Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Akan aku pastikan mereka tak mengejarmu lagi.
Dan, dalam waktu tiga minggu berturut-turut sampai sekarang, tak ada lagi orang yang datang ke rumahnya untuk menagih hutang Ayahnya lagi. Ucapan pria itu tak bohong.
Satria. Nama itu bergaung di kepalanya.
Ada rasa lega, tapi juga cemas. Apa memang benar yang ia katakan kemarin hingga tak seorang pun berani menagih lagi? Dan apa yang harus ia bayar sebagai gantinya?
Pria itu seperti pahlawan malam yang tiba-tiba datang menyelamatkan dirinya dari jerat luka yang cukup dalam. Bahkan, semenjak kejadian malam itu ketika mengantarkannya pulang sampai rumah, tak sekali dua kali, bahkan telah menjadi kebiasaan rutin bagi lelaki itu hanya sekedar mampir ke rumah kontrakan kecilnya.
Dan kali ini, ketika Amira telah selesai bekerja, langkahnya ringan tapi terasa berat di dalam dada, seolah menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Saat hendak meninggalkan kafe, matanya menangkap sosok yang sudah tak asing lagi—Satria. Pria itu berdiri di depan pintu dengan sikap tenang, seolah sudah menjadi bagian dari langit sore yang perlahan memudarkan rasa penat.
"Ma—Mas Satria," Ucap Amira, suaranya bergetar tipis ketika menyadari Satria, yang sedari tadi bersandar di kap mobilnya, perlahan mendekat.
Mata Amira tak sengaja tertumbuk pada mobil Satria. Mewah, bersih, dan berkilau. Nampak statusnya yang tinggi. Mungkin saja Satria mampu melunasi hutangnya tanpa kesulitan, karena ia berasal dari keluarga terpandang. Pikirnya, membuat perasaaan canggung merayap perlahan ke seluruh tubuhnya.
"Amira?" Satria mengejutkan.
"Uhm. Ma-Mas Satria mampir kesini mau pesan kopi?"
Satria mendesis sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Jelas-jelas aku ingin menemuimu." Jawabnya dengan nada tenang tapi penuh keyakinan, membuat udara di sekitar mereka seketika terasa berbeda. "Amira, bagaimana kalau kita ngobrol sambil makan? Aku dengar, ada restoran lezat dekat sini."
Sungguhkah? Batin Amira. Kenapa begitu cepat. Terus berlanjut bahkan selalu menghadirkan harap di setiap pertemuan. Ia menatap kosong ke arah Satria. Sorot matanya begitu dalam dengan segurat senyum yang lagi-lagi selalu membuat dadanya berdebar tak menentu. Setiap tatapannya seolah menembus langsung ke dalam hati, meninggalkan jejak hangat yang sulit dihapus.
"Amira?" Satria mengejutkan. "Bagaimana? Apa kamu tahu dimana resto yang aku maksud?"
Amira menggeleng. "A-Aku tidak tahu, Mas." Jawabnya menunduk. "Aku belum pernah makan di restoran, lagi. Semenjak Ayah Ibuku pergi, uang kerjaku … cuma cukup untuk bayar biaya sewa rumah. " Ucap Amira pelan, nada suaranya sedikit berat, menahan rasa canggung sekaligus malu.
Sederhana. Terbuka. Apa adanya. Nampak rapuh, tapi jauh lebih kuat dan tegar. Itu yang membuat Amira tampak istimewa di hati Satria. Setiap kalimatnya benar-benar tulus dan terbuka. "Kamu terlalu berharga, Amira." Gumamnya tanpa ia sadari, kalimat itu terdengar langsung ke telinga Amira.
"A-Apa, Mas?"
"Uhm. Tidak. Jadi bagaimana?"
Amira membisu. Ia hanya mengangguk setengah ragu, setengah mau. Tapi bagi Satria, anggukkan itu adalah jawaban yang penuh keyakinan. Tak ada penolakan yang dapat terbantahkan. Ia segera mengajak dan menuntun Amira untuk masuk ke dalam mobilnya.
Selama beberapa kali pertemuan mereka, ini adalah kali pertama Amira menaiki mobil Satria. Ia di sambut hangat dengan campuran aroma parfum mobil dengan bau khas Satria yang beberapa kali terakhir ini berhasil melekat diingatannya.
Sebelum mobil itu berjalan, Amira meraih ujung seat belt yang tak bertepi, hingga akhirnya lelaki itu mendekat. Nyaris wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Setiap detik seakan melambat, mereka saling menahan napas dalam ketegangan yang tak bisa mereka ucapkan.
"Ma-Mas Satria," Lirih Amira memecah keheningan.
Satria tertegun. "Bi-biar aku bantu mengenakan seat belt untukmu." Katanya sembari menarik ujung tali hitam itu dan mengkaitkannya di sisi kanan Amira.
Satria kembali duduk di posisi kemudi, menyalakan mesin dengan lampu dasbor yang menyala. Getaran mesin seolah menegaskan hadirnya momen yang baru saja terjadi. Amira menunduk sebentar, jantungnya masih berdebar dengan tangan gemetar ringan di pangkuannya.
Sungguh, udara di dalam mobil itu menjadi terasa hangat sekaligus berat, penuh dengan kata-kata yang tak terucap. Satria menoleh sekilas lalu matanya mantap menatap lurus ke jalan, namun Amira merasakan sorotan itu menempel, hangat, dan penuh perhatian.
"Kita pergi sekarang?" Tanya Satria kemudian.
"Iya, Mas." Jawab Amira. Memancing, mobil yang ditumpanginya itu mulai melaju ke tengah jalan dengan kecepatan kilometer yang tak terlalu rendah dan tak begitu tinggi.
"Amira," Kata Satria lagi. Dari tampak samping, ia merasa wanita itu menoleh dan memandang wajahnya. "Maaf seharusnya aku katakan hal ini sejak awal."
"Ka-katakan tentang apa, Mas?"
"Apa kekasihmu tidak marah, kalau aku selalu menemuimu bahkan mengajakmu makan malam?"
"Aku belum punya kekasih, lelaki yang dekat denganku itu hanya kamu."
Satria sekilas menoleh. Ia membanting setirnya ke kanan, mengambil salah satu persimpangan jalan yang mulai padat oleh aktivitas kendaraan sore hari. Mobil yang dikemudikannya perlahan melambat dan perlahan ikut merayap di antara jejal jalanan menuju fly over di depan sana. "Sungguh?"
Amira mengangguk. "Mungkin Mas Satria. Aku takut pacar Mas Satria tiba-tiba datang lalu..."
Satria tertawa kecil. Tawa itu baru pertama Amira dengar. Renyah dan hangat. "Aku ..." Liriknya sambil menoleh sebentar menatap mata Amira. "Aku tidak memiliki kekasih. Wanita yang dekat denganku sekarang bahkan hanya satu. Itu kamu, Amira."
"Ma-Mas ..."
Satria tersenyum lalu kembali menatap jalanan. Ia menarik tuas persneling dan mulai melakukan mobilnya dengan kecepatan standar. Suara mesin berdengung pelan di dalam kabin.
Sementara itu, Amira masih tertuju pada sosoknya. Matanya menelusuri setiap gerakan Satria, dari cara tangannya menempel pada stir hingga ketenangan di wajahnya. Ada rasa hangat yang perlahan merayap di dadanya, campuran kagum, cemas, dan sesuatu yang lebih sulit ia pahami. Diamnya bukan karena takut—melainkan karena tak ingin momen itu berlalu begitu saja.
Apakah ini mimpi atau hanya sebuah kebetulan? Dari banyak kepahitan hidup yang ia alami selama ini, apakah ini hadiah Tuhan atas buah kesabaran yang selama ini dilaluinya? Kehadiran Satria seperti obat yang perlahan menyembuhkan luka di waktu kemarin. Ada perubahan hidup yang dirasakannya. Lebih tenang, seakan dunia yang dirasakannya sekarang terasa baik-baik saja. Apa kamu hadiah yang selama ini aku tunggu untuk melindungi aku, Mas Satria?
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ungkap Satria memecah setengah lamunan Amira.
"Uh…" Amira menunduk sejenak, lalu berpaling menatap jendela di sisinya. Ia menelan napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu. Kedua ibu jarinya saling bergesekan di pangkuan.
Satria menoleh sekilas, lalu meraih kedua ibu jari Amira dan menangkupnya hangat tanpa permisi. "Jangan lakukan itu. Nanti jari-jarimu terluka dan berdarah." Tambahnya.
"Ma-Mas ...,"
Satria kemudian menepikan mobilnya di bahu jalan lalu masuk ke dalam sebuah bangunan restoran yang tak jauh dari pusat kota. Suara mesin perlahan mereda menjadi dengungan halus.
Ketika mobil itu terparkir dengan posisi mantap, Satria mematikan mobil sambil melepaskan seat belt. Dan saat itu juga, ia membalikan tubuhnya menatap Amira dengan sorot mata yang sulit diartikan—hangat, penuh perhatian, dan sedikit menyelidik.
Amira menahan napas sejenak, merasakan detak jantungnya yang berpacu. Ruang hening di antara mereka terasa tebal, hanya diisi oleh aroma mobil dan getaran halus mesin yang baru berhenti. Setiap gerakan Satria terasa penting, setiap tatapan seolah menanyakan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Ruas-ruas jari kokoh Satria masih menangkup punggung jemari Amira. Kali ini, sentuhannya lebih lembut, namun tetap mantap, seolah ingin menenangkan dan mengatakan bahwa, aku ada disini.
Mata mereka saling mengunci. Seketika dunia di luar kabin terasa hilang. Setiap tarikan napas, setiap kedipan mata, menyisakan hanya ruang dan sentuhan yang bicara lebih keras daripada suara.
Kali ini, Satria perlahan menggeser tangannya, jari-jarinya tetap menangkup punggung jemari Amira, namun sedikit menekannya, seakan memberi sinyal tanpa kata. Amira menahan napas, tubuhnya merespons sentuhan itu tanpa sadar, setiap getar terasa hangat hingga ke ujung jari.
"Ma-Mas Satria ...,"
"Amira, apa kamu merasakan sesuatu yang sama halnya aku rasakan sekarang?" Satria mendesis. "Mungkin ini aneh, tapi ..." Matanya semakin dalam menatap Amira. "Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa aku melakukan semua ini padamu, kenapa hanya kamu."
Amira menelan saliva, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tersentak, heran dan sedikit cemas—bagaimana mungkin Satria bisa membaca isi hatinya hanya dari tatapan itu? Setiap gerakan, setiap detik di antara mereka terasa seperti cermin, memantulkan keraguan, keinginan, dan rasa yang selama ini disimpannya.
"Aku melakukannya bukan aku merasa kasihan padamu, bukan juga aku merasa empati dan iba ingin membantumu. Tapi kamu ... kamu yang berhasil buat aku kembali hidup, Amira." Jelas Satria. "Aku ... aku jatuh hati sama kamu sejak kali pertama aku bertemu di kafe tempat kamu bekerja."
Satria tertegun sejenak, matanya membesar sedikit, menahan reaksi yang ingin keluar. Hening itu terasa panjang, hanya diisi oleh detak jantung mereka sendiri. Amira menunduk sebentar, menelan rasa malu dan gugup, namun tak mampu menyingkirkan tatapannya dari Satria.
Amira masih tetap menatap Satria, matanya berkaca, seolah ingin menangis. Selama ini, tak pernah ada yang benar-benar peduli, tak pernah ada yang mencintai dirinya selain dirinya sendiri. Kata-kata Satria seperti hujan yang tiba-tiba turun di padang kering hatinya—menghidupkan sesuatu yang telah lama mati, sekaligus menegaskan kerentanan yang selama ini ia sembunyikan.
Tubuhnya sedikit gemetar, namun ada rasa hangat yang menyelimuti dadanya, seolah semua kesepian dan luka tertebus hanya oleh satu pengakuan sederhana: bahwa ia dicintai, benar-benar dicintai. Satria tetap menatapnya, tenang namun penuh arti. Tanpa permisi dan secara bersamaan, air mata itu tiba-tiba jatuh dan membasahi pipinya, namun Satria segera mengusap wajahnya dengan lembut.
"A-Apa kata-kataku menyakiti kamu?" Lirih suara Satria bercampur rasa cemas. "Kenapa kamu menangis?"
Amira menggeleng. "Makasih," Ucapnya sedikit terisak. "Makasih, Mas."
Satria mendekat, tatapannya lembut namun penuh perhatian. Hening sejenak memenuhi kabin mobil, hanya diisi oleh napas mereka yang saling berirama. Kata-kata sederhana itu—"makasih"—mengandung seluruh beban hati yang selama ini ia simpan sendiri, dan Satria menangkapnya tanpa perlu penjelasan lebih.
Tangannya tetap menangkup punggung jemari Amira, sentuhan yang sama sekali tidak tergesa, namun cukup untuk menyalurkan rasa hangat, aman, dan pengakuan yang tak terucap. Dalam diam itu, keduanya tahu—ada sesuatu yang baru saja dimulai, sesuatu yang tak bisa lagi mereka abaikan. Saling mencintai.
****