Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Double Date? Hmm...
Sepasang sejoli itu...
Ah, bukan sejoli. Hubungan mereka masih belum cukup layak dilabeli dengan kata sejoli.
Mereka hanyalah dua orang yang sedang sama-sama menjajaki hati, mengutarakan rasa, dan sedang menyelami isi hati masing-masing.
Adalah Armand yang sedari tadi terus menoleh ke arah gadis yang tampak sangat cantik saat rambutnya digerai dan hanya diberi jepitan di dekat telinga sebelah kanan yang biasa terbuat dari bahan metal dan pernah Armand lihat tersedia di aplikasi belanja online. Jepit rambut kecil yang biasa disebut jepit rambut lidi tersebut semakin mempermanis penampilan si mungil pada malam ini.
Ya, malam ini.
Di alun-alun desa, dimana sedang ada keramaian, Armand mengajak Nissa ke sini untuk berbicara dari hati ke hati dengan gadis mungil itu.
Sejak Armand dengan lantang mengatakan jika dirinya adalah calon suami dari gadis yang lebih banyak menunduk saat melangkah beriringan di sisinya.
Armand merasa bahagia. Bisa kembali menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan Nissa merupakan hal yang disukainya.
"Nis... " Armand mulai bersuara. Kala gadis itu mendongak ke arahnya sejenak, Armand tersebut saat menanyakan, "Bagaimana pendapatmu soal pernikahan kita yang aku putuskan sendiri tanpa menanyakan terlebih dulu kesedianmu? Apakah kamu keberatan dan ingin membatalkannya?"
"Apakah ia keberatan?"
"Atau adakah niat di hatinya untuk membatalkannya?"
Kening Nissa mengernyit. Dalam diamnya gadis itu mencoba menelaah ke kedalaman isi hatinya demi mencari jawaban atas dua pertanyaan tersebut.
Nissa terus mencoba mencari bisikan suara hati serta mencari di ke dalaman pikiran, namun setelah cukup lama terdiam, Nissa tak menemukan apapun yang bisa disebut sebagai penolakan. Sungguh Nissa tak mengerti. Situasi serta kejadian tak terduga yang terjadi padanya, tak sedikit pun menimbulkan rasa keberatan atau adanya niat untuk membatalkan rencana pernikahan yang sudah diatur sedemikian rupa.
''Apakah ini karena bujukan nenek tempo hari?"
Cepat Nissa menggeleng. Secepat gelengan itu pula, Nissa yang tadi menunduk untuk menelaah isi hatinya kini kembali membalas tatapan pria yang rupanya terus memaku tatapan ke arahnya itu.
"Kamu keberatan, Nis?" tanya Armand dengan disertai rasa khawatir dalam hatinya. Armand yang biasanya selalu bisa bersikap tenang tiba-tiba dihantui rasa was-was, takut jika Nissa menolak untuk menikah dengannya.
Tapi rupanya ketakutan Armand tersebut tak berasal. Hanya berselang beberapa detik setelah rasa takut itu datang, secepat itu pula rasa tak mengenakan itu menghilang begitu melihat gelengan yang diberikan oleh gadis cantik nan mungil tersebut.
Armand ingin berteriak. Menyuarakan rasa senang yang kini membuncah dalam dada. Akan tetapi, saat teringat mereka sekarang berada di tempat umum, Armand tak ingin menjadi tontonan dan dianggap tak waras oleh banyaknya pengunjung yang datang.
Jadilah Armand menahan diri. Namun senyum senang tak dapat pria matang itu tahan saat menanyakan, "Apa alasanmu mau menikah dengan saya, Nis?"
Sejenak Nissa kembali terdiam. Baru beberapa detik setelahnya gadis cantik itu menjawab, "Jujur, saya nggak ngerti apa itu cinta, Juragan. Jadinya saya nggak mungkin bilang cinta padahal saya sendiri nggak tau artinya apa."
Armand mengangguk mengerti. Ia juga menyadari jika terlalu awal baginya bila mengharapkan adanya kata cinta yang keluar dari bibir gadis itu. Jawaban yang Nissa berikan juga bisa Armand terima. Tak ada gunanya memaksa bila gadis mungil itu sendiri tak mengerti mengenai makna cinta yang sesungguhnya.
Pelan-pelan saja...
Kalimat yang muncul di kepalanya itu diangguki Armand sebagai persetujuan. Ia memang harus secara perlahan mengajarkan Nissa untuk sepenuhnya mencintainya.
"Lalu?" tanya Armand yang ingin memastikan akan apa yang Nissa rasakan.
"Saya memikirkan masa depan saya. Bila menikah dengan Juragan bisa membuat saya nggak perlu mengkhawatirkan apapun, nggak ada alasan bagi saya untuk menolak. Anak yang nggak jelas siapa ayahnya seperti saya ini, sudah syukur masih ada yang mau menikahi saya."
Jawaban yang sangat realistis.
Armand mengagumi pemikiran Nissa yang tak ingin bermanis-manis di depan saja. Justru jawaban Nissa yang apa adanya itu lah yang semakin membuat Armand kagum padanya.
Tetapi, rasa kagum Armand bertambah menjadi rasa cinta yang sulit dibendung saat kembali mendengar isi hati Nissa yang ternyata belum sepenuhnya dikeluarkan.
"Saya juga nggak bisa bohong kalau saat berada di dekat juragan seperti ini, saya merasa sangat aman. Ruang-ruang kosong di hati saya terasa penuh hanya dengan mendapat sedikit perhatian dari Juragan. Sampai-sampai jantung saya berdebar kencang, yang saya nggak tau apa artinya."
Bolehkah Armand memeluk gadis berbahaya itu sekarang juga? Mencium atau bahkan mengecup sekilas bibirnya yang merah alami. Meski setelahnya mungkin saja ditampar, Armand tak akan mempermasalahkannya.
Sungguh, si mungil adalah gadis yang sangat berbahaya. Tak hanya membuat jantungnya berdetak tak karuan, Armand malah takut dirinya akan mati saat ini juga hanya dikarena mendengar jantung si mungil berdebar kencang saat berdekatan dengannya.
Ahh... begini rasanya jatuh cinta lagi setelah dihantui trauma akan kegagalan pernikahan sebelumnya. Sampai-sampai Armand bisa merasakan kedua sudut bibirnya terus tertarik membentuk senyuman.
"Nenek nanti ikut kita ke kota nggak, Juragan?"
Armand mengerjapkan matanya. Nada suara Nissa yang terasa dipenuhi kekhawatiran membuat Armand ingin sekali mengelus puncak kepala gadis itu untuk menenangkan.
"Saya udah coba bujuk ibu, tapi beliau nggak mau. Katanya ibu nggak mau tinggal jauh dari rumah yang banyak kenangan mendiang ayah di sana." tutur Armand menjawab pertanyaan gadis yang menatapnya dengan tatapan khawatir itu.
"Tapi... "
"Kamu tenang aja, soalnya nanti Lala yang ikut kita ke kota. Sesuai janji, kami memberikan jeda baginya bersantai setelah tamat SMA, dan setelahnya dia akan melanjutkan kuliah. Jadi kamu nggak akan kesepian di sana." ucap Armand mencoba menenangkan kekhawatiran calon istrinya itu.
Ais... hanya dengan menyebutkan kata calon istri saja sudah membuat Armand sesenang ini.
"Lalu Nenek gimana nanti? Beliau nggak punya teman yang bisa ngawasin sekaligus nemanin beliau di rumah."
"Untuk masalah itu, kamu tenang aja. Saya sudah meminta orang untuk menggantikan perannya Lala di rumah. Orang itu nggak hanya bisa menjadi teman buat ibu supaya nggak kesepian, dia juga akan selalu memantau kesehatan ibu nanti."
Usai mendengar jawaban yang melegakan tersebut, perlahan kekhawatiran Nissa pun berkurang. Lalu, tiba-tiba saja gadis bertubuh mungil itu tertunduk malu saat merasakan ujung jari kelingkingnya disentuh.
Rasa berdebar itu Nissa rasakan lagi. Hingga membuat pipinya bersemu tanpa ia itu sadari.
*****
Pada saat pasangan yang di depan saling lirik-lirikan dan senyum malu terus terpatri di bibir, maka yang ada di belakang lain lagi.
Jika Fandy terus mengoceh dengan niat untuk menggoda gadis yang berada di sampingnya, maka Lala tak henti-hentinya menghela napas panjang guna menyabarkan diri. Selain terus membisu, gadis yang selalu berpenampilan tomboy itu kerap memutar mata karena bosan mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang berjalan di sebelah kirinya.
"Eh La, udah segede ini kok masih belum punya pacar sih? Apa karena kamu terlalu galak ya, makanya nggak ada yang berani dekatin kamu."
"Sayang loh, La, mukamu cantik begitu, tapi belum pernah ngerasain yang namanya punya pacar."
"Punya pacar itu banyak manfaatnya kok. Selain bisa temanin jalan-jalan sama bayarin belanjaan, pacar juga bisa ngajarin ciuman. Nggak cuma ciuman aja, bisa juga sambil remes-remes sana sin... "
"Bang Fandy udah tau belum, rasanya disumpal mulutnya pakai sepatu." Lala akhirnya tak tahan mendengar pria di sampingnya itu terus mengatakan hal-hal yang semakin menggerus habis kesabarannya. "Kebetulan sepatu saya udah dua minggu nggak dicuci, pasti rasanya bakalan mantep banget kalau masuk ke dalam mulutnya bang Fandy."
Seketika Fandy mengangkat kedua tangan. Layaknya prajurit yang hendak menyerah kepada pasukan musuh, gestur Fandy tersebut persis sama seperti itu. Tapi, sikap yang ditunjukkan Fandy malah tak sebanding dengan ekspresi serta senyum di wajahnya.
"Akhirnya dia ngomong juga. Nggak sia-sia nih mulut ngoceh mulu dari tadi."
Fandy bersorak senang dalam hati. Namun, bayangan pada saat Lala menonjok hidungnya hingga berdarah dikarenakan Fandy dengan lancang mengatakan 'pasti nikmat kalau bisa nyium bibir kamu, La' terbayang di pelupuk mata, Fandy segera mengatup rapat bibirnya.
Bisa gawat kalau sampai gadis galak nan judes itu kembali melayangkan bogem mentah ke arahnya. Bisa saja kali ini bibirnya yang berdarah karena tak dapat membalas pukulan gadis itu.
Bukan, bukannya Fandy tak dapat membalas. Hanya saja pantang baginya berlaku kasar kepada seorang wanita.
Karena prinsip Fandy, wanita itu harus selalu diperlakukan dengan lembut. Tidak hanya dalam tindakan sehari-hari, tapi juga pada sedang saling berbug*l ria di atas ranjang.
Khususnya Lala. Biar pun galak dan judesnya minta ampun, tapi gadis itu masih suci. Polos bagaikan kertas putih bila berhubungan dengan yang namanya lawan jenis. Dan karena sikap Lala yang selalu tak pernah ramah padanya itulah, Fandy semakin merasa tertantang dibuatnya.
"La."
"Apa manggil-manggil?"
Judes banget ya, Tuhan...
Fandy meringis dalam hati. Mana gadis di sampingnya itu tidak pernah mau menoleh ke arahnya lagi, membikin Fandy jadi gondok sendiri jadinya.
"Jangan galak-galak dong, La." Fandy merengek bagaikan anak kecil. Sengaja itu ia lakukan karena suka sekali menggoda gadis galak itu. "Aku 'kan cuma mau nanya, bukannya mau minjam uang sama kamu."
"Ya udah, cepat tanya. Abis itu diam dan nggak usah banyak ngoceh yang nggak penting lagi."
Senyum Fandy terkulum tipis. Mendapati Lala makin tak ingin berlama-lama dengannya, Fandy malah ingin semakin membuat gadis itu mengoceh panjang lebar. "Menurutmu, diantara kami bertiga yang masih belum ketemu jodoh, siapa yang paling mendekati kriteria calon suami yang kamu cari?"
Lala memutar kedua matanya malas. Pertanyaan tak berbobot itu benar-benar membuatnya kesal saja. Namun, karena tak ingin pria di samping kembali mengocehkan hal yang tak jelas, Lala akhirnya menjawab, "Bang Faris."
"Kok bisa Faris? Kenapa aku sama Daffa nggak diperhitungkan?"
"Bang Faris itu suamiable banget. Mandang muka dia tuh bikin adem. Punya suami kayak bang Faris tuh dijamin nggak bakalan sakit ati. Kalau bang Daffa, dia baik, cuma sayangnya terlalu kaya. Takutnya pas aku baru nginjakkin kaki di halaman rumah orang tuanya, aku udah keburu diusir karena aku nggak memenuhi kriteria keluarganya dalam memilih menantu. Sedangkan buat bang Fandy, jawabannya singkat aja."
"Apa?"
"Aku nggak mau punya suami tukang nyelup sana sini. Geli tau rasanya, ngebayangin 'burung' abang yang udah nyelup entah berapa banyak 'lubang'."
Fandy sempat terdiam selama beberapa detik usai mendengar jawaban dari Lala tersebut.
Rasanya seperti terkena tamparan dari tangan tak kasat mata hanya karena mendengar jawaban yang terlalu jujur itu. Malahan bisa dibilang SANGAT JUJUR!
Tapi Fandy tetap lah Fandy. Secepat rasa tak mengenakan itu datang, secepat itu pula ia bisa menyingkirkannya. Senyum cerah terbit di bibir saat pria itu kembali berkata, "Yaaa... aku patah hati nih, La. Masak belum mulai pendekatan, akunya udah ditolak sih?"
"Bagus kalau abang nyadar sekarang." ucap Lala yang lagi-lagi tak berniat menatap lawan bicaranya. "Aku kasih tau ya, Bang, nggak ada perempuan baik-baik yang mau bersuamikan laki-laki yang suka nenggelamin kepala di selangkan*n perempuan. Kalau pun ada, besar kemungkinan perempuan itu lebih tertarik dengan uang daripada laki-laki itu sendiri."
Jlebb...
"Kok rasanya nyesek ya?"
Saking nyeseknya, Fandy bahkan sampai tak sanggup berkata-kata. Menelan ludah pun susah.
"Dasar gadis galak bin judes. Awas aja ya kamu, La. Aku bikin kamu klepek-klepek nanti."
Fandy mendengus kesal. Tak bisa mengatakan apapun lagi, Fandy akhirnya mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Kemudian, rasa kesalnya semakin bertambah berkali-kali lipat begitu melihat pasangan yang berjalan di depannya itu tampak saling lirik bak remaja yang baru mau pedekate.