Satu Satunya Yang Tak Terpilih
Pagi itu, SMA Miharaya tampak seperti sekolah biasa. Suara lonceng menggema, siswa-siswa mengalir ke dalam kelas, beberapa tertawa riang, yang lain masih mengantuk. Namun di sudut sekolah yang paling sunyi, di balik pintu toilet lantai dua, ada kenyataan yang tak pernah tercatat dalam buku tahunan tempat luka yang tak kasat mata menganga setiap hari.
Oiko Mahakara, siswa kelas 11, berdiri membisu menghadap tembok. Tubuhnya sedikit membungkuk, memeluk tasnya erat-erat seperti pelindung semu. Suara langkah kaki menggema masuk.
“Masih di sini rupanya,” suara itu tenang, nyaris terdengar seperti basa-basi. Tapi bagi Oiko, suara itu adalah alarm bahaya.
Veron masuk, wajahnya seperti biasa: santai, percaya diri, tampan, dan penuh kebencian. Di belakangnya ada Zinta, Takamura, dan Daniel. Mereka tertawa kecil seolah sedang menyaksikan acara komedi.
“Hei, Oiko,” kata Veron sambil mendekat. “Katanya kemarin kamu ngomong ke Sina, ya?”
Oiko tidak menjawab. Ia tahu dari pengalaman, membantah hanya memperpanjang siksaan. Namun diam pun seringkali dianggap sebagai tantangan.
“Sok jual mahal?” Zinta menyenggol bahunya dengan kasar. “Gue liat sendiri kok kamu lirik-lirik dia di kantin.”
Takamura menyeringai. “Bahkan mimpi pun lu gak pantas buat deketin cewek kayak Sina.”
Daniel menendang pelan kaki Oiko dari belakang. “Jawab, woy.”
“Aku… cuma jawab salamnya,” suara Oiko nyaris tak terdengar.
Veron tertawa kecil, lalu mendadak meninju dinding tepat di samping kepala Oiko. “Cuma jawab? Siapa yang suruh lu nyaut?!”
Oiko terdiam. Bahunya gemetar.
“Kayaknya anak ini masih belum ngerti posisinya,” ujar Veron, menarik kerah seragam Oiko dan mendorongnya ke dinding.
Zinta membuka botol air mineral dan menyiramkan isinya ke kepala Oiko. Rambutnya lepek, tetesan air menetes ke lantai. “Biar dingin dikit otaknya.”
Takamura menyodorkan spidol permanen. “Yuk, kasih dia tato baru.”
“Jangan,” kata Veron santai. “Kalau ketauan guru susah. Tapi kita bisa... titipin salam dari ‘teman-teman’.”
Ia menarik ponsel dari sakunya, memotret wajah Oiko yang sudah basah dan lemas, lalu menekan tombol kirim.
“Lihat? Sekarang satu sekolah bisa lihat wajah ‘pahlawan tragis’ kita.”
Daniel mendekat dan berbisik di telinga Oiko, “Nanti malam lu bakal trending. Gak sabar liat reaksi anak-anak grup.”
Hampir setiap hari seperti ini. Oiko tidak mengerti mengapa dunia ini begitu kejam padanya. Ia bukan orang yang ingin menonjol. Ia hanya ingin belajar, lulus, hidup tenang. Tapi seperti selalu, yang tenang selalu menjadi target.
Seketika bel masuk berbunyi. Mereka semua bersiap keluar. Veron menatap Oiko sekali lagi, kali ini dengan senyum yang menusuk.
“Lu harusnya bersyukur kami masih ‘peduli’ sama lu.”
Mereka pergi, meninggalkan Oiko sendirian. Basah, kotor, dan patah.
Ia berjalan pelan ke wastafel, menatap wajahnya sendiri di cermin. Rambut acak-acakan. Mata merah. Luka kecil di pipi. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik, melainkan kehampaan di matanya sendiri.
"Kenapa... aku tetap ada di sini?" bisiknya. "Apa gunanya hidup seperti ini?"
Ia menyalakan keran air, membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa dingin dari air itu tak sebanding dengan dingin yang merayap di hatinya.
Langkah kakinya berat saat ia kembali ke kelas. Sepanjang perjalanan di koridor, tak ada satu pun yang menyapa. Beberapa siswa hanya melirik dan tertawa kecil, seolah keberadaannya adalah lelucon buruk.
Sampai akhirnya bel berbunyi tanda pelajaran dimulai.
Namun bagi Oiko, pelajaran sebenarnya baru saja dimulai—pelajaran bahwa dunia bukanlah tempat untuk orang seperti dirinya.
Dan tak ada yang tahu... bahwa dalam diamnya itu, sesuatu perlahan bangkit di dalam dirinya. Sesuatu yang bahkan Oiko sendiri belum menyadari.
Oiko duduk di bangkunya, sudut paling belakang dekat jendela. Tempat yang sepi, nyaris tak tersentuh oleh cahaya, sama seperti dirinya. Suara pelajaran Matematika bergema di kelas, tapi pikirannya mengembara jauh dari rumus-rumus itu.
Guru mengajar seperti biasa. Murid-murid lain sibuk mencoret-coret buku, memainkan ponsel di bawah meja, atau melirik satu sama lain sambil tertawa kecil. Dunia terus berjalan... seolah Oiko bukan bagiannya.
Sina, gadis populer yang disebut-sebut sebelumnya, duduk dua baris di depan. Sekali-sekali ia menoleh ke belakang, seolah ingin memastikan Oiko baik-baik saja. Tapi pandangan itu hanya berlangsung sepersekian detik, lalu kembali menunduk. Bahkan orang baik pun tak bisa terlalu terang di dunia yang penuh bayangan ini.
“Oiko,” suara pelan itu datang dari samping. Seorang gadis berkacamata, Hana, satu-satunya yang kadang mau bicara dengannya.
“Hm?” gumam Oiko lemah.
“Ini… buku yang kamu pinjam minggu lalu.” Ia menyerahkan buku catatan.
“Terima kasih…” jawabnya pelan. Tapi sebelum percakapan bisa berlanjut, suara keras meledak dari depan.
“Oi, Oiko!” Veron berdiri dari kursinya. “Kalau kamu pengen ngobrol, ngobrol aja sama kita. Jangan sok dekat sama cewek.”
Seluruh kelas tertawa. Hana langsung menunduk, wajahnya merah karena malu. Oiko hanya menatap lantai. Tak ada yang membelanya—lagi.
Guru di depan menoleh sebentar, tapi hanya menghela napas. “Veron, duduklah. Lanjutkan pelajaran kalian.”
Kelas kembali seperti semula. Tapi hati Oiko kembali terkoyak.
Waktu bergulir pelan. Jam dinding menunjukkan pukul 12:40. Sudah saatnya istirahat, tapi Oiko tetap duduk di kursinya. Ia terlalu lelah untuk ke kantin. Tak ada yang menunggunya di sana, tak ada yang mencarinya. Lebih baik diam.
Namun tiba-tiba, hawa aneh menyelimuti ruangan.
Seketika udara menjadi berat. Cahaya lampu berkedip pelan, lalu kembali stabil. Angin berembus dari jendela yang seharusnya tertutup rapat.
“Oiko… kamu lihat itu?” bisik Hana dengan suara bergetar, menunjuk ke lantai tengah kelas.
Di sana, perlahan, mulai muncul cahaya biru membentuk pola aneh di lantai. Lingkaran… dengan simbol yang tak bisa dikenali. Garis-garis bercahaya seperti ukiran muncul satu demi satu.
Seluruh kelas terdiam.
“Apa itu...?” bisik salah satu murid.
Veron berdiri, mencoba bersikap tenang. “Ini... ini prank, kan? Siapa yang masang beginian?!”
Tapi tak ada yang menjawab.
Cahaya itu semakin terang. Suara berdengung muncul, seperti getaran dari dalam tanah. Jendela bergetar. Papan tulis mengeluarkan suara gesekan meski tak ada yang menyentuhnya.
Lingkaran sihir itu kini lengkap. Bersinar biru menyilaukan, dan perlahan mengangkat debu dari lantai.
Sina berdiri dari tempat duduknya. “Kita harus keluar dari sini!”
Namun saat semua murid mencoba bangkit, tubuh mereka terasa berat. Seolah ditahan oleh sesuatu.
“Oiko!” Hana berteriak, tubuhnya gemetar. “Kenapa ini terjadi?!”
Oiko menatap lingkaran sihir itu. Anehnya, ia merasakan sesuatu… akrab. Bukan rasa takut, tapi seperti... panggilan.
Lingkaran itu mulai bersinar lebih terang, menjangkau seluruh lantai kelas.
Guru berteriak panik. “Semua keluar sekarang!!”
Tapi sudah terlambat.
Cahaya menyelimuti seluruh ruangan.
Dan detik itu juga, semuanya lenyap dalam cahaya putih menyilaukan…
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
Jangan lupa suportnya ..... Makasih.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
2025-06-20
1
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
2025-06-19
3
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
2025-06-20
1