Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
Sirine ambulans meraung memecah kesunyian malam baru beranjak, berhenti tepat di depan Instalasi Gawat Darurat rumah sakit terbesar di kota metropolitan Jakarta.
Lampu merah biru berputar cepat, memantul di kaca-kaca gedung, menambah nuansa genting.
Pintu ambulans terbuka, tubuh Atharva Aldric Dirgantara tergeletak di atas tandu, dengan penuh darah, wajahnya pucat tak berdaya.
Tubuhnya ditutupi selimut darurat, namun bercak darah berwarna merah masih terlihat jelas hampir di sekujur tubuhnya.
Aroma logam darah bercampur bau obat-obatan antiseptik langsung menusuk hidung.
“Cepat! Pasien kritis, trauma kepala, perdarahan dalam! Tekanan darah drop!” teriak seorang perawat yang mendorong tandu dengan panik.
Beberapa dokter berlari mendekat, peralatan darurat sudah disiapkan. Suara langkah kaki menghentak lantai marmer, suara mesin monitor berbunyi beep… beep… tak beraturan. Semua orang tampak bergerak cepat, seolah berpacu dengan waktu.
“Ini kan Tuan Muda Atharva pemilik rumah sakit ini,” bisiknya salah satu dokter jaga sore menjelang malam hari itu.
“Jangan biarkan terjadi sesuatu kepada Tuan Muda jika ingin karir kalian terus bertahan lama di rumah sakit kita ini,” sahutnya dokter satunya sambil mengecek kondisinya Atharva bersama dengan rekan kerja yang lainnya.
Lampard yang ikut berlari di belakang tandu hanya bisa menatap dengan wajah tegang. Lampard pucat pasi, kedua tangannya gemetar hebat.
“Pak! Harap tunggu di luar, kami akan melakukan tindakan segera!” perintah seorang dokter dengan suara tegas, lalu pintu ruang operasi didorong menutup dengan suara gedebuk yang keras, meninggalkan mereka di luar dengan perasaan teriris.
Koridor rumah sakit terasa dingin, lampu neon putih yang biasanya biasa saja kini memantul ke dinding, membuat suasana semakin mencekam.
Bau desinfektan menusuk, bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara.
Lampard menunduk, menekan wajahnya dengan telapak tangan, bahunya bergetar hebat. Arman asisten Lampard terduduk di kursi tunggu, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Bayu bodyguard yang mengawal Atharva berdiri bersandar pada dinding, tangannya terkepal erat, rahangnya mengeras, seakan berusaha menelan ketakutan yang membuat dadanya sesak.
“Ini kesalahan saya yang lalai menjaga tuan Muda Atharva,” sesalnya Bayu yang melihat langsung kejadian naas kecelakaan yang dialami oleh Atharva.
Lampard dan Arman hanya melirik sekilas ke arah Bayu yang merasa gagal menjadi pengawal bayangan.
Di balik pintu operasi, suara instruksi dokter, denting alat bedah dan bunyi monitor jantung terus terdengar samar.
Setiap detik berjalan lambat, cukup menyiksa, seakan semua orang menahan napas yang ada di seluruh ruangan tersebut.
Malam itu, rumah sakit tidak hanya menjadi tempat penyembuhan, tapi juga menjadi saksi antara hidup dan mati seorang pemimpin muda yang dicintai oleh bawahannya meskipun terkenal disiplin,kejam, tegas dan perfeksionis tapi selalu loyal kepada bawahannya tanpa pandang bulu.
“Bagaimana kondisi Tuan Muda Atharva?” tanya Dio dengan wajah tegang.
Dio dan Mike baru saja sampai di rumah sakit setelah mendapat kabar mengejutkan dari Lampard bahwa majikan mereka mengalami kecelakaan fatal, nyaris merenggut nyawanya.
Dikarenakan mereka masih di kantor pusat Leons Corp ketika kejadian kecelakaan itu terjadi kepada pemimpin sekaligus pemilik perusahaan tempat mereka mencari nafkah.
Dio menutup mulut dengan tangan, nyaris menangis. Sementara Mike terdiam, tubuhnya kaku, wajahnya menegang menahan rasa takut menunggu jawaban dari Lampard.
Lampard yang biasanya dikenal dingin, kaku dan jarang menunjukkan ekspresi, tampak berbeda kali ini. Tangannya gemetar saat mengusap wajah yang basah oleh keringat dan air mata.
Ia menarik napas panjang, berusaha menahan suaranya agar tidak pecah.
“Tuan Muda sedang ditangani tim dokter. Kita hanya bisa berdoa semoga beliau selamat.” balasnya Lampard yang jelas terlihat dari raut wajahnya yang sedih dan ketakutan dalam waktu bersamaan.
Dio, sang sekretaris yang setia, saling pandang dengan Mike, kepala IT di Leons Corp. Keduanya ikut larut dalam kepanikan dan rasa kehilangan.
Mereka tahu, tanpa Atharva pemimpin perusahaan asing miliknya itu bisa goyah. Namun lebih dari itu, sosok Atharva sudah seperti keluarga bagi mereka bukan sekedar atasan semata.
Waktu berjalan lambat. Setiap menit di ruang tunggu terasa seperti jam yang menyiksa. Lampard mondar-mandir, sesekali menatap pintu ruang operasi dengan wajah muram sudah mirip setrikaan.
Dio menggenggam tasbih kecil yang selalu ia bawa, sementara Mike hanya bisa duduk diam, menunduk, berdoa dalam hati.
Suara lirih pun terdengar dari bibir mereka, hampir bersamaan meski dengan cara masing-masing.
“Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa… selamatkanlah Tuan Muda kami. Berikanlah kesembuhan untuknya, jangan biarkan nyawanya terenggut di saat ini.” lirih Lampard.
Mike menangkupkan kedua tangannya, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
“Ya Allah… jika ini ujian, maka kuatkanlah kami. Tapi jangan Engkau ambil nyawa beliau, ya Rabb. Berikanlah kesempatan baginya untuk hidup lebih lama, untuk menebus segala kebaikan yang ia lakukan kepada kami.” cicitnya Mike.
Dio menunduk semakin dalam, merapatkan genggamannya pada hp karena membuka Al-Qur'an digitalnya yang basah oleh keringat tangannya.
“Ya Allah, Engkau tahu betapa kami mencintai beliau. Ampunilah segala dosa-dosanya, lapangkan jalan kesembuhannya. Jika ada doa yang Engkau kabulkan malam ini, maka kabulkanlah doa hamba-Mu yang hina ini untuk keselamatan Tuan Muda Atharva.” gumamnya Dio.
Mike pun berbisik dengan suara parau, hampir tak terdengar.
“Ya Allah, jangan biarkan kami kehilangan orang sebaik dia. Lindungilah Tuan Muda kami… selamatkanlah nyawanya, ya Rabb.”
Suasana ruang tunggu itu penuh dengan doa yang terucap lirih, bercampur dengan tangis tertahan. Harapan mereka hanya satu yaitu agar pintu ruang operasi itu segera terbuka dengan membawa kabar baik tentang pemimpin yang telah mereka anggap sebagai saudara sendiri.
Beberapa jam kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah namun tetap tenang. Semua langsung berdiri menyambutnya, seolah menunggu vonis besar.
“Bagaimana kondisi Tuan Muda kami, Dok?” tanya Lampard dengan suara bergetar.
Dokter itu melepas masker, lalu berkata pelan, “Operasinya berjalan lancar. Nyawanya selamat. Tapi…” ia berhenti sejenak, membuat jantung mereka serentak berdegup kencang.
“Tuan Muda Atharva mengalami kebutaan salah satu matanya. Selain itu, kaki kanannya lumpuh sementara. Dengan terapi dan perawatan yang serius, ada harapan untuk pulih, tapi butuh waktu panjang dan kesabaran.” tuturnya dokter itu.
Seolah dunia runtuh, ketiganya terdiam. Dio menutup mulutnya dengan tangan, Mike menunduk menahan air matanya, sementara Lampard hanya bisa menatap kosong, dadanya sesak dengan kenyataan pahit itu.
“Atharva…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Bagaimana nanti dia menerima kenyataan ini?”
Suasana koridor rumah sakit pun larut dalam hening, hanya menyisakan rasa pilu yang menyayat hati.
Seolah dunia runtuh, ketiganya terdiam. Dio menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak tak percaya, lalu ia terisak pelan.
“Ya Allah… Tuan Muda buta? Tidak… ini tidak mungkin terjadi,” ratapnya.
Mike memegangi kepalanya dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Ia mundur selangkah, bersandar ke dinding, menahan air mata yang tak tertahan lagi.
“Kenapa harus seperti ini, ya Allah? Dia masih begitu muda… masa depannya, mimpinya bagaimana bisa terjadi seperti ini?” sesalnya.
Lampard hanya berdiri kaku, wajahnya pucat pasi. Bola matanya berkaca-kaca, namun suaranya serak saat akhirnya keluar, “Tuan Atharva… bagaimana nanti dia menerima kenyataan ini? Bagaimana aku harus menyampaikan hal ini kepadanya?”
Dio akhirnya menjatuhkan tubuhnya di kursi tunggu, mengusap wajahnya sambil menangis terisak.
Mike menatap kosong ke lantai, jemarinya terkepal erat hingga memutih. Lampard menatap pintu operasi yang baru saja tertutup kembali, dadanya terasa sesak, seakan ikut merasakan sakit yang akan ditanggung pemimpin mereka.
Koridor rumah sakit pun larut dalam hening yang berat, hanya tersisa desah napas tersengal dan suara tangis tertahan yang menyayat hati.
Lampard menegakkan tubuhnya, mencoba menyembunyikan getaran pada suaranya.
“Dokter… apakah Tuan Muda Atharva bisa dibawa berobat ke luar negeri atau mungkin apakah kami harus mencari dokter terbaik di bidang saraf dan mata untuk memulihkan kondisinya?” tanyanya yang berharap ada keajaiban secepatnya terjadi.
Dokter itu menarik napas panjang, menatap Lampard dengan sorot mata penuh pertimbangan.
“Pak Lampard, untuk tindakan medis lanjutan, tentu ada opsi terapi di luar negeri dengan fasilitas lebih lengkap. Namun, secara medis, di Indonesia pun kami memiliki tenaga dan peralatan yang mumpuni. Yang perlu Bapak pahami, pemulihan Tuan Muda Atharva tidak hanya soal fisik.” ujarnya dokter tersebut.
Alisnya Lampard terlihat mengernyit, wajahnya semakin tegang. “Maksud Dokter?”
Dokter menurunkan suaranya, seolah tak ingin terdengar orang lain. “Kondisi psikologis beliau terguncang cukup parah. Saat sempat siuman di meja operasi, beliau menunjukkan tanda-tanda depresi seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya. Itu bisa memperlambat proses pemulihan jika tidak segera ditangani. Kami sarankan pendampingan psikolog atau psikiater selain perawatan medisnya.”
Dio yang sejak tadi hanya terdiam langsung menoleh, wajahnya memucat.
“Depresi? Astaga… Tuan Muda sudah sering terlihat murung, tapi kami kira hanya karena tekanan pekerjaan.”
Mike menunduk, menahan sesak di dadanya. “Ya Allah… selain fisiknya, sekarang batinnya juga terluka. Bagaimana kalau beliau tidak sanggup menerima kenyataan kebutaan dan kelumpuhan ini? Bisa-bisa penyakit mentalnya semakin bertambah parah.”
Lampard mengepalkan tangannya, berusaha tegar. “Apapun caranya aku akan cari dokter terbaik, baik di sini maupun luar negeri. Tidak peduli berapapun biayanya. Tuan Muda Atharva harus pulih. Kita tidak boleh membiarkan beliau tenggelam dalam keputusasaan.”
Dokter mengangguk pelan. “Itu sikap yang baik. Namun ingatlah Pak Lampard yang paling dibutuhkan Tuan Muda sekarang bukan hanya perawatan medis, melainkan juga dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia harus merasa masih berharga, masih dibutuhkan, meski kondisinya tak lagi sama.”
Hening kembali menyelimuti suasana di sekitar mereka. Lampard memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang.
Dalam hati ia berjanji, apapun yang terjadi, ia akan menjaga dan mendampingi Atharva, meski harus menghadapi badai seberat apa pun.
Lampard bergumam lirih, suaranya hampir tertelan oleh hiruk-pikuk rumah sakit, “Apakah ini dikarenakan oleh istrinya yaitu Naia Seora? Istri kelimanya yang kabur di hari kedua pernikahan mereka, lalu menghilang sampai sekarang?”
Bayu yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh, raut wajahnya serius meski matanya masih sembab.
“Iya, Pak… sepertinya memang gara-gara Nona Muda Naia. Mereka baru saja menikah, tapi dia memilih kabur. Bisa jadi itu yang membuat hati Tuan Muda semakin hancur.”
Mike yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menghela napas panjang. Wajahnya penuh kegelisahan, matanya menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Tapi coba kalian pikir kalau aku jadi Nona Muda Naia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Bagaimana bisa seseorang bahagia di hari pertama pernikahan, kalau di malam itu justru harus mendapati kenyataan pahit? Bahwa suami yang ia cintai dengan setulus hati tega menjualnya kepada lelaki lain.”
Dio menatap Mike dengan tatapan tajamnya karena merasa ucapan itu tak pantas diucapkan mengingat Atharva adalah majikan mereka yang jasa-jasanya tidak bisa dihitung dalam kehidupan mereka semua.
“Mike…” pungkas Dio.
Namun Mike melanjutkan, suaranya serak, penuh rasa getir. “Bayangkan kau menikah dengan pria yang selama ini kau sayangi, berharap bisa hidup bahagia bersamanya. Tapi justru ia menyerahkanmu ke orang lain, menjadikanmu semacam alat tukar hanya karena obsesi dan kegilaannya terhadap uang dan foya-foya. Apa kalian pikir mental seorang wanita bisa kuat menghadapi itu? Tidak… Nona Naia pasti ketakutan, terluka, dan akhirnya memilih kabur demi menyelamatkan dirinya sendiri.”
Hening menyelimuti mereka bertiga. Kata-kata Mike menusuk hati, membuat Dio terdiam dan Lampard menunduk dalam-dalam.
Lampard menekan pelipisnya, wajahnya tampak letih dan bersalah. “Kalau begitu… luka Atharva bukan hanya karena tubuhnya, tapi juga jiwanya. Ia kehilangan cinta, kehilangan kepercayaan dan sekarang kehilangan penglihatannya. Tidak ada yang lebih menyiksa daripada itu.”
Dio menggenggam tangannya sendiri, berusaha menahan air mata. “Kasihan sekali Tuan Muda… ia mencintai dengan caranya sendiri, tapi malah menyakiti orang yang ia sayangi.”
Mike mengangguk pelan, suaranya lirih. “Dan kini, kita hanya bisa berdoa semoga Allah memberi kesempatan, entah untuk memperbaiki atau setidaknya memberi kedamaian bagi hati Tuan Muda yang hancur itu.”