Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN RAKA DAN KIRANA
Malam itu di Macedonia, gerimis jatuh tanpa suara.
Bukan dari awan, tapi seolah dari gugusan bintang yang meneteskan embun ke bumi. Langit tetap memamerkan ribuan titik cahaya, seakan malam tahu bahwa takdir sedang menulis ulang dirinya sendiri.
Di pelataran tinggi Istana Utama, Kirana berdiri mematung di depan Ruang Bintang—sebuah bangunan bulat menyerupai kubah langit, dengan dinding-dinding kristal sejernih embun pagi. Cahaya bintang menari di permukaannya, memantul seperti riak di permukaan danau. Di sinilah para penafsir langit membaca pergerakan waktu, meramal musim, menyingkap takdir.
Seperti yang dijanjikan Raja Iskandar, Kirana kini menjadi satu-satunya perempuan asing yang boleh mengakses tempat suci itu. Tapi malam ini, bukan langit yang ia baca.
Ia menatap ke atas, ke kedalaman semesta yang tampak lebih dekat dari biasanya. Kalung bermata matahari yang tergantung di lehernya mulai bergetar lembut, seperti beresonansi dengan sesuatu yang tak kasat mata. Lalu—
Sebuah bayangan muncul di benaknya.
Kabut. Rombongan prajurit tempur. Dan di antaranya, seorang pria berjalan gagah diantara para kesatria yang memimpin pasukan.
Pria itu tampak disegani dalam rombongan itu, namun terlihat tidak bahagia. Tatapan nya kosong, seperti hendak mencari sesuatu yang hilang. Tangan kirinya mengepal, mencengkeram cincin yang berkilau samar dalam cahaya kelabu.
Itu dokter Raka!
Kirana menahan napas. Jantung nya berdebar kencang. Tangannya refleks menyentuh dinding kristal, dan seketika, bayangan itu terpantul di hadapannya—tidak nyata, tapi begitu kuat hingga menusuk ke relung jiwanya.
“Pak Raka! Apakah Bapak mendengar saya? Saya ada di sini…” bisik nya, nyaris tak bersuara. Tapi jiwanya bergetar, seperti dawai yang menemukan nada yang hilang.
Kirana dapat merasakan bahwa Raka sedang melangkah mendekat.
***
Di sisi lain hutan, beberapa puluh kilometer di luar tembok kerajaan, malam terasa dingin meski api unggun menyala. Raka duduk bersandar di dalam tenda penjagaan bersama pasukan elit kerajaan. Namun, pikirannya jauh dari tempat itu. Ia tak bisa tidur.
Cincin akik di jarinya memancarkan cahaya samar, seperti bernapas bersamanya.
Ketika ia memejamkan mata, ia tidak hanya melihat wajah Kirana—ia merasakannya. Gadis yang telah membuat Raka tidak bisa tidur dengan tenang karena memikirkan nya. Gadis yang sama yang telah membawanya dengan penuh kesadaran ke tempat ini. Memberinya pengalaman yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya.
“Raka… aku sudah menemukan jalannya. Tapi aku tak bisa melanjutkan pencarian ini sendiri...”
Suara itu tidak terdengar oleh telinga, melainkan oleh roh yang tak pernah benar-benar terpisah. Raka tersentak bangun.
Kapten pasukan yang beristirahat di samping Raka, menoleh curiga. “Kau baik-baik saja?”
Raka menatap api unggun yang bergoyang dengan beberapa bulatan kecil yang melayang dari kayu bakar mengikuti liukan lidah api. Matanya menyipit, seakan mencari sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.
“Dia ada di sana,” gumamnya. “Kirana. Gadis yang berasal dari dunia yang sama dengan ku, sedang menunggu. Dia… memanggilku.”
Pria itu menyipit. “Bagaimana kau tahu?”
Raka hanya tersenyum samar. “Karena dunia yang memanggil kami ini, telah menyiapkan segala nya... ” Raka memegang cincin yang ada di jarinya.
***
Keesokan harinya, Kirana dipanggil menghadap Ratu dan para penasihat. Kirana memasuki aula istana yang megah dengan langit-langitnya yang dihiasi mosaik bintang, wangi aromatik dari dupa yang di bakar disudut ruangan mengisi udara. Sang Ratu berdiri anggun di tengah aula. Matanya tajam namun mengandung duka yang lama dipendam.
Sang Ratu berbicara tentang cuaca yang tak menentu, tentang ketidakseimbangan langit sejak “Perempuan dari Cahaya”—Anna—menghilang bertahun-tahun lalu.
"Wahai pembaca bintang!" panggil Ratu kepada Kirana yang menghadap kepadanya.
Kirana memberikan sikap hormat sebagaimana orang-orang menghormati ratu. "Ya, Baginda. Saya siap mendengar titah baginda."
"Raja dan para menteri telah sepakat agar kamu melaksanakan ritual persembahan kepada yang maha kuasa!" ucap sang ratu yang dibenarkan oleh para menteri nya.
Kirana ingin menolak, namun sang Ratu melanjutkan. "Ritual ini, khusus dilakukan oleh para wanita. Sebelumnya, Wanita Cahaya berambut emas yang pernah melakukan nya."
Kirana terdiam. Anna?
"Baiklah yang mulia. Titah Anda akan saya laksanakan sebaik-baiknya." Kirana kembali memberi hormat. Meskipun semua ini bertentangan dengan keyakinan nya. Kirana tahu bahwa ia harus melaksanakan peran nya di dunia ini. Tuhan nya tahu bahwa Kirana tidak pernah berbuat syirik.
Sebagai bagian dari persiapan, Kirana diizinkan memasuki Ruang Penyimpanan Lambang Cahaya dan Silsilah Raja—tempat benda-benda kuno disimpan, benda-benda dari dimensi yang tak semua manusia bisa pahami.
Langkah Kirana menggema di dalam ruangan sunyi itu. Cahaya remang lilin memantul di rak-rak kristal. Dan di sana—ia berhenti.
Sebuah gaun putih, tergantung lembut seolah melayang.
Ia tak butuh waktu untuk mengenalinya. Bahkan sebelum matanya mengenal, jiwanya sudah menangis dalam diam.
Itu milik Anna.
Namun yang membuatnya tercekat, justru ada di bagian atas: Sebuah lukisan tangan tergantung di langit-langit ruangan, dikelilingi ukiran simbol langit. Sebuah tangan yang memegang cincin akik—yang tidak mungkin disalahartikan.
***
Sore akhirnya menjelang.
Langit menjingga. Gerbang utama istana terbuka menyambut kedatangan prajurit yang membawa kemenangan besar dari medan perang.
Pasukan penjaga menahan seorang pria bertubuh tinggi dengan jubah tabib yang tampak sedikit kebesaran di tubuhnya. Namun saat surat perintah dari Raja Iskandar diperlihatkan, semuanya jadi terasa lebih mudah.
“Tabib Langit telah tiba!” ucap salah satu penjaga, membungkuk memberi hormat.
Raka mengikuti kepala pasukan yang menuntunnya menuju aula utama.
Di dalam aula utama, Raja Iskandar duduk di singgasana bertingkat, mengenakan jubah dengan lambang burung phoenix. Saat berita kedatangan pasukan beserta tamu khusus di istana, suaranya terdengar dalam saat ia memerintahkan: “Panggil juga wanita dari langit. Waktu telah tiba.”
Seorang utusan berlari ke arah istana dalam mengabarkan berita itu.
Kirana melangkah dari sisi timur aula, jubah putihnya mengepul halus mengikuti angin dari jendela terbuka. Di sisi lain, Raka bersama komandan pasukan raja masuk dari pintu bagian barat. Langkah mereka berirama, tanpa tahu siapa yang akan mereka temui.
Namun ketika pandangan Raka dan Kirana saling bertemu di tengah ruangan, segala sesuatu di dunia seperti melambat.
Satu detik. Dua detik. Tak ada suara. Tak ada kata.
Lalu…
Mereka pun berlari.
Tanpa menggunakan logika lagi, di tanah asing ini dengan jiwa yang tahu ke mana harus kembali. Di tengah aula, di bawah cahaya yang menembus dari kubah istana, dua jiwa itu bertemu dan berpelukan.
“Pak Raka?!”
“Kirana!”
Tak perlu banyak bicara. Pelukan itu menghapus jarak antar dunia. Di sekitar mereka, para penasihat terpaku. Namun Raja Iskandar hanya menghela napas, tersenyum tipis seperti seseorang yang tahu akhir dari teka-teki panjang.
“Cahaya,” ucapnya pelan, “telah menemukan pantulan nya.”
“Dan kini, waktu akan bicara… Gerbang akan terbuka.”
***