“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Pertemuan di Posko Pengungsian
“Bima! Apa itu kamu?!”
Saat aku sedang menunggu di tenda sebelah rumah sakit sambil mengobrol dengan Sersan Kartika, tiba-tiba seorang perawat bergegas masuk lewat pintu.
Hanafi, yang sebelumnya berdiri di belakangku, langsung menoleh.
Perawat itu mengenakan seragam yang penuh bercak darah di beberapa bagian. Dan begitu aku melihat wajahnya, aku langsung mengenalinya.
“Ibu Suryani, aku senang sekali Ibu selamat!”
“Syukurlah... kamu baik-baik saja? Kamu tidak digigit, kan?”
“Tidak, tidak apa-apa. Aku cuma kaget saja.”
Ibu Suryani menepuk-nepuk tubuhku, matanya berkaca-kaca. Jujur saja, kalau dibandingkan Yuni dan ibunya, seluruh keluarga Suryani memang baik kecuali Pak Surya. Aku bahkan masih heran bagaimana orang tua itu bisa menikah. Apa dia punya kelemahan yang disimpan rapat-rapat?
Mungkin karena lega melihatku selamat, Ibu Suryani langsung duduk di kursi, napasnya terengah. Air mata jatuh begitu saja dari matanya, seolah semua ketegangan di tubuhnya menguap dalam sekejap.
Aku menunggu sampai beliau agak tenang, lalu mulai menjelaskan situasinya secara singkat:
Banyuwangi benar-benar kacau balau.
Tak ada satu pun tetangga yang kembali ke rumah, kecuali aku.
Aku bertemu Yuni di SMP yang dijadikan posko pengungsian.
Posko itu dikelola dengan baik oleh polisi, jadi relatif aman.
Dan seterusnya.
“Hmm? Ada yang terlewat?” pikirku sesaat.
Tapi ya sudahlah, toh Ibu Suryani juga tidak benar-benar mendengarkan!
Yang bikin kepalaku pusing justru satu hal: serius deh, sebenarnya apa sih yang dilakukan Pak Surya? Aku nggak mau dengar... aku nggak mau tahu!
Ibu Suryani menunduk, suaranya bergetar.
“Saya senang Yuni selamat…”
Lalu beliau mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang masih basah.
“Aku khawatir padamu... tapi sekarang, akhirnya, aku bisa membawakan kabar baik.”
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bisa berbicara dengan tenang, tanpa dihantui rasa cemas.
Entah bagaimana, hatiku yang sempat gundah rasanya mulai terobati mungkin berkat kemunculan si “Harem Guy” dan “Blonde Budi” akhir-akhir ini.
Aneh sekali. Di luar sana yang kutemui cuma makhluk-makhluk menjijikkan limbah radioaktif berbentuk manusia.
Dan... Bulbasaur.
Ya, jangan tanya kenapa, pokoknya Bulbasaur.
Aku menghela napas dan menoleh pada Ibu Suryani.
“Jadi, apa yang akan Ibu lakukan? Kalau Ibu mau ke tempat Yuni, aku bisa antarkan ke sana…”
Namun Ibu Suryani menunduk, wajahnya murung.
“Itulah masalahnya, Bima…” katanya pelan.
“Akan sangat sulit bagiku untuk pergi ke sana.”
Tentu saja, Ibu Suryani sangat khawatir pada Yuni. Namun ia tidak bisa begitu saja meninggalkan pasien-pasien yang tak mampu bergerak, juga para orang tua yang dititipkan padanya di sini.
Aku terdiam.
Hmm... serius.
Benar-benar malaikat berbaju putih.
Bagaimana pun aku mencoba memikirkannya, aku seorang pengangguran pecundang tidak mungkin bisa sampai pada keputusan sebesar itu.
Ibu Suryani menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara berat.
“Kami sebenarnya ingin melepaskannya... tapi kalau memikirkan bahaya di luar sana, ditambah lagi kekurangan tenaga medis di sini…”
Hanafi, yang sejak tadi mendengarkan dari belakang, akhirnya ikut nimbrung dalam percakapan kami.
Jujur saja, memang akan terasa agak canggung kalau tiba-tiba ada seorang nelayan bersenjatakan parang pula, lengkap dengan helm, datang dan berniat membawa pulang perawat kesayangannya. Untungnya, mereka tidak langsung menolak. Itu saja sudah bisa dibilang suatu berkat.
Lagipula, rumah sakit ini kelihatannya dijaga ketat oleh TNI. Jadi, kemungkinan besar tidak ada bahaya yang berarti.
Bahkan... bisa dibilang lebih aman daripada polisi.
Ya, terutama soal peralatan.
Andai saja aku bisa menggunakan ponselku... pasti aku langsung menelepon Yuni dan membiarkan dia bicara dengan ibunya. Sayangnya, meski baterai masih penuh, sejak insiden zombi itu terjadi internet dan saluran telepon benar-benar mati total.
Mungkin stasiun pemancar ikut lumpuh karena pemadaman listrik? Entahlah.
Ya sudahlah. Yang penting sekarang, aku sudah memastikan kalau Ibu Suryani selamat. Jadi, begitu aku pulang dan melapor pada Yuni, misiku bisa dibilang selesai. Setelah itu... aku bebas! Bisa hidup tanpa beban dan tanpa rasa khawatir lagi.
Aku tersenyum tipis, lalu menatap Ibu Suryani.
“Aku mengerti, Ibu. Nanti aku akan memberi tahu Yuni kalau Ibu baik-baik saja.”
“Oh! Bima, bisakah kamu menunggu sebentar? Aku ingin menulis surat untuk Yuni.”
Ah, begitu. Surat! Ide yang bagus juga.
Aku terlalu terbiasa dengan kemudahan hidup modern sampai-sampai benar-benar lupa kalau cara lama seperti itu masih bisa dipakai.
Ibu Suryani pun kembali ke dalam rumah sakit untuk menuliskan suratnya.
Aku baru saja meraih sebatang rokok Gudang garam dari saku ketika Hanafi, yang sedari tadi berdiri di dekatku, tiba-tiba berbicara.
“Bima, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”
Aku menoleh.
Apa itu?
“Saya ingin kamu menemani Kartika ini ke posko pengungsian di Banyuwangi yang kamu sebutkan.”
…Apa?
“Baiklah, aku memang berencana pergi ke posko pengungsian sekali, untuk mengantarkan surat itu. Tapi... kenapa?”
Aku mengernyit. Situasinya mulai terasa agak aneh.
Hanafi menatapku serius.
“Seperti yang kamu ketahui, baik TNI maupun polisi tidak bisa berkomunikasi dengan atasan mereka. Jadi, mereka hanya bertindak berdasarkan penilaian sendiri di lapangan.”
“Sepertinya memang begitu adanya.”
Hanafi melanjutkan dengan tenang, seolah sedang memberi briefing resmi.
“Jika keadaan terus berlanjut seperti ini, kita tidak akan bisa mengambil tindakan besar-besaran. Informasi kurang, personel juga terbatas. Jadi untuk sementara, kami mencoba menjalin kontak horizontal dengan kepolisian yang masih tersisa.”
Aku mengangguk-angguk, setengah mengerti, setengah bingung.
“Tapi... bisakah saya memasang radio besar yang mampu berkomunikasi jarak jauh ke dalam truk pikap saya?” tanyaku asal.
Hanafi malah mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya.
“Ini adalah radio satelit. Ringkas, tapi efektif.”
Oh, begitu! Kalau sistem navigasi mobil masih bisa berfungsi normal, berarti satelit komunikasinya masih aktif, ya?
Tentu saja. Mana mungkin zombi sudah berhasil naik ke luar angkasa.
Haha, jadi begitu. Rupanya inilah cara polisi dan TNI akan menjalin kerja sama.
Mereka bahkan berniat mengirim Kartika sebagai petugas penghubung untuk tujuan itu.
Aku manggut-manggut. “Saya mengerti.”
Hanafi menambahkan, “Tentu saja, kami tidak akan memintanya secara cuma-cuma. Kami akan memberikan sebagian persediaan makanan kami jika kamu bersedia membantu.”
Oh, itu lumayan juga.
Jujur saja, aku belum pernah mencicipi makanan militer.
Sebenarnya, aku masih punya sedikit persediaan sendiri, tapi tidak ada salahnya menambah stok kalau memang bisa kujaga dengan baik.
Aku mengangguk mantap. Kesepakatan pun akhirnya dibuat.
“Maaf atas ketidaknyamanannya, tapi terima kasih banyak atas bantuanmu, Bima.”
Kartika menundukkan kepalanya sopan.
“Oh, tidak apa-apa. Justru maaf ya, soal mobil tua itu...” jawabku buru-buru.
Dia kelihatan orang baik, jadi kupikir tidak akan ada masalah kalau aku memberinya tumpangan.
Hanya saja... ya, dia harus bertahan duduk di mobil sempit bersama orang seperti aku.
…Baiklah, sebelum naik mobil, sebaiknya kita semprotkan deodoran dulu. Setidaknya biar suasananya tidak makin canggung.
Lagipula, aku juga tidak mungkin menolak.
Tidak ada ruginya bersahabat dengan polisi maupun TNI.
Ngomong-ngomong, rupanya Ibu Suryani-lah yang pertama kali menyarankan namaku. Katanya, aku ini pemuda yang sangat baik tidak canggung berbicara dengan orang yang lebih tua, ramah, dan bahkan berinisiatif mengambil tugas-tugas yang tidak menyenangkan.
…Manusia super macam apa itu?
Siapa pun dia, jelas bukan aku.
Tapi entah kenapa, itu digambarkan seolah-olah diriku.
Masalahnya, reputasi keluarga Suryani selain Pak Surya memang terlalu bagus. Sulit rasanya menolak kalau yang bicara mereka.
Aku menerima surat dari Ibu Suryani, lalu meninggalkan rumah sakit.
“Oke? Hati-hati jangan sampai terluka! Hati-hati, Bima!” serunya dari belakang.
Sambil berkata begitu, beliau diam-diam menyelipkan beberapa butir permen ke tanganku, lalu melambaikan tangan berkali-kali sampai sosokku benar-benar hilang dari pandangannya.
Permen... benda kecil itu ternyata sangat berharga sekarang.
Ibu Suryani memang orang baik.
Dan anehnya, ketika seseorang memperlakukanmu dengan tulus, rasanya kamu rela menghadapi masalah apa pun demi mereka.
Pada akhirnya... mungkin memang cinta-lah yang bisa menyelamatkan dunia.
Ransel di punggungku kini terisi makanan awetan dari TNI.
Hmm, beratnya pas!
Aku bahkan hampir tidak sabar untuk mencicipinya nanti.
Di belakangku, Kartika mengikuti sambil memanggul ranselnya sendiri.
Meski beban peralatan, amunisi, dan radio yang ia bawa pasti cukup berat, langkahnya tetap mantap, seolah itu tidak ada artinya.
TNI... benar-benar luar biasa.
Kami hampir sampai di truk pikap ketika tiba-tiba—
Dua zombi melompat keluar dari kegelapan gang!
Refleks, aku langsung menghadapi yang pertama. Satu tebasan telak dengan parang menghancurkan kepalanya. Namun yang kedua berhasil lolos dari jangkauanku dan kini mengarah lurus ke Kartika!
Itu juga zombi bejat!
Aku panik, langsung berbalik dan mencoba mengejarnya, tapi ternyata Kartika lebih cepat dariku.
Dengan gerakan sigap, ia menendang lutut zombi itu dari depan hingga patah, membuat makhluk itu terhuyung. Dalam sekejap, gagang senapannya menghantam bagian belakang kepala zombi tersebut, menghancurkannya hingga terjatuh tak bergerak.
Semua gerakannya halus, presisi, hanya menyasar titik-titik lemah.
…TNI, sungguh menakjubkan!!
Akhirnya, aku sampai juga di truk kesayanganku.
Karena Kartika ada di sana, aku cepat-cepat menaruh ransel di belakang mobil lalu diam-diam menyemprotkan deodoran.
“Bima, um... kalau tidak keberatan, bolehkah aku meminjamnya?”
Aku tertegun sesaat, lalu menyerahkan kaleng baru itu kepadanya. Kartika menerimanya dengan sedikit tersipu, bertanya dengan nada malu-malu.
Wajah seorang wanita cantik yang bermartabat saat sedang malu... astaga, itu benar-benar merusak pertahanan siapa pun.
Tidak, tidak! Tetap tenang, Bima. Tetap tenang.
Aku buru-buru menyalakan mesin mobil dan melaju.
Baru beberapa menit mengemudi, aku tiba-tiba menyadari sesuatu...
Aku baru sadar sejak berangkat ke rumah sakit tadi, aku belum menyalakan sebatang rokok Gudang garam pun.
Begitu kesadaran itu muncul, tiba-tiba rasa ingin merokok langsung menyerang hebat!
Tapi… tentu saja aku tidak bisa sembarangan merokok di sini.
Merokok pasif itu tidak diperbolehkan untuk non-perokok.
Ya, selain zombi tentunya! Mereka sih bebas kena asap apa saja.
Aku gelisah sebentar, lalu memberanikan diri.
“Eh... boleh nggak kalau aku merokok?”
Kartika menoleh, sedikit terkejut. “Hah, apa maksudmu???”
“Saya lihat, waktu tadi kamu bicara dengan Letnan Hanafi, kamu beberapa kali hampir mengeluarkan rokok dari saku dada,” jawab Kartika sambil menahan tawa kecil.
Tawa itu... lucu sekali.
...Tapi tidak, tidak boleh terlena! Ingat, merokok pasif itu buruk!
Kartika tersenyum tipis.
“Saya juga kadang merokok sedikit, jadi saya tahu rasanya.”
Aku langsung berbinar.
“Oh, begitu? Kalau begitu, jangan ragu! Kalau kamu mau merokok, aku punya yang baru di sini, silakan!”
Begitu mendengar ucapanku, ia langsung mengeluarkan sebatang rokok dari saku dadanya dan menyalakannya.
Pada saat yang sama, aku mengambil korek api dari dasbor dan sekotak Gudang garam baru, lalu menyerahkannya pada Kartika.
“Oh, terima kasih... ini merek yang agak tidak biasa...” katanya sambil melirikku dengan mata sedikit terbelalak.
Sudah lama sekali aku tidak melihat seorang wanita merokok.
Tapi kupikir... itu bukan hal yang buruk. Jadi, menurutku tidak apa-apa.
Lagipula, dalam situasi seperti ini dunia sudah jungkir balik, zombi berkeliaran di luar sana aku tidak punya pilihan lain selain ikut menyalakan rokok juga.
Ahhh… asapnya nikmat. Nikmat sekali. Rasanya seperti hal terbaik di dunia ini!
Begitu rokokku habis, akhirnya aku merasa benar-benar tenang. Beban di dada yang tadi menekan seperti ikut terbakar dan lenyap bersama asap.
Kartika melirik sambil tersenyum tipis.
“Kamu menghisapnya dengan sangat nikmat...”
Aku ngakak tanpa bisa menahan diri.
“Enak banget! Hahaha!”
Dengan semangat yang kembali penuh, aku menekan pedal gas. Truk tua kesayanganku melaju kencang, menembus jalanan menuju Banyuwangi.
Ngomong-ngomong, rokok merek Gudang garam kesukaanku ternyata tidak cocok dengan seleranya. Sialan.
Akhirnya aku merasa kasihan, jadi kuberikan saja merek populer favoritku yang kedua yang kupinjam dari sebuah minimarket beberapa waktu lalu.
Wah… wanita cantik yang sedang merokok memang menghasilkan pemandangan yang indah. Rasanya seperti potret yang tak pernah bosan dipandang.
Sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya, aku tetap berkendara hati-hati, memastikan tidak terjadi kecelakaan di jalan yang sudah cukup gila ini.