‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07 : Jangan berharap muluk-muluk
"Bodat (Monyet) mana yang melecehkan mu? Katakan padaku, Yu!!” Nelli terlihat murka, wajahnya memerah.
"Ayo masuk ke dalam. Jangan bahas disini, sebab dinding pun terkadang punya telinga.” Pak Jefri memungut kerak nasi yang jatuh, lalu masuk ke dalam rumah.
Bu Warni di tuntun oleh sahabatnya. Nelli sendiri mengangkat empat kresek plastik berisi buah jeruk Berastagi tagi, Terong Belanda, Mangga udang, dan syal bertuliskan Berastagi.
Keluarga pak Jefri sudah dua minggu cuti kerja, mereka mengunjungi rumah ibunya Mak Rita – yang tengah sakit, dan baru saja sampai di perkebunan swasta sekitar tiga jam lalu. Karenanya tidak tahu menahu soal pernikahan Dahayu.
Disinilah para orang yang tidak ada hubungan darah, tetapi keeratannya melebihi saudara kandung, terutama bagi Dahayu.
Dahayu memeluk lututnya sendiri – hal biasa yang dia lakukan bila tengah sedih. Mantra ampuh agar tidak merasa sendirian.
Helaan napas istri kedua Amran Tabarik – terdengar kasar sarat akan beban berat. Dia bercerita dari awal hingga akhir, tanpa ada lagi linangan air mata, cuma tatapan kosong. Tak pula terlihat raut meminta dikasihani, seolah dirinya sudah ikhlas akan jalannya takdir ini.
Sepanjang Dahayu berkisah – lelehan air mata Mak Rita terus mengucur, tangannya tak berhenti menarik serabut putih buah jeruk lalu memberikan kepada bu Warni.
Sementara Nelli berkali-kali mendongak menatap atap demi mencegah air mata tumpah ruah. Dia paham bila sang sahabat anti dikasihani.
Pada ruangan yang langsung bertemu dengan dapur sederhana itu, sesaat hanya ada kesunyian, serta suara kecap bu Warni mengunyah buah jeruk.
“Nak ….”
Dahayu menengadah menatap tanpa binar pada sosok yang ia segani.
Pak Jefri bersila di lantai keramik putih tanpa adanya alas tikar apalagi karpet.
“Ayah takkan bertanya apa kau yakin atau tidak dengan keputusan yang telah dirimu ambil. Sebab, setiap tindakan memiliki sebab akibatnya. Sama seperti hal ini – kau rela berkorban demi kebebasan ibumu, agar dia bisa mendapatkan penanganan medis tidak cuma sekedar mengkonsumsi obat epilepsi, tetapi juga melakukan terapi supaya depresinya berkurang, atas izin Allah – semoga sembuh total.”
“Namun, Ayah sarankan – mulai sekarang bangunlah pertahankan diri agar kelak saatnya tiba, dan kau meninggalkan _” ia berhenti sejenak guna menarik napas panjang. Sungguh berat kata-kata yang ingin diutarakan.
Dahayu kesulitan menelan air liur, tenggorokannya tercekat dan hidung berasa masam.
“Ayu … mau bagaimanapun kita mencoba mengalihkan, menolak, melupakan, berharap, tetap saja hal berat itu pasti akan menghampiri. Perjanjian yang dilakukan Bandi dengan suami istri itu berkekuatan hukum. Saran Ayah jangan berharap muluk-muluk agar nantinya hatimu tak hancur lebur!" peringat pak Jefri.
"Cukup jaga kandungan, rawat si janin, berikan yang terbaik, supaya dia terlahir sehat – bila memiliki kesempatan, berikan dia ASI. Setidaknya bayi itu pernah merasakan minuman paling sehat dari ibu kandungnya,” sambungnya dengan mata berembun.
Pecah sudah tangis Nelli, dia mendekap erat tubuh sahabatnya. “Rasanya aku ingin protes. Mengapa cobaan hidupmu berat sekali, kenapa tidak si Fiya mentel (centil) itu saja yang dihukum. Biar mamaknya merasakan kesakitan yang dia berikan kepadamu dan Ibuk kita.”
Bu Warni ikut menangis, entah dia paham akan apa yang sedang menimpa sang putri, atau merasa ketakutan layaknya anak kecil melihat orang dewasa bersedih.
“Tak apa-apa. Anak-anak kita cuma bermain, berlomba-lomba siapa yang paling banyak menampung air mata.” Mak Rita menepuk-nepuk punggung sang sahabat yang bersandar pada bahunya.
“Aku tak apa-apa, sungguh!” Ia melerai pelukannya, menatap dengan linangan air mata.
“Keputusan ini aku ambil dengan keadaan sadar. Lagipula kapanlagi memiliki kesempatan emas seperti ini. Karena keadaan mental Ibuk yang terganggu – dia tak bisa mengajukan perceraian, dan si Bandi memanfaatkan hal itu demi bisa beristri dua dan tetap bekerja tanpa takut dipecat. Jadi, sekaranglah saatnya untuk kami melepaskan belenggu ketidakadilan.”
Ya, peraturan perkebunan swasta sangat jelas. Tidak boleh beristri dua terlebih para jajaran berpangkat. Bila ketahuan maka akan dipecat. Akan tetapi Bandi mendapatkan pengecualian.
Bu Warni tidak mampu melayani sang suami – baik di ranjang, dapur, dan sumur. Maka dari itu, Bandi mendapatkan izin untuk menikah lagi dengan syarat harus berbuat adil.
Faktanya, pria itu condong sebelah. Malah menelantarkan istri pertama dan putri sulungnya. Mengambil hak sembako, biaya khusus diluar kartu kesehatan bu Warni.
Dahayu tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam, menerima. Dikarenakan dia belum menikah dan namanya masih jadi satu dalam kartu keluarga dengan sang ayah. Dia lebih mementingkan perawatan sang ibu, meskipun setiap awal bulan harus menerima caci makian dari ibu tiri demi meminjam kartu kesehatan.
"Kalian tak perlu khawatir. Cuma sembilan bulan saja aku harus menahan, melalui semua ini, setelahnya keadaan kami jauh lebih baik.” Dahayu mundur kebelakang, meraih tangan ibunya, mengecup punggung tangan berurat menonjol.
“Sabar ya, Buk. Tak lama lagi Ibuk pasti sembuh seperti dulu saat Ayu berumur 10 tahun. Nanti banyak hal yang bisa kita lakukan bersama – buat kue, mencari jamur di pohon lapuk, memancing,” kalimatnya terhenti, saat dirasa air matanya hendak menetes lagi.
“Anak Mamak memang hebat kali. Entah esok, lusa, atau kapanpun itu – kebahagiaan pasti menghampirimu, Nak.” Mak Rita mengelus pucuk kepala Dahayu.
Mak Rita, Nelli dan pak Jefri – saksi hidup perjuangan gadis beranjak remaja melakukan apapun yang dia bisa demi menyambung hidup.
Masih teringat jelas. Saat itu umur Dahayu baru sebelas tahun, dia dan ibunya dibawa ke rumah ini oleh Bandi. Kondisi bu Warni sudah seperti sekarang. Sang ayah hanya memberikan selembar uang 50 ribu untuk bertahan sampai batas waktu tak ditentukan.
Mak Rita yang kasihan, dan dia sudah mendengar cerita dari mulut ke mulut. Membantu sebisanya, saat itulah keluarga mereka menjadi layaknya saudara.
Pak Jefri menyayangi Dahayu sama seperti putri kandungnya. Dan menghormati bu Warni, memperlakukan wanita itu layaknya wanita normal, bukan mengidap gangguan mental.
Ya, selain mengidap epilepsi yang disebabkan efek dari stroke dikarenakan terjatuh di kamar mandi. Bu Warni pun mengidap gangguan mental, dia tidak dapat menerima keluarga harmonis nya hancur, dirinya diselingkuhi, dan sang selingkuhan adalah cinta pertama suaminya.
Terlebih kala Bandi mengakui, alasan menikahi bu Warni cuma sekadar pelampiasan agar bisa melupakan sang mantan. Tak ada cinta, hanya menyalurkan nafsu semata.
Dulu saat umur 11 tahunan, bu Warni memiliki riwayat penyakit depresi akut. Dia merasa bersalah karena tidak dapat menolong adiknya yang meninggal setelah tenggelam di sungai.
Setelah menjalani pengobatan tradisional, kondisinya berangsur pulih. Namun, trauma itu tetap ada, mengendap di sanubarinya.
Puncaknya sewaktu sang suami datang kerumah mereka di afdeling 2, dengan membawa seorang wanita, sebelah tangannya menggandeng lengan gadis kecil. Wanita itu adalah Ijem, dia tengah mengandung tiga bulan.
Dari sanalah awal petaka dimulai hingga sekarang kondisi bu Warni belum pulih. Dia kehilangan sebagian memori menyakitkan, dan kembali seperti saat masih hidup bahagia bersama almarhumah adiknya.
"Dahayu, datangi lah rumah Bandi! Tanyakan tentang surat perceraian itu! Jangan sampai kau lagi-lagi dipermainkan oleh mereka!"
"Ayo kutemani! Pengen kali aku laga Kambing dengan si Mentel!"
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍