(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kok Dia Bisa Tahu?
Setelah pembicaraanku dengan Reni pagi ini, kami belum saling berkirim kabar lagi. Aku tidak tahu apakah dia sudah mulai mencari tahu atau masih bekerja dahulu, karena tak enak jika aku bertanya meskipun aslinya aku penasaran. Takut dipandang terlalu kepo dengan urusan tetangga.
Namun malamnya sekitar pukul 10, Reni kembali memberitahukan info terbaru mengenai suaminya.
[Rupanya Mbak, perempuan yang dibawa suamiku itu si Yuyun, istrinya Bagus dari RT 20. Mbak kenal, enggak?]
Dahiku mengernyit.
Jujur saja meski sejak bayi aku tinggal di Desa ini, aku tak terlalu kenal banyak dengan orang-orang. Sebab sejak dahulu aku lebih sering berada di rumah. Apalagi nama yang Reni sebut sepertinya adalah seseorang yang jauh lebih muda dariku dan rumahnya pun jauh dari kami. Jadi aku tidak kenal dengannya.
[Mbak enggak tahu, Ren. Tapi, istrinya Bagus? Berarti dia sudah punya suami, dong?]
[Iya, Mbak. Anaknya pun sudah dua. Satu sudah SMP, perempuan. Dan satunya lagi masih TK, laki-laki. Anaknya yang laki-laki ini satu TK dengan Ratu!]
Aku menelan ludah membaca pesan itu. Perselingkuhan antar wali murid, berarti.
[Tapi, kok, mereka bisa saling kenal? Kan yang selalu antar jemput Ratu kalau sekolah kamu, bukan Reno.]
Aku jadi makin penasaran dengan cerita mereka.
[Karena Bagus dan Mas Reno itu teman kerja, Mbak. Dari situ Mas Reno jadi kenal sama istrinya Bagus dan mereka pun akhirnya selingkuh dari pasangan masing-masing!]
Jantungku serasa berhenti berdetak.
Ini adalah kasus yang begitu familiar bagiku, hingga rasanya aku dibawa kembali ke beberapa bulan yang lalu.
Ini persis sama seperti kasus kami dahulu. Dimana seseorang memberitahu Hana lewat pesan FB bahwa suamiku mengganggu istri orang---yang ternyata adalah istri temannya sendiri, Hadi.
Bedanya, istri Hadi ternyata tidak benar-benar berselingkuh dengan suamiku karena Hadi lah yang selama ini selalu membalas pesan-pesan yang Mas Hendra kirimkan. Sedangkan Reno dan Yuyun, mereka benar-benar berselingkuh. Aku bahkan sudah melihat perempuan itu keluar dari rumah mereka subuh-subuh. Untuk tidak berpikiran buruk... sepertinya sulit. Karena perselingkuhan antara orang dewasa biasanya tak jauh-jauh dari 'itu', kan? Bahkan suamiku pun begitu.
[Kamu tahu informasi ini darimana, Ren?]
[Aku cari tahu sendiri, Mbak. Tanya sana-sini. Akhirnya ketemu juga orangnya.]
Keren. Satu kata itu yang langsung muncul di kepalaku saat dia memberitahu bahwa dia mencari semuanya sendiri. Aku saja harus meminta tolong Joko untuk mencari tahu semua info tentang Mas Hendra, itupun memakan waktu beberapa hari. Tapi Reni bisa mengumpulkan semua ini hanya dalam waktu satu hari.
Memang ada perbedaan. Dimana selingkuhan suamiku adalah seorang pelac*r, sedangkan selingkuhan Reno adalah ibu rumah tangga biasa. Jadi, mungkin ada perbedaan kesulitan dalam mencari tahu informasi keduanya.
Tapi, tetap saja Reni keren karena bisa menemukan kebenarannya secepat ini.
[Terus sekarang kamu mau gimana, Ren?]
Aku memang kurang tegas. Melihat anak-anak menangisi ayah mereka, aku pun memilih memaafkan dan berdamai dengan Mas Hendra. Karana aku tidak tega saat melihat tangisan mereka.
Meski, kenyataannya akulah yang semakin terluka. Karena sakit yang Mas Hendra berikan tak juga hilang sampai sekarang.
Tapi, andaikan aku bisa... mungkin aku akan memilih bercerai. Karena jujur saja, sulit rasanya bagiku melupakan kecurangan yang pernah dia lakukan di belakangku. Bahkan saat melihat wajahnya pun aku jadi kembali terngiang-ngiang dengan perselingkuhannya itu.
Namun, lagi, aku tak bisa melepas Mas Hendra.
Karena itu aku ingin tahu pilihan apa yang akan Reni pilih. Berdamai, atau bercerai?
Aku menunggu-nunggu balasannya dengan penasaran. Jariku bahkan mengetuk-ngetuk casing ponsel saat tulisan mengetik muncul di layar ponsel.
[Kayaknya kami akan bercerai saja, Mbak.]
Aku menahan napas. Cerai. Reni memutuskan untuk bercerai.
[Anak kamu nanti gimana?]
[Itu aku pikirkan nanti saja, Mbak. Yang jelas kayaknya kami enggak mungkin bersama lagi sekarang.]
Dulu, aku pun pernah seberani itu dalam mengambil keputusan. Aku memilih bercerai dari suamiku tanpa memikirkan nasib Meira akan bagaimana nantinya. Karena saat itupun Meira masih kecil untuk memahami semuanya.
Tapi justru karena itu, karena aku sudah tahu apa yang terjadi kemudian, kali ini aku agak berat untuk mengambil keputusan yang sama. Apalagi dengan Aldo yang benar-benar menentang jika aku ingin bercerai dari ayahnya.
Tapi jika Reni ingin mengambil pilihan itu, aku tidak bisa melarang. Lagipula aku bukan siapa-siapa---hanya tetangga mereka.
[Kalau itu keputusan kamu, Mbak enggak bisa ikut campur. Tapi tetap kamu harus pikirkan Ratu juga, ya. Jangan sampai nanti dia tersia-siakan.]
[Pasti, Mbak.]
Karena aku sudah tahu permasalahan Reno dan Reni, apalagi kami pun punya permasalahan yang sama, tiba-tiba saja aku merasa ingin menceritakan permasalahanku juga. Agar kami bisa berbagi cerita. Tidak adil jika Reni menceritakan semua keluh kesahnya sedangkan aku menyimpan rahasiaku sendiri, kan. Jadi, tanpa pikir panjang, aku mulai menceritakan semuanya. Dari mulai pesan yang Hana terima, semuanya.
[Kalau sama si Dewi sih dia udah putus hubungan. Tapi kalau sama yang lain, Mbak enggak tahu. Apalagi kabarnya dia sering kasih duit sama teman-teman Mbak juga. Bukannya pelit, ya. Tapi kayaknya aneh saja kalau mereka seenak jidat minta uang dari suami orang. Walaupun suami Mbak content creator yang katanya normal-normal saja dimintai begitu. Tapi apa mereka enggak merasa segan sedikitpun minta uang dari suami teman sendiri?]
Aku menyebut nama teman yang katanya sering meminta uang dari suamiku saat bertemu di jalan atau dimanapun itu. Dia bukan teman yang sangat dekat denganku, tapi kami tentu saling kenal karen satu desa dan dulu pun satu kelas saat sekolah. Tentu ada perasaan tidak terima mendengar dia begitu. Aku saja yang istrinya sendiri diberi jatah segitu, hebat sekali dia yang bukan siapa-siapa justru bisa meminta uang dari suamiku di depan umum. Aneh, kan?
Atau jangan-jangan mereka punya hubungan khusus juga?
Dan karena Reni sepertinya jago cari informasi, ada bagusnya juga aku menceritakan ini padanya. Biar dia bisa sekalian cari informasi juga, kalau dia bersedia.
[Ah, si dia? Itu mah bukan seleranya Mas Hendra, Mbak.]
Dahiku berkerut.
Bukan seleranya suamiku?
Memangnya bisa kelihatan seleranya seorang pria bagaimana?
[Emangnya kelihatan seleranya Mas Hendra bagaimana?]
[Yah, setidaknya bisa diperkirakan, Mbak. Pokoknya kalau teman yang Mbak sebut tadi, sih, bukan seleranya Mas Hendra. Jadi mereka udah pasti enggak punya hubungan apapun. Memang dasarnya aja dia suka minta-minta.]
Aku merasa agak tenang mendengar Mas Hendra kemungkinan besar tidak punya hubungan apapun dengan temanku itu, tapi...
Entah kenapa, setelah Reni mengatakan “itu bukan seleranya Mas Hendra”, dadaku justru berdesir aneh.
Dari mana dia tahu selera suamiku?
Sejak kapan Reni memperhatikan hal seperti itu?
Dan kenapa… aku jadi merasa tidak nyaman?
***
Akhirnya kita sampai di Bab 20! 😭
Memang masih banyak teka-teki di dalam cerita ini. Tapi tenang, jawabannya pelan-pelan akan kebuka. Nikmati aja perjalanan ini pelan-pelan, ya.
Terima kasih sudah baca sampai sini, jangan lupa tinggalkan jejak atau pendapat kalian—aku bacain semuanya! 💌
See you tomorrow~
Semangat berkarya ya Thor