Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cincin untuk Dinda
Pulang dari restoran, Tristan membawa Dinda ke sebuah butik ternama. Pemuda itu tanpa basa basi memarkirkan mobilnya dan meminta Dinda keluar.
"Ayo buruan!" Sang Asisten yang tidak tahu apa-apa lantas mengikuti langkahnya.
"Bos, kita ngapain di sini?"
"Belanja, apalagi?"
Melewati pintu masuk, Dinda seketika terpanah. Bagaimana tidak, di setiap sisi kanan dan kiri hanya terpajang gaun-gaun modern yang cantik. Ini menakjubkan di dan tentu saja barang-barang hanya bisa dibeli oleh orang yang berduit.
"Dinda, coba pilih ini dan ini."
Dinda terkesiap melihat tangan Bosnya dengan lancang menyentuh gaun yang terpajang.
"Bos ngapain?" Gadis itu sampai melotot karena khawatir di suruh mengganti uang pembelian gaun itu nanti.
"Beli gaun untukmu, asisten seorang Tristan Bagaskara tidak boleh nampak culun di pesta bergengsi."
Keringat dingin membasahi kening. Dinda tersenyum dan membujuk bosnya agar segera keluar dari tempat itu.
"Bos, kita tidak perlu ke sana. Buat saja alasan jika aku sakit, atau aku jatuh jadi ngga sempat hadir, kita tidak perlu membuang uang untuk membeli gaun semahal ini."
"Kau ini kenapa?" Tristan tak suka melihat sikapnya dan melerai tangan gadis itu yang membujuknya pulang.
"Aku sudah menyanggupi undangan itu. Pantang bagiku untuk mengingkari apa yang sudah aku katakan."
"Tapi, aku nggak mau beli gaun bos. Kebutuhan hidupku dan nenekku jauh lebih penting daripada gaun ini, gaun ini sangat mahal. Aku takut gaji sebulan ku habis hanya untuk membayar pakaian ini."
"Aku yang membelinya, memang kapan aku meminta uangmu?"
Dinda tergagap.
"Anggap saja ini gaun hadiah dariku, jika aku tidak membawamu malam ini ke pesta itu, maka El akan terus mengincarmu di kemudian hari."
"Bos, aku rasa anda berlebihan."
"Kau tahu apa? Kau hanya gadis polos yang baru terjun dalam dunia bisnis. Bukankah saat kau di wawancara waktu itu, kekejaman dunia kerja kau saksikan di depan mata?"
Dinda menatapnya dalam, entah apa yang dipikirkan dalam benaknya namun Tristan sudah memilih dua warna pakaian. Putih dan gold.
"Pakai ini, aku yang belanja. Aku tunggu di sini."
Dinda cemas, tentu saja sebagai wanita dia juga mencemaskan hidupnya. Bagaimana jika omongan bosnya benar dan bagaimana jika Angelo memiliki niat jahat.
Beberapa menit kemudian.
Dinda telah selesai mengenakan gaunnya sesuai perintah. Gadis itu melangkah dengan anggun setelah mencoba gaun putih pilihan sang bos.
"Ehem." Penampilannya sempurna, Dinda menyukai gaun itu lalu berputar di hadapan sang bos.
Tristan yang asyik membuka majalah pun spontan menoleh saat Dinda berdiri tegak bak seorang putri yang baru saja sampai.
"Bagaimana, Bos?"
Gaun itu memancarkan citra sebagai gadis lembut yang baik hati.
"Ganti!"
"Hah?" Dinda tak habis pikir.
"Bukankah ini terlihat pas, Bos?"
"Kamu tahu, apa? Buruan ganti!"
Di gaun kedua. Dinda memakainya dengan setengah hati, gaun itu tampak seksi dan memperlihatkan kedua pundaknya. Ada belahan di bagian kaki tepat memperlihatkan kaki jenjangnya.
Dinda tak cocok memakainya, jelas saja dia terlihat risih dan siap untuk protes.
"Bos!"
Tristan menoleh, tatapannya terlihat aneh dan senyumnya seketika merekah.
"Sempurna."
"Apa?"
"Kita ambil yang itu saja."
Dinda tak percaya ini, dia sangat marah dan bersiap untuk meledak.
"Gaun putih cocok untukmu, tapi tidak dipakai untuk ke pesta seperti ini, gaun seperti itu cocoknya dipakai saat resepsi pernikahan." Kemarahan Dinda terkunci, pelan-pelan amarahnya padam saat Tristan tersenyum.
"Gaun gold ini cocok untuk memamerkan gebetan, mereka hanya bisa melihatmu dari jauh karena Dinda Kanya Putri akan di kenal sebagai kekasih Tristan Bagaskara."
"Bos, bukankah ini sudah terlalu jauh? Maksudku, bukankah kita memutuskan untuk bersandiwara hanya di depan Nana?"
Tristan mengeluarkan dompet, dia mengambil kartu dan menyerahkannya ke seorang karyawan. Dinda tak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Gadis itu di giring ke ruang ganti dan melepaskan gaunnya.
Ada banyak pertanyaan yang bercokol di dalam otak kecilnya namun Tristan selalu diam setiap mereka membahas hal yang sensitif.
"Merci Monsieur."
Tristan hanya tersenyum. Dia lantas menyerahkan pepper bag berisi gaun itu kepada Dinda.
"Ikut aku ke sesuatu tempat."
"Kemana?"
"Ikut saja."
Tristan mengajaknya ke toko perhiasan, dia menyetir begitu tenang dan memarkirkan mobilnya.
"Bos, ini dimana?"
"Toko perhiasan, seorang kekasih harusnya memiliki cincin couple kan."
"Bos!" Dinda tak tahan lagi.
"Bos, ini keluarga Reevand bukan keluarga Nana. Tolong sudah cukup main-mainnya."
"Nana dan keluarga Aryan juga akan hadir di pesta ini Dinda, lagi pula, saya beli cincin ini tak meminta kamu untuk mengganti uang saya. Kamu boleh memakai cincin itu sepuasmu. Aku memberimu cuma-cuma."
Dinda menghela nafas panjang.
"Bos, tolong jangan seperti ini."
"Kenapa? Kamu belum punya pacar kan?"
"Belum punya bukan berarti harus berakhir seperti ini, Bos aku memang mendukungmu untuk move on, tapi bukan untuk berbohong. Bos, kamu bisa membelikan gaun dan cincin untuk perempuan yang benar-benar kamu sayang."
"Tapi saya maunya ngasih beli semua itu untuk kamu, bukan untuk perempuan lain."
Andai saja Dinda tak tahu kisah sebenarnya, pernyataan barusan pasti sudah bisa membuatnya meleleh.
Tristan mengajak Dinda masuk untuk memilih cincin mereka. Gadis itu masih menolak dan Tristan merengkuh pinggangnya.
Sentuhan itu membuat Dinda mau tak mau mendongak menatapnya.
"Bos."
"Kau bilang padaku, sikapku pada Nana menunjukkan aku sudah move on kan?"
Dinda mengangguk.
"Aku tidak pernah begini sebelumnya, Dinda. Jika benar aku sudah move on, dan jika benar aku bisa memulai hidup yang baru, maka inilah pilihanku."
"Apa?" Dinda tak mengerti.
"Aku ingin kamu yang menemaniku."
"Bersandiwara? Oh no, big no, Bos." Dinda melepaskan rengkuhan Tristan dengan paksa.
"Tidak bersandiwara, aku sepertinya tertarik padamu."
Dinda terkesiap. Pengakuan macam apa itu, Dinda menatapnya tak percaya.
"Maaf Bos, tapi aku bukan benda yang bisa anda ambil dan buang sesuka hati."
Tristan menariknya hingga Dinda mendarat dalam pelukannya.
"Donne-nous des bagues de couple, des bagues de fiançailles."
(Berikan kami cincin berpasangan, cincin pertunangan.)
Pelayan melayaninya dan mengeluarkan apa yang menjadi permintaan Tristan. Dua cincin dengan permata indah di tawarkan di hadapan Dinda.
"Bagaimana, kamu suka?"
Gadis itu tak mengerti, mengapa Bosnya harus seperti ini.
"Pilih yang kamu suka."
Dinda tak memberikan jawaban.
Tak ada pergerakan, Tristan pun memutuskan untuk memasangkan cincin di jemari Dinda.
"Ini bagus, sangat cocok untukmu."
Dinda menerimanya, dia bahkan langsung mengenakannya. Tristan membayar tagihan dan membawa Dinda pergi dari sana. Pemuda itu juga memakai cincin di jari manisnya.
"Hemm, sekarang tak ada siapapun yang berani mengganggumu. Tidak dengan Daren, Abi ataupun Angelo."
Dinda menatapnya lekat.
"Kenapa bos peduli?"
"Karena kamu adalah orangku, setidaknya bersamamu aku tidak pernah merasa kesepian lagi."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,