Seorang anak laki-laki kala itu masih berusia 10 tahun, tidak di kenal oleh siapapun karena identitasnya telah di sembunyikan oleh sang Ibu.
Suatu hari sang lelaki itu harus menerima kehidupan yang pahit, karena sang Ibu harus di bunuh, namun sayang dia tidak dapat menolongnya, sialnya lagi dia harus mengikuti keinginan sang Ibu yaitu bersembunyi di suatu tempat agar bisa menjaga sang adik dan membalaskan dendam sang Ibu, dan juga bisa mengambil alih apa yang telah menjadi haknya.
Dan saat tiba di sebuah tempat di mana dana Dan naya di selamatkan, Dana menemukan seorang wanita yang menarik hatinya, namun sayang ketika dewasa, dia harus meninggalkan wanita itu untuk merebut perusahaan dan berpura-pura mencintai wanita lain, yaitu anak dari pembunuh Ibunya sekaligus yang telah merebut perusahaannya.
Bagaimana cerita cintanya dan apakah Dana mampu setia?, lalu apa yang terjadi dengan perusahaannya ketika Dana hadir di perusahaan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dira.aza07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 ~ Suasana Rumah Jaenudin
Setelah pengurusan jenazah selesai, Jae menghampiri Dana dan Naya, lalu mereka di bawa oleh Jae sang satpam ke sebuah tempat, di mana dia tinggal, perjalanan jauh dan hanya dengan menggunakan motor butut.
Naya dalam benaknya penuh pertanyaan, namun dia diam seribu bahasa di karenakan ucapan sang kaka untuk tidak banyak bertanya hingga mereka mendapatkan tempat yang aman.
Sedangkan Dana dia hanya mengikuti ke mana Jae membawanya, dia yakin jika Jae adalah orang yang dapat di percaya, karena dia melihat bagaimana Sang Ibu begitu percaya dengan menitipkan mereka kepada Jae.
Tiba-tiba mereka memasuki sebuah gerbang usang terlihat seakan itu tempat tanpa berpenghuni.
Ketika gerbang itu terbuka, Mata Dana juga Naya seketika berbinar, ternyata ini bukanlah sebuah rumah kecil yang kotor dan hanya Jae yang menempatinya.
Namun di sana ada begitu banyak rumah dan penduduk yang mendiaminya, dengan tumbuhan hijau, danau juga pegunungan yang menenangkan hati mereka, jauh dari yang mereka sangka bahkan jauh berbeda dengan perkotaan yang selama ini mereka tinggali.
Ya bisa di katakan perkampungan asri dan tersembunyi di balik hiruk pikuknya perkotaan.
Bukan tempat wisata seperti banyak kita ketahui dengan alam segar menyejukkan, namun ini benar-benar keindahan tersembunyi di tengah perkotaan.
"Masuklah nak Dana, nak Naya," ujar Jae setibanya mereka di rumah Jae di mana rumah jae berada di sebuah lingkungan yang sama sekali tidak dapat mereka kira.
Saking asiknya, Dana maupun Naya tidak mendengar ajakan dari jae, bahkan jangankan suara dari Jae, motor berhenti tepat di sebuah rumah sederhana yang asri bak di sebuah dongeng pun mereka tidak menyadari sama sekali.
"Nak ... ayo masuk, hari sudah sore, sedangkan kalian dari tadi belum makan apapun," ajak Jaenudin kembali.
Dengan serentak mereka pun melirik ke arah Jae yang ternyata jae sudah menunggu mereka untuk segera turun.
"Oh maafkan kami Pak, saya kira belum sampai," ujar Dana sambil turun dari atas motor.
"Ayo Dek turun, kaka gendong," ucap Dana kepada Nayara yang berselisih 3 tahun.
"Ka ... di mana kita?" tanya Nayara yang sedang di gendong kakanya saat turun dari motor.
"Ini rumah Bapak Jae, paman kita," jelas Dana.
Mereka pun memasuki rumah yang sangat sederhana namun begitu nyaman dan bersih jauh dari ekspektasi dari awal mereka memasuki sebuah gerbang kecil tadi.
"Bapak ...," teriak seorang anak kecil seumuran dengan Nayara, membuat langkah Dana dan Naya pun terhenti.
"Halo sayang," jawab Jaenudin sambil memeluk sang anak yang berlari menghampirinya.
Namun pelukan sang anak perempuan itu terhenti tatkala melihat Naya dan Dana.
"Siapa mereka Pak?" tanya Jaylani dengan tangan menunjuk ke arah Dana dan Naya.
"Mereka saudaramu, mereka datang dari kota, mulai sekarang mereka tinggal bersama kita," ujar Jae menjelaskan.
"Asik Lani punya teman," ujar Lani senang sambil berlari memutari seisi rumahnya, yang langkahnya di ikuti oleh Jaenudin, Naya juga Dana.
Jae pun menjelaskan di mana mereka tidur dan lain sebagainya bagaimana seorang tuan rumah menunjukkan bagian dari isi rumah mereka.
Tak luput jae pun meminta maaf akan segala kekurangan yang tidak dapat dia berikan tidak layaknya ibu dari mereka.
Meski Dana dan Naya identitas di sembunyikan namun mereka tidak pernah kekurangan apapun dari sang Ibu, bahkan alat canggih yang tidak di jual di umum pun mereka dapat memilikinya.
Kepintaran sang Ibu tidak dapat di pungkiri karena teknologi canggih telah berada di tangan mereka dan tidak terkalahkan oleh teknologi lain seiring dengan waktu.
Namun keadaan dia harus menyerah di karenakan tidak ada lagi yang bisa membantu untuk melawan sang musuh, dan akibatnya sang anak sebagai penerus akan ikut menyusul mereka semua.
Oleh sebab itulah kenapa Naya dan Dana identitasnya di sembunyikan oleh sang Ibu, agar mereka tetap aman hingga waktupun tiba.
Mereka pun tidak hanya di tinggalkan alat canggih namun uang yang di pegang dana bisa di pergunakan untuk kebutuhan mereka hingga mereka besar bahkan tak terhingga jumlahnya, dan tidak dapat terdeteksi sedikitpun oleh pemilik bank ataupun teknologi secanggih apapun.
Dana diam di sebuah sofa sederhana dalam rumah tersebut. Lalu Jae membawa sepiring nasi kehadapan Dana, namun Jae mengerutkan keningnya tatkala melihat Dana terlihat diam tanpa berkedip, seakan otaknya begitu sibuk hingga tidak menyadari kedatangan Jae juga istrinya.
"Nak ... apa yang sedang kau pikirkan?" sapa Jae dengan lembut memegang tangan Dana.
"Eh Pak, tidak ada," ucap Dana menutupi. Sungguh dana tidak dapat melupakan bayangan saat Ibunya di tembak mati oleh seseorang itu. Rasa amarah, kesal, dendam dan lain sebagainya, ingin segera dia tuntaskan, namun dia sadar, dia hanya anak berusia 10 tahun yang tidak dapat bertindak apapun.
Dana hanya dapat menghela nafasnya, mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.
Beruntung Dana adalah seorang pria yang pintar dan juga dapat berpikir panjang untuk melakukan tindakan apapun, hingga dia dapat menahan diri untuk melakukan sesuatu pada saat emosi. Jiwa kepemimpinan sudah tertanam semenjak dini oleh didikan sang Ibu.
Namun Jae dan istrinya yang bernama Yuni memahami akan kondisi Dana. Mereka pun tidak bertanya jauh, namun mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbicara sambil memberikan sepiring nasi untuk Dana.
Sekecil ini kamu harus memiliki beban tinggi nak, aku doakan semoga kelak kamu bisa mengambil apa yang menjadi hakmu, dan kamu menjadi pria yang kuat dalam menghadapi semua ini. Batin Jae mendoakan.
Saat selesai makan, tiba-tiba Naya menghampiri Dana, "Ka ... kapan kita pulang?, dan ke mana Ibu?" tanya Naya yang begitu polos.
Dana yang mendengar itu pun melirik ke arah Jae juga Yuni, namun Dana yang usianya baru menginjak 10 tahun itupun, bersikap cukup dewasa dia tersenyum lalu mengusap kepala adiknya.
"Kita tidak akan tinggal lagi bersama Ibu, karena Ibu sudah tiada, sekarang merekalah orang tua kita, Naya harus bisa bersikap baik, menjadi anak penurut yang bisa membanggakan kedua orang tua kita ya," ucap Dana bijak.
"Kakak bohong, Naya tidak percaya," Naya marah sambil menyingkirkan tangan Dana dengan kasar dari kepalanya. Lalu berlari menghampiri Lani.
Dana hanya menghela nafas akan sikap adiknya, dan membiarkan adiknya untuk menenangkan diri.
Sungguh Dana merasakan berat, bukan dari seorang anak yang konglomerat menjadi miskin, namun tanggung jawab yang di embannya begitu berat. Baik menjaga juga mendidik adiknya, juga untuk mengambil alih perusahaan itulah yang paling terberat dalam hidupnya.
Namun bukan Dana jika dia harus berhenti di titik ini, Dana tidak akan pernah menyerah untuk kembali merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Jae dan Yuni hanya bisa terdiam, mereka tidak tahu harus berbuat apa, yang ada mereka ikut bersedih atas meninggalnya orang yang begitu baik yang selalu ada untuk mereka, kini mereka harus membesarkan anak-anaknya dengan cara mereka yang jelas berbeda dengan cara Cantika membesarkannya.
Bersambung ...