Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
antara marah dan bahagia
Syahnaz pun kemudian tersadar dan perlahan melepaskan pelukan Reyhan dari tubuhnya. Napasnya masih tersengal, wajahnya memerah karena malu.
“Udah… malu sama orang, Kak. Masih di pesawat ini,” ucapnya pelan, langsung memalingkan wajah ke arah jendela untuk menyembunyikan rona pipinya.
Reyhan tersenyum tipis, lalu cepat-cepat membenarkan posisi duduk dan pakaiannya agar tak terlalu mencolok di mata penumpang lain. Ia menatap lurus ke depan, mencoba bersikap tenang padahal dadanya masih terasa sesak. Pesawat sebentar lagi akan mendarat.
“Ya Allah… perasaan Syahnaz campur aduk,” batin gadis itu, memandangi langit cerah dari balik jendela. Rasa rindu, marah, sedih, dan bahagia berputar tanpa arah.
“Mau kacamata hitam?” tawar Reyhan tiba-tiba, mengeluarkan dua kacamata dari tas kecilnya. Satu sudah ia kenakan, lalu ia ulurkan satu lagi ke Syahnaz. “Mata kamu bengkak… gara-gara nangis tadi,” bisiknya lembut.
Syahnaz menoleh sedikit, menatap kacamata itu. Ia pura-pura cuek, tapi ujung bibirnya gemetar. “Makasih,” ucapnya singkat sambil mengambil kacamata itu dan langsung memakainya.
Padahal, hatinya masih berdebar hebat. Ia masih bisa merasakan hangatnya pelukan Reyhan beberapa menit lalu. Pertama kalinya setelah enam belas tahun lebih… dipeluk sama orang yang sama sekali nggak disangka masih hidup.
Begitu pesawat mendarat dengan sempurna, keduanya berdiri.
“Nggak pulang bareng?” tanya Reyhan saat mereka berjalan keluar kabin.
“Nggak,” jawab Syahnaz datar, pura-pura sibuk dengan tasnya.
Reyhan menatapnya lama. Tatapan yang sulit diartikan—antara menahan haru, menyesal, dan bangga melihat adik kecilnya kini sudah tumbuh dewasa.
Ya Allah… aneh banget rasanya. Baru ketemu lagi pas Syahnaz udah segede ini… batinnya getir.
Mereka berjalan beriringan menuju tempat pengambilan bagasi. Di sana, suasana kembali hening. Hanya deru mesin dan suara koper beradu roda yang terdengar.
“Nggak mau dengerin penjelasan kakak, Naz?” tanya Reyhan hati-hati, suaranya lembut, penuh harap.
“Nanti aja, Kak. Aku mau istirahat dulu,” jawab Syahnaz pendek, menunduk, lalu segera menarik kopernya ketika barangnya keluar. Ia melangkah cepat menuju pintu keluar.
“Syahnaz, tunggu! Bahaya pulang sendirian! Ini Jakarta!” seru Reyhan sambil setengah berlari kecil menyusulnya.
Tapi gadis itu hanya menoleh sebentar. “Udah biasa sendiri, Kak. Lagian yang bikin aku sering terancam ya… Kakak sendiri,” ucapnya pelan tapi tajam, lalu berbalik meninggalkan Reyhan dengan langkah tegas.
Dari kejauhan, terlihat Darren sudah berdiri menunggu di sisi mobil hitam, mengenakan kemeja putih rapi. Ia segera menghampiri, mengambil koper Syahnaz, dan dengan sopan membukakan pintu mobil untuknya.
Reyhan berhenti.
Langkahnya terhenti begitu saja di depan pintu kaca bandara.
Ia hanya bisa menatap dari jauh—menatap adiknya yang kini dibawa pergi oleh orang lain.
Ada sesuatu yang menyayat di dalam dadanya.
Perasaan yang halus tapi menusuk.
Bukan sekadar cemburu—lebih seperti kehilangan sesuatu yang seharusnya sudah lama ia jaga.
...----------------...
#Di dalam mobil
Darren sempat melirik ke arah Syahnaz yang sejak tadi duduk diam di kursi samping nya, menatap kosong ke luar jendela dengan kacamata hitam menutupi matanya.
“Nggak kegelapan, Bun? Dari tadi pake kacamata hitam mulu,” celetuk Darren sambil melirik sekilas.
“Nggak,” jawab Syahnaz singkat tanpa menoleh, nada suaranya terdengar datar tapi berat.
Darren mengernyit curiga. “Lu kenapa, Cil? Suara lu beda,” ujarnya. Tanpa pikir panjang, dia langsung mencondongkan badan dan melepas kacamata hitam Syahnaz.
“Darren!” seru Syahnaz kaget, buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela.
“Kenapa lu?” tanya Darren pelan tapi nadanya tegas, sementara tangannya tetap di kemudi tapi pandangannya sesekali menoleh ke arah Syahnaz.
“Nggak papa aku ah! Udah, nyetir aja yang bener!” ucap Syahnaz cepat, mencoba menutupi kegugupannya. Ia melirik Darren diam-diam, berharap laki-laki itu tak sadar matanya masih sembab.
Tapi sayangnya, Darren bukan tipe orang yang mudah dibohongi. Ia menangkap perubahan kecil itu, lalu tanpa banyak bicara menepi dan menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Loh… kenapa berhenti, Ren?” tanya Syahnaz, agak gugup.
Darren menatapnya serius. “Syahnaz, liat gue.”
“Apa’an sih, Ren?! Cepetan jalan!” elaknya, tetap menatap ke luar jendela.
“Nggak,” jawab Darren mantap. “Lu liat gue dulu, baru gue jalan.”
“Aahhh… apasi, Ren! Aku mau istirahat! Aku capek!” rengek Syahnaz lirih, suaranya bergetar menahan emosi dan lelah.
Darren menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada dingin tapi jelas peduli, “Lu habis nangis, ya? Gue tau, Naz. Lu nggak usah nutupin. Ini gue, Darren. Gue tau banget gimana lu kalau lagi pura-pura kuat.”
Kata-kata itu membuat Syahnaz terdiam. Bahunya menegang, bibirnya bergetar. Akhirnya ia menoleh perlahan, menatap Darren dengan mata yang mulai berkaca.
“Ayo, Darren… jalan, aku mau tidur,” ucapnya pelan, seolah memohon agar topik itu segera berakhir.
Darren menatapnya sejenak, lalu menyerah. Ia kembali menyalakan mesin mobil, membiarkan keheningan memenuhi kabin. Tapi di dalam hati, ia masih menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa menit berlalu. Lalu terdengar lagi suaranya, datar tapi hangat.
“Ada yang gangguin lo, ya? Di pesawat? Atau di pondok?”
“...Nggak ada,” jawab Syahnaz singkat, masih menatap ke depan.
“Bohong,” sahut Darren cepat.
“Beneran nggak ada, Darren!” ucap Syahnaz mulai kesal, suaranya meninggi sedikit.
Darren melirik sekilas, senyum miring muncul di wajahnya. “Kalo gitu, jangan-jangan ada gus yang nyakitin hati lo, ya? Kayak di film-film gitu?”
“Nggak adaaa! Kamu kira aku tukang drama, gitu?!” jawab Syahnaz mulai merengut.
Darren menahan tawa. “Ya nggak gitu juga maksud gue. Siapa tau aja lu naksir sama seseorang di sana, tapi… karena beda kasta jadi sedih, gitu.” ucapnya menggoda.
“Darren! Ngeselin banget sih!” Syahnaz melipat tangannya kesal, memalingkan wajah ke jendela sambil mendengus.
Darren hanya terkekeh puas. “Nah, gitu dong. Udah mendingan, mukanya mulai hidup lagi,” candanya pelan.
Syahnaz hanya membuang muka, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum tipis yang muncul.
Beberapa saat kemudian, mobil mereka memasuki kawasan apartemen Syahnaz. Siang itu matahari menyorot terang, memantulkan cahaya di kaca gedung tinggi.
Darren membantu menurunkan koper Syahnaz, sementara gadis itu berdiri diam di depan pintu masuk.
“Udah, hati-hati di atas. Jangan dipendem semua sendiri, ya, Cil,” ujar Darren lembut sebelum pamit.
Syahnaz menatapnya sebentar, lalu tersenyum lemah. “Makasih, Ren.”
Dan sebelum Darren sempat menambah kata, Syahnaz sudah berjalan masuk, meninggalkan Darren dengan seribu tanya di kepalanya—tentang apa yang sebenarnya membuat gadis itu menangis di pesawat.
...----------------...
Begitu tiba di apartemen, Syahnaz langsung menaruh kopernya di sudut ruangan, lalu melangkah ke kamar mandi. Ia ingin menghapus semua rasa lelah dan sisa emosi yang menumpuk sejak perjalanan tadi. Setelah mandi, tubuhnya terasa ringan. Ia berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang sunyi. Namun pikirannya tak bisa diam—bayangan kejadian di pesawat dan wajah Reyhan terus berputar di benaknya, membuat dadanya sesak. Akhirnya, rasa letih mengalahkan segalanya, dan Syahnaz pun tertidur pulas siang itu.
Menjelang sore, sinar jingga menembus celah tirai kamarnya. Syahnaz terbangun dengan kepala yang masih berat. Ia duduk sebentar di tepi ranjang, menatap ponselnya yang banyak notifikasi namun ia abaikan, lalu menghela napas panjang. “Perut aku lapar banget,” gumamnya pelan sebelum beranjak untuk bersiap.
Ia mengambil wudhu, lalu menunaikan salat Ashar terlebih dahulu. Setelah itu barulah ia mengenakan gamis berwarna krem lembut dan kerudung pashmina abu muda yang ia lilit sederhana. Ia menenteng tas kecil, lalu keluar menuju warteg langganannya yang tak jauh dari apartemen.
Sore itu udara cukup hangat, jalanan juga tak terlalu ramai. Warteg di ujung gang itu tampak tenang, hanya ada dua pelanggan yang sedang makan.
“Pak, pesen pecel lele satu ya,” ucap Syahnaz sopan sambil duduk di kursi kosong.
“Siap, Neng. Tunggu sebentar,” jawab bapak pemilik warteg dengan senyum ramah sebelum kembali ke dapur kecil di belakang.
Baru saja Syahnaz hendak mengeluarkan ponsel, suara deru motor terdengar keras berhenti di depan warteg. Enam orang berjaket kulit hitam turun hampir bersamaan, lengkap dengan helm full-face yang menutupi wajah mereka. Suasana warteg yang tadinya damai seketika berubah.
Salah satu dari mereka—tubuhnya tinggi, bahunya bidang—masuk lebih dulu. Suaranya berat namun santai ketika berbicara.
“Pak, seperti biasa. Pecel lelenya enam, sambalnya banyak ya,” ujarnya tanpa melepas helm, lalu duduk di kursi tak jauh dari Syahnaz.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.