“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 33
Sebelumnya.
Sawitri melepaskan tulang pergelangan kaki Herman dari jeratan tali tersimpul erat, tanpa takut apalagi merasa jijik, ia ikat menjadi satu menggunakan tali rafia kedua benda yang masih terdapat noda darah, serta kulit lengket berwarna kehitaman.
Sosoknya kembali menjadi Lastri, pakaiannya pun telah berganti dengan celana bahan panjang, kaos polos longgar. Wanita muda itu keluar dari hutan keramat, mata batinnya dibiarkan terbuka. Sehingga suara derasnya arus sungai, kicauan burung terbang diatas permukaan air, sampai desisan Ular mengintai mangsa, dapat terdengar olehnya.
Lastri melewati barisan pohon beringin keramat, yang mana dijadikan tempat meletakkan sesaji. Dua hari lagi adalah malam Jumat Kliwon, saatnya para manusia rakus, tidak takut akan Tuhan melakukan pemujaan.
Hutan terlarang ini dikelilingi perairan. Batas daratan hanya barisan pohon beringin yang luasnya sekitar dua ratus meter, selebihnya sudah bersebelahan dengan sungai besar aktif, dan sungai mati dihuni hewan predator ganas.
Putri bungsu Ni Dasah, terlihat melangkah tenang, bibirnya menyunggingkan senyum samar, sebelah tangannya menjinjing pergelangan kaki Herman. Si empunya masih pingsan dalam kolam kubangan Babi.
Saat tiba di tempat kejadian tadi, Lastri mencari motor yang sengaja tidak disembunyikan seperti milik Rahman dulu.
Bangkai motor Herman terlempar ke dalam parit, sedangkan stangnya berada di tengah-tengah jalan. Lastri mengambil bagian patah itu, lalu dijadikan satu. Tak ketinggalan kaki anteknya juragan Bahri, digantung pada pegangan jok belakang.
Kemudian Lastri menyebrang jalan, masuk ke semak-semak dan melangkah kembali pulang.
Berselang dua jam kemudian, datanglah Gandi.
.
.
“Herman!” Gandi histeris, wajahnya pucat pasi. Setelah pulih dari keterkejutan nya ia merangkak lalu berjongkok, menatap ngeri kerangka kaki.
“Apa mungkin Herman?” tanyanya pada diri sendiri, Gandi tidak yakin tapi hatinya berkata lain.
Dia kembali ke motornya, dan memacu kencang menuju rumah Ki Jaya.
“Ki! Ki Jaya!” Motornya belum berhenti, tapi suara Gandi sudah menggelegar.
Keluarlah sosok tua bahu ringkih, langkahnya sedikit membungkuk menahan rasa sakit, keadaannya belum sepenuhnya pulih.
“Ayo ikut!” Gandi turun dari motor, lalu menaiki undakan tangga, membantu Ki Jaya turun. “Saya telah menemukan motor Herman, tapi_tapi … ada kerangka kaki entah milik siapa!”
Begitu sampai bawah, Ki Jaya menepis tangan Gandi. “Kau bicara apa?”
Gandi menarik napas panjang, lalu menghembuskan kasar. Pelan-pelan dia menceritakan apa yang dilihat dan temukan di tengah jalan tadi.
Ki Jaya mau ikut, duduk di belakang dengan tangan berpegangan di pundak Gandi.
Saat tiba di lokasi, Gandi dan Ki Jaya mendekati parit. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil kijang membunyikan klakson.
“Sedang apa kalian di sini?” Hardi berseru di balik kemudi, kepalanya terjulur keluar jendela.
"Turunlah!” titah Ki Jaya.
Bukan cuma Hardi yang turun, ada juragan Bahri, pak Lurah, nyonya Samini, Ayu, dan Mak Indun.
“Apa yang terjadi, Ki?” tanya istrinya.
“Mendekat lah! Gandi mengatakan menemukan sesuatu.”
“Lantas, dimana Herman? Bukankah tadi saya menyuruhnya menjemput Ki Jaya?!” Bahri berkacak pinggang, amarahnya belum sepenuhnya hilang. Akibat badai, pesta pernikahan putranya kacau balau.
Kedatangan Bahri dan lainnya ke rumah Ki Jaya, tak lain ya ingin meminta solusi agar terbebas dari kewajiban membayar kerugian warga yang jelas memakan biaya tak sedikit.
Gandi membabat ilalang, lalu meminta lainnya melihat apa yang dia lihat.
Argh!
Nyonya Samini dan juga menantunya, bersamaan menjerit.
“Itu_itu tulang manusia ‘kan?” Tubuh Ayu bergetar, dia ketakutan. Kendatipun seorang bidan, tapi baru kali ini melihat langsung kerangka hangus.
“Ambil! Berikan kepada saya!”
Walaupun terlihat enggan, Gandi tetap menurut, tanpa masuk ke dalam parit, dia menarik lepas tali rafia. Menatap jijik sekaligus ngeri, padahal dirinya sudah terbiasa membantai orang tidak bersalah.
Ki Jaya memejamkan mata, tali tadi digantung pada jari telunjuknya. “Ini milik Herman!”
Semua orang terkejut, para wanita memekik pelan. Mereka saling pandang dengan ekspresi berbeda-beda.
“Mari ke rumah saya, kita bicarakan di sana!”
***
Di lain desa, sangat jauh dari kampung Tani. Tempat tinggal Sawitri dan juga para manusia bejat.
Beberapa warga dikejutkan oleh kedatangan kawanan Lembu dan juga Kambing. Mereka mendekati binatang berkaki empat itu.
“Ini jelas hewan ternak, bukan binatang liar, sebab jinak. Siapa pemiliknya ?”
Pertanyaan yang sama dilontarkan. Sampai Lurah mereka datang pun, para warga masih mencoba menerka.
“Pak Lurah, sebaiknya bagaimana ini?”
Lurah berpenampilan bersahaja, berkharisma, wajah teduh, dan masih perjaka di umur 31 tahun itu berusaha tenang demi meredam kehebohan.
“Siarkan menggunakan toa musholla! Tanya kepada warga desa kita hingga tetangga, siapa tahu ada yang kehilangan hewan peliharaan,” katanya lugas.
“Siapapun pemiliknya, kita wajib mengembalikan! Karena ini bukan hak kita, bisa jadi yang punya tengah dilanda kesedihan luar biasa,” sambungnya bijak.
“Benar pak Lurah. Baru kali ini ada kawanan hewan dalam jumlah banyak yang masuk pemukiman desa kita, tapi tidak dikalungi lonceng pemiliknya.”
Lurah yang bernama Yusuf itu mengangguk. “Ada berapa ekor semuanya?”
“17 belas ekor Lembu, dan 22 ekor Kambing,” sahut pria yang pertama kali melihat kedatangan hewan tersebut.
“Bisa tolong giring ke hunian saya! Biar para pekerja merawatnya, bila dalam waktu tujuh hari tak ada yang merasa kehilangan. Nanti kita musyawarahkan lagi langkah selanjutnya.”
“Baik, Pak!”
Tak ada raut enggan, curiga. Sebab Lurah mereka sangat adil, bijaksana, dan sudah kaya raya. Memiliki harta warisan berlimpah, kebun lada dan juga sawah.
Tidak jauh dari sawah kering berumput hijau itu, hewan Gareng mulai terbang meninggalkan kelurahan Jatirejo. Yang mana tujuh gadis perawan pemukiman tersebut menjadi korban Bahri dan juga Sugeng.
Sawitri memerintahkan hewan peliharaan Kunti, menggiring para kawanan ternak juragan Bahri agar dibawah ke desa yang terkenal dengan pemimpinnya bijaksana.
Di sanalah, nyonya Samini mencari korban, tapi sudah tiga tahun ini istri Bahri itu kesulitan mendapatkan calon tumbal. Disebabkan, wilayah yang dulunya terkenal dengan ekonomi paling rendah, kini mulai jaya. Penduduknya lebih memilih bekerja di desa mereka, agar tidak jauh dengan keluarga.
Ya, nama Yusuf sudah dikenal luas, semenjak tiga tahun lalu menjabat menjadi Lurah dengan usia paling muda. Dia banyak membuat perubahan di daerahnya, kemiskinan berkurang, dan pertanian mulai menghasilkan panen melimpah.
Berkat kegigihan, wawasan luas, dan berbekal ijazah lulusan sarjana pertanian. Yusuf berhasil memajukan desa yang di huni lebih dari 700 rumah, dibagi menjadi tiga dusun, dan setiap wilayah ada kepala dusun yang mengetuai.
***
"Berhati-hatilah. Pelaku sengaja meletakkan kaki Herman, sebagai peringatan ancaman nyata! Jelas, hal tersebut merujuk pada juragan Bahri, pak Lurah, dan tentu saja kita semua. Ini bukan sekadar gertakan, tapi pembalasan dendam keji!" Ki Jaya mengelus janggutnya.
"Motifnya tak jauh berbeda dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh juragan Bahri, pak Sugeng. Menculik, membakar ... dan entah apalagi," lanjutnya.
"Kira-kira siapa dalang dibalik teror Jahanam ini, Ki?!"
.
.
Bersambung.
baguuuuusssssssss ceritanya kak 👍🏻👍🏻
btw, nanya dong. darah manis tulang wangi itu bener ada? trus msh bnyak yg mau kutanya tp lupa hahaha
tp serius, ini karangan kk atau memang sedkit bnyak nyata adanya?
btw kak thor..kok lurah yusuf bisa tau ada huru hara di hutan keramat?
lanjut kakaaaak lope2
Lebih menarik lagi saat para manusia iblis yg sdh tak punya makhluk andalannya/ pujaan nya.Ki Jaya tanpa iblis j kepala kerbau juga pasti ciut nyalinya.
jadi ingat masa kecil