berani."

Alex tahu ini bodoh.

Ia tahu ia akan dipukuli—atau lebih buruk, dibunuh.

Tapi entah kenapa, ia tidak peduli lagi.

Dua minggu terakhir hidup di neraka membuat nyawa terasa tidak berharga lagi.

Mungkin lebih baik mati sambil melakukan hal yang benar.

Alex mengangkat tangannya, bersiap—

Tapi sebelum ia sempat melangkah, gelandangan tua itu bangkit.

"Jangan, Nak," bisiknya sambil memegang bahu Alex. "Kamu akan mati."

"Tapi—"

"Aku sudah tua. Nyawaku tidak berharga lagi. Tapi kamu masih muda. Kamu masih punya masa depan."

Gelandangan tua itu tersenyum—senyum yang penuh darah, tapi tulus.

"Pergilah. Hidup. Untuk orang-orang yang sudah mati."

Lalu ia mendorong Alex, berlari ke arah preman-preman itu sambil berteriak, mengalihkan perhatian mereka.

Alex terdorong ke belakang, jatuh di tanah.

Ia melihat gelandangan tua itu diserang—dipukuli, ditendang, sampai ia tidak bergerak lagi.

Dan Alex... hanya menonton.

Lagi.

Seperti malam itu.

Seperti ia menonton keluarganya mati.

Ia pengecut.

Lagi.

Preman-preman itu pergi setelah memastikan gelandangan tua itu mati.

Alex merangkak mendekat, berlutut di samping mayat itu.

Lelaki tua itu sudah tidak bernapas. Tapi di wajahnya masih ada senyum—senyum yang bilang tidak apa-apa, kamu sudah cukup berani.

"Kenapa..." bisik Alex. "Kenapa kamu selamatkan aku? Kamu tidak kenal aku..."

Tidak ada jawaban.

Hanya angin yang berhembus, membawa abu dari drum api di kejauhan.

Alex duduk di sana semalaman.

Di samping mayat orang asing yang menyelamatkan nyawanya.

Dan ketika matahari terbit, sesuatu berubah di dalam dirinya.

Aku tidak bisa terus jadi pengecut.

Aku tidak bisa terus hanya menonton orang mati.

Papa mati karena memperjuangkan keadilan.

Aku tidak bisa mati hanya karena kelaparan atau dipukuli preman.

Aku harus bertahan.

Aku harus jadi kuat.

Karena aku punya misi.

Balas dendam.

Alex menatap tangannya yang bergetar—tangan yang lemah, tangan yang tidak bisa menyelamatkan siapapun.

"Suatu hari nanti," bisiknya, "tangan ini akan cukup kuat untuk membunuh."

Dan di pagi itu, Alexander Rafael yang lemah mulai mati.

Yang terlahir adalah mesin pembunuh yang akan menghantui mimpi buruk Adipati Guntur.

Meski butuh bertahun-tahun.

Meski ia harus menjadi monster.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!