Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan yang tak Berucap
Zee termenung di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh di sudut halaman sekolah.
Pikirannya dipenuhi berbagai cara agar bisa bertemu Raden lebih cepat, tanpa harus menunggu hingga minggu depan.
Tatapan Zee menyapu area sekolah… hingga berhenti pada satu tempat: asrama khusus siswa laki-laki.
Ia ingin menemuinya, tapi sekolah punya aturan ketat—perempuan dilarang masuk ke area itu, begitu pun sebaliknya.
“Zee…”
Sebuah suara memanggil, membuat Zee menoleh cepat. Ia mengenali suara itu—Raden.
Datang sendiri, pakaiannya santai, tanpa atribut sekolah. Senyum miring muncul di wajah Zee.
Lucu… orang yang sedang ia cari, justru datang menghampiri tanpa dicari.
“Gue boleh duduk di sini?” tanya Raden ragu.
Zee mengangguk pelan dan bergeser, memberi ruang. Kunci dari semua teka-teki ini kini ada di depannya. Tak mungkin ia melewatkan kesempatan.
Raden duduk di sampingnya. Hening mengisi ruang, sampai akhirnya Raden bicara.
“Makasih yah, Zee… lo udah nolongin gue kemarin. Mungkin kalau lo gak dateng, gue udah gak ada di dunia ini…” katanya lirih, menatap lurus ke depan.
Zee menatap datar. “Gue gak suka perundungan,” ucapnya singkat. Namun di balik kata-kata itu, tersembunyi misi yang tak sederhana.
“Oh ya…” lanjutnya, suaranya tetap dingin. “Lo ngelakuin apa ke Bagas sampe dia hajar lo segitunya?”
Pertanyaan itu membuat Raden menunduk, rautnya tiba-tiba muram. Ia menatap langit dengan senyum getir.
“Gue gak suka cara dia ngomongin orang yang gue sayang,” jawabnya lirih.
Zee memperhatikan setiap perubahan di wajah Raden dengan seksama. Ia bisa merasakan sesuatu yang janggal sekaligus mengarah pada kebenaran.
“Bagas bilang apa tentang orang itu?” tanyanya lagi, lebih serius.
Raden sempat diam. Kemudian ia menoleh, menatap mata Zee. “Dia… ngerendahin dia,” ucapnya pelan, tapi cukup membuat wajah Zee berubah.
Zee terpakau sejenak. Ia yakin yang dimaksud Raden tak lain adalah Zia. Dan dalam hati, ia bersyukur Bagas sudah dikeluarkan. Anak sampah seperti itu memang pantas dienyahkan.
“Lo kenapa, Zee?” tanya Raden pelan, menyadari perubahan di wajahnya.
Zee menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. “Gak apa-apa,” sahutnya datar.
Meski heran, Raden tak memaksa. Aura Zee seketika berubah-tajam, dingin dan penuh tekanan.
“Oh ya… orang yang lo sayang itu… kemana? Kalian marahan?” tanya Zee, mencoba menggali lagi, dengan nada tenang.
Raden menunduk. “Dia udah di surga,” jawabnya pelan.
Zee tertegun. “Dia… udah gak ada?” tanyanya memastikan.
Raden mengangguk pelan. “Iya. Dia pergi... ninggalin gue tanpa pamit. Sekarang yang tersisa cuma kenangan.”
Zee menunduk, mencoba menyembunyikan perasaannya. “Gue turut berduka,” ucapnya tulus.
“Thanks…” balas Raden. “Eh, gue denger lo masuk ekskul bahasa?”
Zee mengangguk. “Iya.”
“Gue juga, dong! Berarti kita bakal sering ketemu.”
Zee kembali mengangguk pelan, tetap tanpa banyak bicara.
“Mohon bimbingannya, ya. Gue ikut karena wajib. Kalau gak, udah gue tinggalin dari awal,” katanya dengan nada yang tenang.
Raden mengangguk setuju.
Obrolan mereka berlanjut ringan. Tapi Zee tetap hati-hati, menyusun pertanyaan agar bisa memastikan… apakah benar yang dimaksud Raden itu adalah Zia. Ia percaya, jawabannya akan terungkap perlahan.
••••
Dari kejauhan, tak jauh dari tempat mereka duduk, Rey mengamati dari kejauhan. Tatapannya tajam, penuh selidik, seolah ingin mengapus lapian demi lapisan dari interaksi keduanya. Ada sesuatu yang terasa mengganjal-antara rasa tak nyaman, cemburu, atau dendam yang sudah lama ia pendam.
“Rey…”
Suara itu terdengar pelan dari belakang, familiar dan lembut.
Rey tidak menoleh. Ia tahu persis siapa pemilik suara itu.
“Rey, kenapa kemarin lo gak masuk?” tanya Hera pelan. Wakil ketua osis itu melangkah mendekat, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.
Namun, Rey justru sedikit mundur, menjaga jarak tanpa berkata apa-apa. Sikapnya dingin.
“Itu bukan urusan lo,” ucap Rey akhirnya, singkat dan tajam.
Hera menarik napas dalam, berusaha tetap tenang walau nada tajam Rey menggores perasaannya.
“Rey…” ucapnya lagi, namun terhenti saat Rey mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Hera tidak melanjutkan.
“Lo gak perlu berusaha deketin gue. Ingat tempat lo,” ucap Rey pelan tapi menusuk, sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa menoleh.
Hera terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk. Satu tetes air mata jatuh diam-diam, tanpa ia bisa cegah, tanpa ada yang menyadarinya.