Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Suasana ruang tamu masih tegang ketika suara
Tap…
Tap…
Tap…
Terdengar dari arah tangga. Paula turun anggun dengan gaun sutra merah, wajahnya tersenyum sinis.
“Astaga… berisik sekali malam-malam begini.” Paula melipat tangannya di dada, matanya menatap Moira penuh meremehkan. “Oh, rupanya putri kesayangan Papa Evander sudah pulang.”
“Dia bukan putri kesayangan ku. Dia anak pembangkang yang sudah bikin malu keluarga ini!” bentak Tuan Evander, masih dipenuhi amarah.
Paula mendekat, seolah hendak menenangkan. “Sudahlah, sayang. Jangan terlalu keras sama Moira. Gadis seusia dia wajar kalau… tersesat mencari perhatian laki-laki.” Bibirnya melengkung tipis, menyindir.
Moira mengangkat dagunya, menatap Paula dengan tatapan setajam silet. “Lucu juga, seorang wanita sundal yang naik kelas jadi nyonya berani-beraninya menasehati gue soal moral.”
Paula terkejut, wajahnya menegang. “Apa kamu bilang?!”
Moira melangkah pelan, seolah singa mendekati mangsanya. “Gue bilang… jangan sok suci. Semua orang tahu, kalau ibu tiri selalu haus posisi. Dan anda berhasil dapatkannya karena ibu kandung gue sudah nggak ada. Jadi tolong… jangan pura-pura peduli sama hidup gue.”
Braaak!
Paula menggebrak meja marmer, suaranya meninggi. “Kurang ajar! Berani sekali kamu bicara begitu di depan papamu sendiri!”
Moira hanya tersenyum tipis, tatapannya tak bergeming. “Kalau anda pikir gue masih Moira yang bisa dipermainkan, anda salah besar. Mulai sekarang, gue akan pastikan tidak ada satu pun dari anda yang bisa lagi merendahkan gue.”
Tuan Evander terdiam, seolah kehilangan kata. Paula menatap Moira dengan tatapan penuh benci, tapi di baliknya ada rasa takut. Aura Moira terlalu berbeda—dingin, berwibawa, dan berbahaya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu Moira duduk di depan cermin. Rambutnya sudah dia rapikan, wajahnya segar tanpa kacamata bulat jadul yang dulu sering dia pakai. Gaun kuno yang biasa menempel di tubuh Moira pun sudah terganti dengan setelan kasual yang lebih modis.
Dia menatap dirinya lama di kaca, lalu menghela napas panjang.
“Serius nih, Hanabi Watson, Queen of Mafia… sekarang harus balik jadi mahasiswi? Kuliah lagi? Gila, hidup gue downgrade banget.” Moira mengusap wajahnya frustasi. “Dulu ngurusin transaksi senjata, sekarang ngurusin absen sama dosen killer. Rasanya pengen banting meja dosen deh.”
Drrt. Drrt.
HP-nya bergetar. Pesan dari Gentha masuk.
Gentha:
Bi, inget ya… lo sekarang bukan ketua mafia, tapi Moira Evander. Jadi tolong jangan bikin dosen kampus lo masuk IG story gara-gara lo ajak duel.
Moira mendecak, lalu membalas cepat.
Moira:
Santai Tha… gue tau batas kok. Paling juga gedungnya kebakar dikit. Hehe.
Dia berdiri, meraih tas ransel sederhana yang sebenarnya sudah dia isi dengan flashdisk berisi dokumen rahasia Nitro—jaga-jaga kalau sewaktu-waktu perlu.
Begitu keluar dari kamar, dia bergumam lirih dengan senyum miring.
“Oke, kampus. Siap-siap kedatangan mahasiswa baru dengan jiwa mafia. Gue janji nggak akan ngebakar gedung… kecuali dosennya nyebelin banget.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kampus pagi itu ramai, mahasiswa sibuk dengan aktivitas awal semester. Suasana riuh, beberapa mahasiswa lalu-lalang sambil bercanda.
Lalu… langkah Moira memasuki gerbang utama langsung bikin beberapa kepala menoleh.
“Eh… itu Moira, kan?” bisik seorang mahasiswi.
“Hah? Nggak mungkin! Moira yang cupu itu? Kok jadi secantik ini?”
“Gila, gue kira artis baru pindahan.”
Moira berjalan tenang, wajahnya datar tapi penuh percaya diri. Di dalam hatinya Hanabi bergumam sinis. Huft, gampang banget bikin manusia kagum cuma gara-gara ganti penampilan. Dulu gue dijuluki Queen of Mafia, sekarang cukup dengan nggak pake kacamata bulat aja udah bikin heboh. Kasian amat standar mereka.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dari kejauhan dia melihat sosok familiar Arland Kaiden Gavintara. Calon tunangan yang biasanya cuek, berdiri gagah dengan kemeja putih dan aura dinginnya. Dia sedang berbicara dengan beberapa temannya, tapi pandangannya terhenti begitu melihat Moira.
Arland mengerutkan kening, seperti tidak percaya. Matanya mengikuti langkah Moira yang semakin mendekat.
Tap… tap… tap…
Moira lewat begitu saja tanpa menoleh, seolah tidak peduli. Tapi saat melintas di samping Arland, dia sempat menoleh sekilas dan memberikan senyum tipis—senyum yang lebih menusuk daripada seribu kata.
Arland terdiam. Dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Salah satu temannya menepuk pundaknya. “Land, itu… Moira, kan? Calon tunangan lo?”
Arland masih menatap punggung Moira yang menjauh. “…Dia berubah.”
Sementara itu, Stella yang menyaksikan semuanya dari jauh. Wajahnya memerah karena kesal. Tangannya mengepal di balik tas kecil yang ia genggam.
Tidak… tidak boleh! Arland nggak boleh jatuh hati sama Moira!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruang kelas sudah ramai saat Moira masuk. Dulu, setiap kali dia datang, orang-orang hampir tidak pernah memperhatikannya. Tapi hari ini berbeda—semua mata seolah otomatis menoleh ke arahnya.
Bisik-bisik pun terdengar.
“Itu beneran Moira?”
“Kok bisa glow up gitu, sih?”
“Dulu kayak pulu-pulu, sekarang… gila, bidadari turun kampus.”
Moira hanya mengibaskan rambutnya pelan dan berjalan ke kursi tengah. Dia duduk dengan santai, membuka laptop, lalu melirik sekilas ke papan tulis.
Saat dosen masuk, suasana mendadak tenang. Dosen itu terkenal galak, biasanya Moira dulu sering dimarahi karena bengong atau telat.
“Moira Evander,” panggil sang dosen tiba-tiba. “Kamu sudah baca materi sebelum masuk?”
Semua mahasiswa menoleh, menunggu Moira ditelanjangi seperti biasanya.
Tapi Moira hanya tersenyum tipis. “Tentu, Pak. Kalau Bapak mau, saya bisa jelasin ulang teori ini dengan bahasa yang lebih sederhana biar temen-temen satu kelas saya juga paham.”
Seisi kelas terkejut.
Dosen itu menaikkan alis, kaget karena Moira yang biasanya diam, sekarang bisa menjawab dengan tenang. “Baiklah. Silakan.”
Moira pun berdiri, menjelaskan ringkasan materi dengan jelas dan lancar. Bahkan ia menambahkan beberapa poin kritis yang membuat dosennya terdiam sejenak.
“Hmm… bagus. Duduk.” kata dosen singkat, tapi terlihat puas.
Mahasiswa lain saling pandang, kagum sekaligus bingung. Moira menutup laptopnya perlahan, menahan senyum tipis. Queen of Mafia nggak pernah kalah, bahkan di kelas.
Saat kelas selesai, semua orang berdesakan keluar. Moira membereskan barang-barangnya, ketika tiba-tiba sebuah bayangan berdiri di hadapannya.
Arland.
Dengan wajah dingin khasnya, ia menatap lurus ke arah Moira. “Lo berubah.”
Moira mengangkat alis, tidak gentar sedikit pun. “Emang kenapa? Calon tunangan lo jadi lebih cantik, harusnya lo seneng, Land.”
Arland terdiam sesaat, matanya sulit lepas dari Moira. “…gue nggak tahu kenapa, tapi gue jadi pengen lebih mengenal lo.”
Moira hanya menyeringai samar, lalu melangkah pergi melewatinya. “Hati-hati, Land. Kalau terlalu dekat sama gue… bisa bahaya.”
Arland menoleh, menatap punggung Moira yang menjauh. Untuk pertama kalinya, hatinya terguncang oleh calon tunangan yang selama ini tidak pernah dia pedulikan.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/