Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Negative Thinking
...•••Selamat Membaca•••...
Pagi ini terasa sangat berbeda, Marchel melihat Hulya dengan seksama dan penuh rasa haru, menitikkan setetes air mata lalu menghapusnya dengan cepat. Hulya menghidangkan beberapa makanan untuk mereka sarapan pagi ini. Kemarin adalah hari bahagia, di mana Marchel resmi menjadi suami Hulya lagi, ya, mereka sudah rujuk kembali.
Hulya menuangkan segelas susu lalu mengoleskan selai ke roti dan menaruhnya di piring sang suami, saat akan duduk, Marchel menarik Hulya dan terduduk di pangkuannya.
"Kamu ini apa-apaan? Jangan aneh-aneh ya, aku mau sarapan," protes Hulya sembari melihat ke belakang, suaminya itu hanya tersenyum lalu mengecup pundak Hulya.
"Terima kasih, kau sudah berlapang hati menerima aku kembali, Hulya. Aku janji, akan menjadi pria yang baik untuk dirimu dan anak kita, sudah cukup penderitaanmu selama ini karena aku." Hulya membalikkan tubuhnya menghadap Marchel lalu menciumi bibir Marchel dengan mesra.
"Aku bahagia, hanya kau saja pria yang bisa aku jadikan pengganti papa untuk bermanja." Hulya tertawa, melihat tawa istrinya pagi-pagi begini, hati Marchel benar-benar terenyuh dan pilu, sudah lama dia tidak melihat tawa lepas istrinya itu.
"Aku yang dia harapkan sebagai pelindung dan tempat bermanja, justru aku sendiri yang memberi luka dan membuat dia menderita," kata Marchel dalam hatinya, batinnya menjerit, terus merutuki kebodohannya selama ini.
"Kenapa kamu malah menangis?" tanya Hulya sambil menghapus air mata suaminya dengan kedua ibu jari.
"Aku hanya terharu sayang, aku tidak membayangkan kalau kau akan menerima aku secepat ini." Hulya membawa Marchel dalam pelukannya, kepala Marchel tepat berada di dada Hulya karena wanita itu duduk tepat di atas pangkuan Marchel.
"Kita lupakan semuanya dan kita mulai hidup baru dengan penuh kebahagiaan, oke." Marchel mengangguk lalu mencium mesra bibir ranum itu.
Sarapan kali ini sangat membahagiakan, Hulya disuapi oleh Marchel, dia masih duduk di pangkuan suaminya itu. Mereka saling suap-suapan dan tentunya melakukan adegan mesra saat ini, walau pun tidak terlalu vulgar karena di sana banyak pelayan.
Selesai sarapan, Marchel mengantar istrinya terlebih dahulu ke butik karena Hulya enggan bawa mobil sendiri. Jalanan yang sudah mulai ramai, membuat Marchel tidak bisa buru-buru mengendarai mobil.
Tidak ada percakapan apapun di antara mereka saat ini, karena Hulya merasa sedikit pusing. Dia hanya menyandarkan kepala ke kaca mobil lalu memejamkan mata, hal itu tidak terlalu diperhatikan Marchel karena saat ini dia tengah menerima panggilan dari Justin.
Baru sampai di butik, Marchel menoleh pada Hulya, dia cukup kaget melihat istrinya tidak bersemangat seperti itu.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Marchel ketika melihat Hulya memejamkan mata sambil menahan rasa pusingnya.
"Kepalaku pusing, perutku mual dan aku...hoeekkk." Hulya akhirnya memuntahkan sesuatu yang dia tahan sejak tadi. Marchel mengusap punggung Hulya dengan khawatir, tidak peduli kalau saat ini mobilnya dipenuhi muntahan.
"Lebih baik kita periksa ke rumah sakit sekarang, jangan dipaksa bekerja." Hulya menggeleng, tangannya dingin dan tegang seperti seorang yang terkena stroke. Marchel mengusap tangan Hulya agar hangat kembali dengan wajah khawatir.
"Aku cuma butuh kasur, bantal, guling, sama minyak angin," pinta Hulya.
"Oke, kita lebih baik pulang saja ya."
"Tidak mau, aku mau ke kantor kamu."
"Di kantor aku tidak ada tempat yang nyaman buat kamu istirahat sayang."
"Aku tidak peduli, aku mau ke kantor kamu, aku mau dekat kamu." Marchel mengalah, dia tidak mungkin membawa Hulya ke kantor dalam keadaan lemah begini.
"Begini saja, lebih baik kita pulang, aku tidak akan kerja hari ini." Hulya mengangguk setuju.
Selama di perjalanan, Hulya terus muntah tapi kali ini di dalam kantong yang disediakan Marchel.
Sesampainya di mansion, dia menggendong Hulya ke dalam kamar lalu merebahkan istrinya itu, sopir pribadi Marchel di mansion membawa mobil itu untuk dibersihkan.
Hulya berlari ke kamar mandi dan kembali muntah, rasanya sudah tidak memiliki energi lagi. Hulya berjalan ke arah shower lalu menghidupkannya, ia merasa lebih baik di bawah kucuran air dingin yang membasahi tubuhnya itu.
Hulya duduk sembari memeluk kedua lututnya, rasa pusing itu masih ada tapi rasa mualnya mulai berkurang.
Marchel cukup kaget melihat Hulya begitu, dia menyusul sang istri dan mematikan air shower.
"Jangan begini, nanti kamu malah masuk angin." Marchel menarik Hulya agar berdiri, dia membantu Hulya membuka seluruh pakaiannya lalu melilitkan handuk, wajah Hulya terlihat sangat pucat.
Marchel menggendong Hulya lalu mendudukkannya di tepi kasur, dia memilih pakaian yang nyaman lalu mengenakannya untuk Hulya.
Marchel membenahi istrinya terlebih dahulu, mengeringkan rambut sampai memijat telapak kaki Hulya dengan lembut hingga wanita itu tertidur, hal ini bukan kali pertama, saat hamil pertama dulu, Hulya juga sering begini.
Marchel mencium perut Hulya yang masih datar dan berkata dengan lembut pada calon anaknya. "Jangan nakal ya, kasihan mommy kamu, dia sangat lemah nak."
Setelah dirasa Hulya aman dan terlelap, Marchel menghubungi beberapa orangnya untuk memodifikasi ruangan kantor agar memiliki kamar sendiri untuk Hulya, kemungkinan istrinya itu akan sering istirahat di kantor.
"Aku ingin ruangan itu selesai dalam waktu tiga hari ini."
"Baik bos," jawab anak buahnya di seberang sana.
...***...
Hulya yang baru saja bangun, kaget melihat dirinya sudah ada di dalam kamar, dia duduk sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing.
"Pasti dia tidak mau membawa aku ke kantor, apa jangan-jangan dia memang selingkuh ya?" pikir Hulya sendiri, dia memang sedikit sensitif pada Marchel saat ini padahal dia sangat tahu kalau Marchel tidak pernah bermain wanita.
Hulya meraih ponselnya lalu menghubungi Marchel, tak lama, panggilan itu dijawab, tanpa menunggu jawaban Marchel, Hulya sudah merepet sendiri dengan sedikit berteriak, yang membuat Marchel menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.
"Kamu ke mana? Kamu itu benar-benar ya, aku kan bilang mau ke kantor kamu, kenapa aku malah diantar ke rumah? Atau jangan-jangan kamu memang ada selingkuhan di kantor ya? Ngaku kamu, sudah tahu aku sedang tidak enak badan, masih saja di tinggal. Memang sepenting itu urusan di kantor kamu sampai tega meninggalkan aku, hah? Kalau kamu terus-terusan begini, aku tidak akan bicara denganmu lagi, lebih baik aku tidak punya suami sekalian daripada harus berbagi suami dengan wanita lain," repet Hulya tanpa henti dalam satu nafas. Marchel terus melangkahkan kakinya menuju kamar sambil mendengar ocehan sang istri.
"Kamu ini kenapa? Sudah tahu sakit, masih saja merepet begitu," ujar Marchel yang baru saja memasuki kamar, Hulya tersenyum karena apa yang dia pikirkan tadi ternyata salah.
"Hehe aku pikir kamu pergi." Hulya menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Aku sedang bicara dengan Justin di bawah, karena kamu sedang tidur, jadi aku mengurungkan niat untuk ke markas, aku juga punya hati,tidak mungkin aku akan meninggalkan kamu sendiri dalam keadaan begini," jawab Marchel sambil menyodorkan segelas susu untuk Hulya.
"Maaf, aku hanya takut kamu selingkuh," jawab Hulya dengan wajah imut dan manja lalu meminum susu buatan suaminya, Marchel mengacak rambut hitam panjang itu dan mencium gemas kedua pipi istrinya.
"Apa sudah mendingan?" tanya Marchel.
"Hanya kepala saja sedikit pusing, kalau untuk rasa mual dan sakit perutku, mungkin karena aku makan mie pedas sebelum kamu bangun tadi pagi," akunya sambil meminum kembali susu di dalam gelasnya dan menatap Marchel dengan tatapan mengiba, Marchel melotot karena dia tidak pernah mengizinkan Hulya makan pedas.
"Hulyaaaaaa, kau benar-benar membuat aku resah setengah mati ya, sudah jelas kamu itu memiliki maag akut dan malah menantang maut dengan makan mie pedas. Wow," ujar Marchel dengan suara yang begitu lembut dan wajah manis, Hulya hanya bisa nyengir karena ekspresi Marchel itu sangat dia mengerti.
...•••BERSAMBUNG•••...