Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Dibalik Bayangan
Malam turun dengan cepat di Roma, meninggalkan sisa cahaya senja yang memudar di cakrawala. Di mansion Leonardo, suasana tampak biasa saja di permukaan—para penjaga berpatroli di halaman, lampu kristal menyala megah, dan Aruna duduk di ruang kerja Leonardo, menatap halaman dari balik jendela besar.
Namun jauh di luar tembok itu, bahaya sedang mendekat. Don Vittorio, yang kehilangan banyak aset akibat pembakaran gudang semalam, tidak tinggal diam. Ia tahu kelemahan terbesar King Mafia bukan senjata, bukan uang, bukan kekuasaan—tapi seorang wanita.
---
Aruna menatap gelap malam dengan gelisah. Sejak beberapa hari terakhir, tidurnya selalu diganggu mimpi buruk. Ia melihat darah, api, dan wajah-wajah yang jatuh di hadapannya. Namun di balik semua itu, yang paling membuatnya takut adalah tatapan Leonardo yang semakin hari semakin… liar.
Cinta Leonardo memang nyata, tapi obsesi itu kian mencekiknya. Kadang Aruna merasa seperti mawar di dalam sangkar emas: indah, dijaga, tapi tidak bebas.
Suara pintu berderit membuatnya menoleh. Leonardo masuk, mengenakan kemeja hitam dengan beberapa kancing terbuka. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menyala dengan intensitas yang sama.
“Kau belum tidur,” katanya sambil menghampiri.
Aruna tersenyum tipis. “Aku tidak bisa tidur.”
Leonardo duduk di tepi meja, menatapnya. Tangannya menyentuh pipi Aruna, lalu menelusuri rahangnya dengan lembut. “Kau terlalu banyak berpikir. Dunia ini memang keras, Aruna. Tapi selama kau bersamaku, kau aman.”
Aruna menunduk. Aman… atau terpenjara?
---
Malam itu, Leonardo terpaksa meninggalkan mansion untuk menghadiri pertemuan singkat dengan salah satu sekutunya. Ia meninggalkan Marco dan beberapa orang terpercaya untuk menjaga Aruna.
“Jangan biarkan dia sendirian sedetik pun,” perintah Leonardo dengan suara dingin sebelum pergi. “Jika sesuatu terjadi padanya, kalian lebih baik mati sebelum aku kembali.”
Marco mengangguk serius. “Mengerti, bos.”
Aruna berdiri di balkon, menyaksikan mobil hitam Leonardo menghilang di jalan gelap. Ada rasa kosong dalam dirinya setiap kali pria itu pergi. Namun anehnya, ia juga merasa sedikit bisa bernapas lebih bebas saat tidak berada di bawah tatapan obsesifnya.
---
Beberapa jam berlalu. Mansion tampak tenang, penjaga berpatroli seperti biasa. Namun di balik bayangan pepohonan, beberapa sosok berpakaian gelap bergerak mendekat dengan senyap.
Vittorio memang licik. Ia tidak mengirim pasukan besar, melainkan tim kecil pembunuh bayaran yang terlatih. Target mereka bukan membunuh Leonardo—tapi menculik Aruna.
Di dalam, Aruna sedang membaca buku di ruang tamu. Ia berusaha menenangkan pikirannya, tapi perasaan tak enak menghantuinya. Seolah ada mata-mata asing yang mengawasinya.
Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari lantai atas. Suara tembakan menyusul, lalu teriakan penjaga.
Aruna menjatuhkan bukunya, tubuhnya membeku. “Apa… yang terjadi?”
---
Marco segera berlari masuk, pistol di tangan. “Nona, cepat ikut saya!” serunya tegas.
Aruna masih gemetar, tapi mengikuti langkah Marco. Mereka berlari menuju koridor panjang, sementara suara tembakan semakin mendekat. Bayangan hitam melompat dari jendela, menembaki penjaga dengan kecepatan mematikan.
Aruna hampir terjatuh karena ketakutan, tapi Marco menarik tangannya. “Cepat! Mereka datang untuk Anda!”
Jantung Aruna berdegup kencang. Mereka datang untukku?
Mereka sampai di ruang bawah tanah yang dilengkapi pintu besi tebal. Marco berusaha membukanya, tapi sebelum sempat masuk, tiga orang penyerang sudah muncul di ujung lorong.
“Lari!” Marco mendorong Aruna masuk ke balik pilar, lalu menembak balik. Suara peluru memekakkan telinga, lorong dipenuhi percikan api.
Aruna berjongkok, menutup telinga. Air matanya mengalir deras. Kenapa selalu ada darah… kenapa selalu ada perang?
---
Sementara itu, Leonardo yang sedang dalam perjalanan, menerima telepon dari salah satu anak buah.
“Bos! Mansion diserang! Mereka masuk lewat lantai atas! Marco sedang melindungi nona Aruna!”
Wajah Leonardo langsung berubah kelam. “Vittorio…” geramnya.
Ia menendang pintu mobil, keluar dengan marah. “Putar balik! Sekarang!”
Mobil melaju gila-gilaan kembali ke mansion. Mata Leonardo penuh bara, dadanya sesak bukan karena takut kehilangan kekuasaan, tapi karena takut kehilangan satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup—Aruna.
---
Di lorong, Marco berhasil menjatuhkan dua penyerang, tapi satu orang lagi lolos. Ia mendekat ke arah Aruna, pisau di tangan.
Aruna berteriak panik, mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. Penyerang itu tersenyum sinis. “Akhirnya, harta King Mafia yang paling berharga…”
Marco berusaha menembak, tapi pelurunya habis. Ia maju hendak melawan dengan tangan kosong, namun satu gerakan cepat membuat pisau itu melukai lengannya.
Aruna terpekik, ketakutan membuat tubuhnya lemas. Dalam sekejap, penyerang itu berhasil meraih pergelangan tangannya.
“Tenang saja, nona manis. Don Vittorio menunggumu…”
---
DOR!
Peluru menembus kepala penyerang itu, membuatnya roboh seketika. Darah muncrat ke lantai, mengenai ujung gaun Aruna.
Aruna terdiam, tubuhnya kaku.
Dari ujung lorong, Leonardo berdiri dengan pistol berasap di tangannya, wajahnya hitam kelam penuh amarah.
“Sentuh dia sekali lagi, dan aku akan membakar seluruh keluargamu sampai ke akar,” ucapnya dingin.
Ia segera berlari, meraih Aruna ke dalam pelukannya. “Aruna! Kau baik-baik saja?”
Aruna gemetar hebat, air matanya mengalir tanpa henti. Ia memeluknya erat, seolah hidupnya bergantung padanya. “Leo… aku… aku hampir…”
Leonardo mengusap rambutnya, menenangkan. “Shhh… aku di sini. Tidak ada yang bisa mengambilmu dariku.”
---
Namun, di balik pelukan itu, Aruna merasa dadanya sesak. Ia memang selamat, tapi kejadian ini semakin menegaskan: dirinya adalah sasaran. Ia bukan sekadar wanita biasa lagi, ia adalah kunci perang dua mafia besar.
Dan lebih dari itu, ia tahu—obsesi Leonardo padanya kini sudah melewati batas.
Setelah penyerangan diredam, mansion dipenuhi darah dan mayat penyerang. Marco terluka parah, tapi masih bisa berdiri. Ia menunduk pada Leonardo. “Mereka ingin menculik nona. Jelas ini kerjaan Vittorio.”
Leonardo menendang mayat salah satu penyerang. “Berani menyentuhnya… mereka sudah menggali kuburan sendiri.”
Ia menoleh ke Aruna, menatapnya dengan mata merah menyala. “Aku bersumpah, Aruna. Tidak ada seorang pun yang akan menyentuhmu lagi. Jika perlu, aku akan meratakan Roma untuk melindungimu.”
Aruna tercekat. Kata-kata itu bukan lagi janji cinta. Itu sumpah seorang iblis.
---
Malam itu, Aruna tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun berlumuran darah. Leonardo duduk di kursi, menatapnya tanpa berkedip.
“Aku tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari sisiku, Aruna,” katanya dengan suara rendah. “Jika dunia mencoba merebutmu, aku akan menghancurkan dunia itu.”
Aruna menunduk, air mata mengalir lagi. Ia mencintainya, tapi juga takut padanya.
Dalam hati kecilnya, suara itu kembali berbisik: “Cinta ini akan menyelamatkanmu… atau menghancurkanmu.”
Dan untuk pertama kalinya, Aruna merasa jawabannya mungkin lebih condong pada kehancuran.