"Apa-apaan nih!" Sandra berkacak pinggang. Melihat selembar cek dilempar ke arahnya, seketika Sandra yang masih berbalut selimut, bangkit dan menghampiri Pria dihadapannya dan, PLAK! "Kamu!" "Bangsat! Lo pikir setelah Perkutut Lo Muntah di dalem, terus Lo bisa bayar Gue, gitu?" "Ya terus, Lo mau Gue nikahin? Ngarep!" "Cuih! Ngaca Brother! Lo itu gak ada apa-apanya!" "Yakin?" "Yakinlah!" "Terus semalam yang minta lagi siapa?" "Enak aja! Yang ada Lo tuh yang ketagihan Apem Gue!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Jadi Kalian mau pulang? Padahal Opa masih kangen, Kamu disini saja Sandra biar Vano pulang sendiri."
Opa Narendra senang sekali meledek Cucunya, Revano yang sejak tadi misuh-misuh karena Sandra didominasi oleh Opanya sendiri.
"Mana bisa begitu Opa. Sandra ini Istriku."
Sandra menepuk pelan punggung tangan Opa Narendra, membalas genggaman tangan hangat Opa yang sejak tadi menggenggam dengan sepenuh hati.
Bersama Opa Narendra, Sandra bisa kembali merasakan kasih sayang orang tua sekaligus seorang Kakek.
"Nanti Sandra akan sering jenguk Opa ya. Sandra janji."
"Iya Sayang. Terima kasih ya. Kamu memang Cucu Kesayangan Opa."
"Astaga! Opa mendrama lagi!" Revano memutar bola matanya.
Keduanya pulang setelah berpamitan dengan Opa Narendra.
"Kenapa? Diem aja?" Revano melirik sekilas pada Sandra.
Wajah sendu Sandra terlihat jelas meski tak tahu apa penyebabnya.
"Gapapa. Sudah fokus saja menyetir. Nanti Kita nabrak lagi!"
"Judes amat!"
Revano memperhatikan sejak tadi, setelah pulang dari Mansion Opa Narendra ada yang berbeda dari Sandra.
Revano menatap Sandra dari samping, mencoba menangkap bayang-bayang beban yang menyelimuti wajahnya.
Matanya yang tajam menangkap kerutan halus di dahi Sandra, tanda jelas bahwa pikirannya sedang berkutat dengan sesuatu yang berat.
Mungkin tentang Papa Armando, ayahnya yang kini terbaring koma tanpa kesadaran, atau mungkin tentang kedua ibu tirinya dan saudara tiri yang selalu menjadi sumber masalah dalam keluarganya.
Namun, Revano memilih diam, hanya melirik sekilas tanpa mengusik keheningan yang mengelilingi Sandra. Ia tahu, ada saatnya kata-kata hanya akan menambah beban, bukan meringankannya.
"Antar Aku ke Rumah Sakit. Aku ingin melihat Papa."
Tak banyak berbicara, Revano segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit tempat Papa Mertuanya sedang terbaring Koma.
Sandra berdiri terpaku di depan kaca ruang ICU, matanya merah sembab menatap sosok Papa Armando yang terbaring lemah di balik pintu.
Selang dan alat medis yang melekat di tubuh ayahnya seolah menjadi penghalang antara harapan dan kenyataan pahit yang mereka hadapi.
Setiap tarikan napas Papa yang terpantau dari monitor membuat dada Sandra sesak, seolah ikut merasakan setiap kesakitan yang dirasakan pria tua itu. "Pa, kapan Papa siuman? Sandra kangen," lirih suaranya, penuh harap dan getir. Kata-katanya nyaris tenggelam dalam sunyi ruang ICU, tapi menggema kuat di dalam hati Revano. Revano berdiri di samping Sandra, menyembunyikan rasa perih dan gelisahnya di balik wajah tenang.
Ia tahu betapa dalam luka yang dirasakan istrinya, melihat sosok ayah yang selama ini menjadi sandaran kini rapuh dan terkungkung oleh ketidakpastian.
Tatapannya beralih dari alat monitor ke wajah Sandra yang penuh kesedihan, hatinya teriris mendengar desahan lirih itu.
Namun, ia hanya mampu menggenggam tangan istrinya erat, berharap kehangatan itu mampu sedikit menguatkan mereka berdua di tengah badai ini.
"San, Kita pulang dulu yuk. Kamu butuh istirahat." Sejak sampai di rumah sakit, tal sedetik pun Sandra bergeser terus memandangi Papa Armando berharap keajaiban datang dan Papa Armando siuman.
"Mas kalau mau istirahat, pulang saja. Biar Aku disini. Aku mau temani Papa."
Revano duduk disisi Sandra, mengusap lembut surai lndah milik Sandra.
Sandra dengan penuh harap dan ketegaran, meski matanya merah dan lelah setelah berjam-jam menunggu di rumah sakit.
Sejak Papa Armando terbaring tak sadarkan diri, Sandra memang sadar, matanya terpaku pada sosok pria yang selama ini menjadi pelindung dan panutannya.
Meski pernah Ia abai karena tak menyukai Ibu Tiri dan Anak Tiri Papanya yang kala itu begitu dekat dan terlalu mendominasi.
Tatapan Sandra dipenuhi doa dan rindu, berharap keajaiban kecil muncul dan Papa bisa membuka mata lagi.
Revano, yang duduk di sampingnya, memperhatikan ketegangan yang menyelimuti Sandra. Ia tahu betapa dalam luka itu, dan tanpa banyak kata, tangannya perlahan mengusap surai lembut rambut Sandra, mencoba memberikan kenyamanan yang tak mudah diungkapkan dengan kata.
Suaranya lembut saat kembali menawarkan, “San, kita pulang dulu yuk. Kamu butuh istirahat. Papa pasti gak mau Kamu sakit."
Namun Sandra tetap diam, seolah seluruh jiwanya tertambat pada harapan yang belum juga datang. Revano menghela napas, memahami betapa berat beban itu, dan memilih tetap mendampingi tanpa memaksa.
Sandra mengangkat ponselnya yang bergetar di sakunya.
Suara berat Om Seno mengalir menyampaikan kabar tentang pertemuan penting dengan para pemegang saham yang akan digelar esok hari.
Om Seno menegaskan bahwa Sandra dan Revano wajib hadir, menandai betapa seriusnya situasi perusahaan saat ini.
Namun, yang membuat Sandra menghela napas panjang adalah kabar yang tak kalah rumit: ibu tiri dan saudara tirinya tengah berurusan dengan kantor polisi.
Sesuatu yang selalu ia coba hindari, tapi entah mengapa masalah mereka selalu mengikuti seperti bayangan gelap yang sulit diusir.Setelah menutup telepon, Sandra memutar tubuhnya dan menatap Revano yang masih berada disampingnya.
Matanya menyiratkan kelelahan sekaligus kekhawatiran yang dalam. Ia mencoba menyembunyikan rasa gusar itu, tapi suaranya tetap sedikit berat tak jelas.
“Ada apa? Ada kabar dari Om Seno soal kantor?”
Hanya sebuah anggukan yang Sandra berikan. Revano memeriksa ponsel miliknya. Rupanya Om Seno juga mengirimkan pesan perihal rapat besok.
"Kita akan hadapi sama-sama. Kamu jangan khawatir. Ada Aku disini."
Sementara di kantor polisi, Andri sudah dimasukan sel. Sedangkan Aisyah sedang bernegoisasi dengan Polisi.
"Kalian ini tidak tahu A Corp? Saya Istri dari Armando. Kalian kenal kan Siapa Armando? Dia pengusaha besar dan sangat berpengaruh di negeri ini. Kalian jangan asal menjebloskan anakku dibalik jeruji besi! Saya akan hubungi pengacara Kami!"
"Silahkan. Jika memang pengacara Ibu akan datang. Tapi satu hal perbuatan anak ibu, sudah melanggar aturan lalu lintas. Mabuk-mabukan sambil mengemudi dan menerjang rambu lalu lintas serta hampir saja mencelakai orang dan sedang melintas di tempat penyebrangan jalan."
Aisyah masih saja merasa bahwa Ia masih memiliki kuasa atas status Istri seorang Armando tapi lupa dengan apa yang sudah diperbuatnya.
"Seno, akhirnya," Aisyah tersenyum. Kemunculan Om Seno di kantor polisi membawa sedikit harapan.
"Benarkan Mereka masih menganggapku Istri dari Armando, buktinya Seno masih mau datang dan mengurus Andri disini."
Kedatangan Om Seno bukan akan membebaskan Andri justri dengan langkah tegap tanpa memperdulikan Aisyah yang mulai jumawa, Om Seno segera menghadap kepala polisi dan dengan tegas dan membuat syok Aisyah dan Andri.
"Anda serius Tuan Seno?"
"Iya. Saya selaku perwakilan dari Nona Angelina Casandra sengaja datang kesini bahwa apapun yang berkaitan dengan Andri dan Ibunya sudah tak lagi berurusan dengan A Crop. Apalagi, status Ibu Aisyah yang kini dalam proses perceraian dengan Tuan Armando. Jadi jangan hubungi pihak Kami untuk urusan keduanya."
Setelah bersalaman dan sepakat, Om Seno segera pergi, namun langkahnya dihalangi Aisyah.
"Kau berani Seno! Dasar kacung tak berguna!"
Senyum smirk Om Seno, "Jangan pernah berani menatapku dengan wajah sampahmu itu, wanita murahan!"
Aisyah tak percaya. Dalam keadaan masih syok, sambil menatap nyalang langkah Om Seno yang dengan cepat meninggalkan kantor polisi.