Hidup tak berkecukupan, memaksakan Alana mengubur impiannya untuk berkuliah. Dia akhirnya ikut bekerja dengan sang ibu, menjadi asisten rumah tangga di sebuah rumah cukup mewah dekat dari rumahnya. Namun masalah bertubi-tubi datang dan mengancam kehidupan dirinya dan sang ibu. Dengan terpaksa dirinya menerima tawaran yang mengubah kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Widia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keegoisan Jeselyn
Salon tempat Alana bekerja mulai di datangi banyak pelanggan. Setelah bertambah lagi karyawan, Revan mulai sering mengunjungi salon peninggalan mendiang ibunya itu.
"Tanganmu sekarang sudah terbiasa, aku senang kau cepat belajar," pujinya pada Alana. Pria itu pun meminta ke empat karyawannya untuk berkumpul pada jam makan siang.
"Hari ini merupakan hari spesial bagiku. Karena hari ini merupakan ulang tahun mendiang ibuku. Sebagai seorang anak yang ingin mewujudkan cita-citanya, aku mendedikasikan salon ini untuk beliau. Salon yang dulu sempat berjalan selama beberapa beberapa tahun, namun harus tutup karena suatu masalah internal."
Revan berterima kasih pada karyawan yang mau membantunya, apalagi Sita yang merupakan sahabatnya saat kuliah. Wanita cantik berambut bob itu sudah menemani Revan selama beberapa tahun, dan cukup tahu seluk beluk kehidupan pria itu.
Alana sedikit tahu jika Revan merupakan seorang anak yang berasal dari keluarga broken home. Sita yang menceritakan kehidupan Revan, percaya pada Alana yang pastinya tak akan menceritakan hal ini pada karyawan lainnya. Baginya, Alana sudah seperti teman dekat. Orang yang pertama kali menemaninya di kala salon itu masih baru dan hanya sedikit pelanggan.
"Hari ini aku akan mentraktir kalian makan siang, ayo kita makan di cafe seberang sana," ajak Revan pada karyawan salonnya.
Dengan senang hati tentunya mereka menerima tawaran sang owner.
"Pesan apapun yang kalian mau," ucap pria berwajah tampan itu, membuat karyawan yang seluruhnya perempuan itu merasa salah tingkah. Kebaikan Revan memang patut di acungi jempol, apalagi dirinya yang gampang akrab dengan mereka.
"Pak Revan, maaf kalau saya tanya secara pribadi. Usia Pak Revan sekarang berapa tahun?" Tanya Wulan terang-terangan. Orang salon pun tahu jika gadis itu naksir pada sang owner.
"Ah, usiaku 27 tahun. Sudah tak muda lagi," jawab Revan merendah, namun hal itu justru membuat Wulan makin senang.
"Kita hanya beda 4 tahun Pak, tahun ini saya berusia 23. Ibu bilang saya harus segera cari calon suami. Sepertinya kalau Pak Revan yang jadi calon suami saya, ibu akan langsung merestui."
Semua orang menahan tawa termasuk Revan. Terang-terangan, Wulan menggoda atasannya dengan cara yang tak terduga.
"Begitu kah? Sepertinya ibumu akan lebih sayang padaku juga," jawab Revan dengan candaan.
Alana ikut tertawa mendengar candaan rekan kerjanya. Sementara dia sendiri tak terlalu humoris dan hanya jadi pendengar setia.
"Berarti Alana paling muda di sini," ucap Revan yang melihat Alana diam saja.
"Iya, kebetulan saya juga baru lulus sekolah 6 bulan lalu."
"Kau tak berencana untuk kuliah?"
"Aku tak punya biaya untuk kuliah, makanya aku mencari pekerjaan sampai akhirnya bisa menjadi pegawai salon ini," jawab Alana yang membuat pegawai lain terdiam. Karena mereka sendiri bekerja di sana hanya untuk uang jajan, dan masih bisa berkuliah mengambil kelas karyawan.
Revan diam sejenak, merasa tak enak dengan pertanyaan yang dia lontarkan.
"Tapi kau hebat, baru satu bulan training jadi perias wajah, tanganmu sudah terlihat cukup lihai. Sepertinya, kalau kau terus mengasah kemampuanmu, kedepannya kau pasti akan menjadi perias wajah profesional."
Kalimat semangat dari Revan membuat Alana tersenyum lebar, rasanya seperti doa tulus untuknya. Revan tak menyadari jika dirinya menatap Alana.
"Ekhem!" Sita berdehem, mengganggu momen yang membuat Revan tersadar. Begitupun Alana yang sebenarnya sadar jika pria itu memandanginya, dan berusaha mengalihkan pandangannya pada hal lain.
•••
Sebuah mobil terparkir di depan rumah dua lantai bergaya America classic. Turunlah seorang wanita dari mobil itu dan juga pria yang terlihat sedang bersitegang.
"Sudah aku bilang, aku tidak mau hamil. Aku tidak mau karir yang sedang ku bangun terganggu demi keegoisanmu, Vind."
Aravind begitu emosi mendengar istrinya yang keras kepala. Balasan cinta dari sang istri tak sebanding dengan perjuangannya.
"Apa salahnya aku memintamu untuk melahirkan anakku? Jeselyn, aku bahkan begitu kesepian selama pernikahan kita. Tiga tahun pernikahan kita, semuanya hanya tentang bagaimana karirmu bisa sukses, keinginanmu tercapai. Kau pergi ke luar kota, ke luar negeri hanya untuk membuat brand make up mu semakin besar. Tapi kau lupa, ada aku dalam hidupmu. Ada aku, suami yang selalu mendukung dan membantu finansial bisnismu."
Panjang lebar ucapan Aravind, tak sedikitpun Jeselyn menggubrisnya. Pilihannya untuk tak punya anak masih belum berubah. Dirinya terus bersikeras dan berkata hal lain agar Aravind tak mau memintanya lagi.
"Kenapa akhir-akhir ini kau selalu bersikeras meminta hal yang tak mungkin bisa aku wujudkan. Apa selama ini kau terpengaruh oleh papamu?" Tanya Jeselyn menuduh ayah mertuanya, Aravind seketika menunjukan emosinya saat hal ini di sangkut pautkan pada orang tuanya.
"Apa maksudmu Lyn? Membawa papa dalam ranah pribadi kita? Pengelakanmu membuatku tak bisa menahannya lagi, bagaimana kalau kita berpisah saja?"
Jeselyn terkejut mendengar perkataan Aravind. Selama ini hal yang paling dia takutkan adalah berpisah dari suaminya.
"Tidak, kumohon. Aku sangat mencintaimu, tapi untuk saat ini aku tak mungkin mengandung dulu. Masih ada tour yang harus ku lakukan, sekitar 1 tahun lagi."
Aravind mulai bisa meredam emosinya saat mendengar Jeselyn luluh. Gertakan kecil darinya membuat wanita itu tak lagi menolak permintaannya. Walau harus menunggu satu tahun, tak masalah baginya.
"Kau tahu, betapa aku mencintaimu. Jeselyn, aku hanya ingin memintamu mengandung anakku. Setelah melahirkan satu anak, aku berjanji akan memberikan seluruh hartaku padamu, akan ku perbarui surat warisan seluruh aset atas namamu," tawar Aravind yang membuat Jeselyn tergiur. Namun, wanita itu terlihat menggigit bibir bawahnya. Seolah ada hal lain yang sedang dia sembunyikan.
Di rumah Yuniar, terlihat sang pemilik rumah sedang berhias. Wajahnya yang sudah nampak kerutan, dipoles oleh kuas make up. Yuniar pun mencari sesuatu dalam lemarinya, sebuah kotak beludru berwarna biru safir. Namun saat kotak itu terbuka, Yuniar tampak mengerutkan kening. Kalung berlian 18 karat, menghilang dari dalam kotak itu.
"Apa papa lihat kalung berlianku? Aku sudah mencari di dalam kamar tapi tak ketemu juga," ucap Yuniar panik, membuat Bara yang sudah bersiap pergi ke suatu acara akhirnya mengikuti sang istri ke kamar.
"Bagaimana bisa hilang? Bukankah mama simpan itu di lemari?" Tanya Bara memastikan jika istrinya hanya teledor.
"Betul pa, kalung berlian itu ku simpan di kotak beludru biru. Sedangkan kalung dan perhiasan emas, aku simpan di kotak beludru merah."
Bara membantu mencari kalung istrinya, namun tetap saja hasilnya nihil.
"Apa tadi Ira membersihkan kamar kita?" Tanya Bara yang mulai mencurigai pembantunya.
"Iya pa, seperti biasa dia yang selalu membersihkan dan merapikan kamar kita," jawab Yuniar tak mengerti maksud suaminya.
Bara pun memanggil pembantunya, lalu mempertanyakan keberadaan kalung milik istrinya.
"Saya tidak membuka lemari ataupun rak hias nyonya. Saya hanya membersihkan kasur dan juga lantai," alibi Ira yang membuat Yuniar menganggukan kepalanya.
Namun Bara tak percaya, pria paruh baya itu meminta Ira membawa tasnya. Tanpa curiga, Ira pun memberikan tas miliknya pada Bara. Dan saat terbuka, nampak sesuatu dalam tas itu yang membuat semua orang tercengang.