Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lampu Merah
Keduanya kini duduk nyaman didalam mobil. Ebha melaju dengan kecepatan sedang. Disampingnya Merzi sibuk memilah lagu di radio.
Ingat bukan, jika hanya ada Merzi dan Ebha mereka layaknya sepasang kekasih. Ah, sekarang kan mereka benar-benar sejoli.
Setelah mendapatkan lagu yang pas, Merzi mengulurkan tangannya didepan wajah Ebha.
"Ya, Nona?" Bingung Ebha.
"Tangan." Ucap Merzi menunjuk tangan Ebha yang memegang setir dengan lirikan mata.
Dan Ebha membulatkan mulutnya lalu mengulurkan sebelah tangannya pada Merzi. Gadis itu membawa tangannya untuk digenggam sesekali dielus dan dicium.
"Ebha."
"Ya, Nona."
Mobil berhenti didepan lampu merah. Dua manusia itu sejenak saling memandang.
"Apakah Ebha baik-baik saja? Maksud Merzi apakah Ebha nyaman dengan permintaan ayah pada Ebha?"
"Permintaan tuan Oldrich mengenai … yang meminta saya menjadi kekasih anda?" Merzi mengangguk. Dengan senyum tipis melanjutkan, "selama bekerja dengan tuan Oldrich saya selalu merasa nyaman, Nona."
"Bagaimana dengan sikap Merzi?"
"Seperti yang nona lihat sendiri. Bagaimanapun anda bersikap saya akan tidak keberatan sama sekali."
Merzi memandang ke dalam mata Ebha. Disana ada sebuah tekad besar tapi dia tidak tahu apa.
"Merzi jadi ingin mencium Ebha lagi." Katanya kemudian disusul oleh klakson kendaraan dibelakang mereka.
Lampu merah berubah menjadi hijau. Ebha kembali menyetir.
Perkataan ringan tanpa beban itu membuat telinga Ebha memanas. Lelaki itu menggeleng pelan sambil menahan senyum. Apalagi kini tangannya dibawa sang nona mendekati wajahnya untuk dikecup.
"Karena sudah menjadi pacar Merzi dan Ebha menerimanya, kalau begitu jangan panggil Merzi dengan embel-embel nona lagi."
Ebha melirik sekilas. Tangannya kini berpindah tempat. Gadis disebelahnya tanpa berpikir matang meletakkan tangan lebarnya diatas paha kecilnya. Dia menahan diri untuk tidak meremas gemas paha putih Merzi yang tersingkap rok sekolahnya.
"Saya sudah terbiasa dengan panggilan itu. Cukup sulit merubahnya. Tapi jika anda ingin seperti itu maka saya akan mencoba."
Jawaban Ebha sesuai dengan isi pikiran Merzi. Gadis itu tersenyum.
"Beberapa kali Ebha memanggil Merzi dengan nama depan Merzi."
"Yeah. Marjeta." Saat mengucapkan kata itu, untuk sedetik Ebha memberi remasan kecil pada paha Merzi.
Hanya sebentar dan Merzi tidak mengambil pusing. Berpikir mungkin itu adalah gerakan tak sengaja.
Gadis itu terkikik kecil. Merasa geli setiap ada yang memanggilnya Marjeta padahal itu adalah namanya.
"Nona keberatan jika saya panggil demikian?"
"Sedikit. Agak asing ditelinga Merzi, tapi Merzi akan membolehkan Ebha memanggil Merzi seperti itu. Marjeta."
Semua orang tahu bahwa Merzi tak suka jika ada yang memanggilnya dengan nama depannya. Jika ada yang memanggilnya demikian wajah gadis itu akan memberungut dan sangat kesal.
Marjeta artinya mutiara. Maknanya indah tapi pemilik nama itu lebih senang jika nama depan dan nama tengahnya digabung untuk sapaan dirinya. Marjeta Ziti— Merzi.
Seharusnya Marzi, bukan? Tapi si pemilik nama lagi-lagi memutuskan panggilannya sendiri.
Namanya Merzi.
"Tapi ketika didepan orang saya akan tetap memanggil anda dengan nona Merzi."
Perkataan Ebha membuat lamunan Merzi terputus. Alisnya menyatu bingung.
"Kenapa?"
"Karena bagaimanapun anda tetaplah majikan saya, Nona. Tidak pantas bagi saya memanggil anda dengan nama saja."
Merzi menghela napas. Bahunya merosot dan bibirnya melengkung ke bawah. "Padahal sama saja jika didepan orang atau hanya kita berdua saja. Pun semua orang kelak akan tahu jika Ebha adalah pacar Merzi."
Memang benar. Tapi Ebha tetap ingin menghargai Merzi. Dia tidak tahu akan seperti apa hubungan asrama gadis pubertas ini berakhir dengannya. Dengan tetap memanggil Merzi 'nona' setidaknya itu adalah pengingat baginya untuk menjaga sikap.
"Maaf, Nona, tapi hanya itu saja permintaan saya untuk hubungan ini."
Permintaan?
Kepala Merzi sontak menoleh pada Ebha yang ternyata sedang menatap dirinya. Senyum gadis itu muncul dan entah kenapa Ebha merasa ada sesuatu dibalik senyum itu.
"Oke. Deal! Panggil sayang juga pada Merzi." Mulut Ebha terbuka ingin menyela, tapi dengan semangat Merzi melanjutkan dengan merubah mimik wajahnya. "Maaf, Ebha, tapi hanya itu saja permintaan Merzi untuk hubungan ini."
Sial!
Perkataannya diputar balikkan si nona muda yang licik ini.
"…. Oke. Deal." Jawabnya lantas.
Posisi Merzi belum berubah. Tubuhnya condong pada Ebha dan matanya berkedip-kedip. Lengan lelaki itu dipeluknya.
Kepala Ebha menjauh sedikit. Keningnya berkerut. Dia harus tetap fokus pada jalan didepan dan Merzi disampingnya.
"Kalau begitu, mana?"
"A-apa yang mana, Nona?"
"Sayangnya! Panggil Merzi sayang. Sekarang!"
"Hah? O-ohoh! Yeah tentu." Ebha berdehem. Tiba-tiba gugup ditatap begitu intens oleh Merzi. Pelan-pelan dia mengalihkan pandangannya ke depan. Berpura-pura— tidak— harus fokus pada setirnya.
"Ebhaaa? Merzi masih menunggu loh."
Tidak perlu diberi tahu, Mer. Lelaki itu pura-pura tuli.
Napas Ebha berubah berat. Tanpa melirik Merzi dia berucap gugup. "Sa-sayang."
Ugh! Lidahnya begitu kelu. Kini usianya matang. Pada jamannya Ebha memang dijuluki smart playboy di sekolahnya.
Itu dulu. Sebelum dia kuliah dan berakhir bekerja pada keluarga Oldrich.
"Apa? Ebha bilang apa? Merzi tidak mendengarnya." Goda Gadis itu.
Tapi memang suara yang Ebha keluarkan bagai helaan napas. Melebihi kata berbisik. Dan ini pertama kalinya Merzi melihat Ebha begitu gugup dan salah tingkah.
"Sayang."
CIIT!
Kepala Merzi akan membentur dasbor jika Ebha tidak segera menahannya. Tanda gadis itu duga Ebha akan mengerem mendadak dan membuatnya terkejut dengan memejamkan mata erat.
Belum mengerti kenapa Ebha melakukan demikian setelah mengulang kata 'sayang' yang dimintanya.
Mereka akan sampai di rumah sekitar seratus meter lagi tapi Ebha menepikan mobil dipinggir jalan.
Kini berganti Ebha lah memegang tangan Merzi. Mengarahkan gadis itu agar memandang kearahnya.
"Sayang." Ulangnya lagi. Dan dia melihat Merzi menelan ludah perlahan. Wajah gadis itu masih menampilkan keterkejutan. "Satu hal yang harus kamu tahu mulai sekarang, Sayang, bahwa saya juga sulit mengendalikan diri setiap kali kamu melemparkan godaan. Mengerti, Sayangku. Marjeta?"
Mengerjab sekali lalu meneguk ludah lagi, bagai baru diberi sihir Merzi mengangguk.
Terakhir Ebha memberi kecupan kilas dikepala Merzi.
"Maaf membuat anda terkejut."
Dan sikap monoton bodyguard lelaki itu kembali, pun dengan kesadaran Merzi.
Mobil kembali melaju hingga akhirnya keduanya tiba dikediaman Oldrich.
Ebha keluar lebih dulu dan berlari memutari mobil dari depan untuk membukakan pintu Merzi.
Tangannya terulur dan disambut oleh gadis itu. Dia bersiap mundur agar Merzi keluar tapi gerakannya ditahan.
"Apakah ayah dan ibun sudah sampai rumah?"
"Sepertinya belum, Nona. Kenapa?"
"Baiklah. Tidak ada."
Di depan pintu tiga pekerja menyambut dirinya. Bibi Liney, Nana dan Nella.
"Selamat sore, Nona Merzi."
"Selamat sore, Bibi Liney, kak Nana dan kak Nella." Balas gadis itu ikut tersenyum dan menunduk takzim.
Nana dan Nella bergegas mengambil tas dan rompi sekolah Merzi.
"Ah, tidak perlu, Kak. Biar Merzi saja yang membawanya ke kamar."
"Jangan, Nona. Biar kami saja." Balas Nana kembali mendekat tapi Merzi mundur menyembunyikan tasnya.
Ebha memberi kode pada Nana agar menurut dan perempuan itu mengangguk.
"Cemilan apa yang nona inginkan sore ini? Bibi akan menyiapkannya segera." Ujar Bibi Liney mengalihkan suasana.
"Merzi belum memikirkan, Bi."
Bibi Liney mengangguk. "Baiklah. Sepertinya Nona kelelahan. Panggil bibi jika nona memerlukan sesuatu."
"Iya, Bibi. Terima kasih."
Sepasang kekasih yang masih menjadi rahasia itu berlalu.
"Aku heran kenapa mood wanita selalu berubah-ubah?" Celutuk Nella menerawang jauh.
Nana menatap malas temannya. "Kau juga wanita jika kau lupa, Nella. Jawab saja oleh dirimu sendiri."
Bibi Liney hanya menggeleng. "Begitulah wanita. Dan kau Nella. Kau harus mencari pasangan agar mendapatkan jawabannya."
"Apa hubungannya?"
Tapi sayang kebingungannya Nella hanya dia sendiri yang menghadapi karena baik bibi Liney dan Nana pergi dari hadapannya.
Sedangkan dilantai lain, ketika Ebha sudah membukakan pintu kamar untuk Merzi dan gadis itu sudah masuk maka langkah selanjutnya seharusnya adalah Ebha akan menutup pintu dan kembali ke kamarnya.
Tapi tidak untuk sekarang. Tangannya yang memegang gagang pintu dipegang Merzi dan tangannya yang lain ditarik gadis itu. Dengan lambat tapi pasti badannya ikut masuk ke dalam kamar sang nona muda.
Bukan pertama kalinya. Tapi rasanya cukup berbeda dari kemarin— semenjak statusnya bukannya sebagai bodyguard tapi juga kekasih.
KLIK!
Pintu tertutup. Menutup suasana diluar ruangan bernuansa lembut milik gadis kecil yang baru berusia tujuh belas tahun.
Ebha berdiri kaku dihadapan Merzi. Ragu antara memandang sang nona atau memandang lurus ke depan.
"Anda … memerlukan sesuatu, Nona?"
"Ya."
Tuk!
Tas dari punggungnya sengaja dia jatuhkan ke lantai. Hal itu mampu membuat Ebha melihat ke bawah lalu menarik kepalanya untuk menatap Merzi yang melepas sepatunya lalu melangkah ke depan.
Mendekati dirinya.