Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Setelah kepergian Yuna, suasana hati Hanif jauh lebih ringan. Seperti ada beban lama yang akhirnya terangkat. Ia dan Sekar pun mulai menjalani hari-hari dengan lebih tenang, meski kadang, luka lama masih terasa nyeri jika disentuh kenangan.
Suatu pagi, ketika matahari baru menyentuh jendela rumahnya, hanif berniat untuk mengajak lagi Sekar kepernikan adiknya itu. Waktu memang berjalan cepat. Dulu, Hana masih sering curhat tentang pria-pria yang membuatnya kecewa. Sekarang, ia menikah dengan pilihan hatinya.
Tanpa berpikir lama, Hanif menatap Sekar yang sedang merapikan vas bunga di meja makan. “Sekar… kamu mau temenin aku ke pernikahan Hana hari minggu nanti?”
Sekar menoleh, sedikit terkejut. “Pernikahan yang kemarin aku. Tolak itu ya?”
Hanif mengangguk, mendekatinya. “Iya. Dia adik aku. Acaranya di gedung deket taman kota. Aku nggak mau datang sendirian.”
Sekar menunduk, tampak ragu. “Kamu yakin aku nggak apa-apa ikut? Maksudku… keluargamu pasti tahu Yuna. Mereka bisa aja ngebandingin aku sama dia. Apa lagi aku nggak pernah dandan yang cantik. Cuma dandan biasa saja.”
Hanif mengelus pipinya pelan. “Aku nggak peduli apa kata orang. Aku pengen mereka tahu kamu orang yang aku pilih itu kamu, Sekar. Jadi nggak usah perdulikan soal dandanan. Nantikan bisa di dandanin sama tukang makeup supaya hasilnya lebih bagus”
Tatapan Hanif begitu tulus, dan Sekar tahu ia tak bisa menolak. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan pergi bersama kamu. Tapi jangan sampai kecewa dengan tampilan aku nantinya.”
***
Hari pernikahan itu tiba. Sekar berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna dusty blue dengan potongan sederhana tapi elegan. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai dibiarkan jatuh melingkupi wajah. Sentuhan makeup tipis membuat wajahnya bersinar alami.
Hanif yang baru saja masuk ke dalam kamar terdiam melihat Sekar. Untuk sesaat, ia lupa bagaimana bernapas. “Kamu… cantik banget,” ucapnya akhirnya.
Sekar tersenyum malu. “Kamu yakin aku nggak terlalu berlebihan? Apa mungkin yang aku pakai ini lebay ya? Kayak buat malu kamu?”
Hanif menghampiri, meraih tangannya. “Kamu sempurna. Ayo, kita berangkat sebelum aku berubah pikiran dan minta kita nikah aja sekarang juga.”
Sekar tertawa kecil, menampar pelan dada Hanif. “Jangan gombal, Hanif.”
Gedung pernikahan itu ramai, dipenuhi kerabat dan teman-teman Hana. Musik tradisional mengalun pelan, diselingi tawa dan obrolan hangat. Saat Hanif dan Sekar masuk ke ruangan utama, banyak mata yang menoleh.
Beberapa hanya sekilas, beberapa terlihat menatap lebih lama. Tapi Hanif menggenggam tangan Sekar erat, menuntunnya ke arah pelaminan.
Hana, yang duduk anggun di samping mempelai pria, langsung tersenyum lebar saat melihat Hanif. Tapi senyumnya berubah jadi tatapan heran saat melihat perempuan di samping abangnya itu itu.
“Mas Hanif…?” sapa Hana saat mereka mendekat.
“Selamat ya, Hana.” Hanif menyalami tangan adiknya itu, lalu menoleh ke Sekar. “Kenalin, ini Sekar. Pasangan mas. Yang udah di janjiin kemarin ini.”
Sekar menunduk sopan, tersenyum. “Selamat menempuh hidup baru, Mbak Hana.”
Hana tertegun beberapa detik. Lalu ia tersenyum lebih hangat, bangkit dari duduknya dan memeluk Sekar ringan. “Masya Allah, kamu cantik banget… Aku nggak nyangka, Mas Hanif bisa dapetin seseorang seanggun ini. Padahal mantannya dulu saja nggak bisa berpenampilan seperti ini. Udah tinggi sekarang levelnya Hanif ya.”
Sekar tersipu. “Terima kasih, kamu juga cantik di pernikahan ini. Apa lagi pakai baju putih ini. Kelihatan anggun banget jadinya.”
Setelah berfoto dan bersalaman dengan keluarga besar, Hanif dan Sekar berpindah ke area makan. Di sana, mereka bertemu dengan Jenar dan Gena—dua teman lama Hanif dari masa kuliahnya.
“Hanif?” Jenar menoleh kaget, lalu tertawa saat melihat Hanif dan Sekar berdiri berdampingan. “Wah, akhirnya ya… Kamu datang juga. Eh, ini siapa?”
Hanif menepuk bahu Jenar. “Ini Sekar. Pacarku.”
Gena langsung menyikut Jenar. “Pacarnya? Ini cewek? Cantik banget, cuy… kamu nyihir apa?”
Mereka tertawa bersama. Sekar hanya tersenyum, sedikit malu tapi nyaman berada di tengah keramaian itu. Obrolan berlanjut sambil menikmati hidangan. Suasananya hangat, penuh nostalgia dan tawa.
Sesekali, Hanif memandang Sekar dengan tatapan takjub. Ia tak pernah menyangka perempuan yang dulu ia temui di ruang konsultasi pasien bisa menjadi sosok yang begitu berarti baginya sekarang.
Mereka memang sengaja untuk menyapa Hana dulu saat sampai di pernikahan karena Hanif sudah tidak sabar untuk memperkenalkan Sekar kepada Hana. Apa lagi dengan penampilan Sekar yang sempurna di mata Hanif. Makanya dia nekat untuk langsung bertemu Hana.
***
Saat acara sedang meriah dan jarum jam hampir menyentuh angka empat sore, Sekar dan Hanif akhirnya memutuskan keluar dari gedung. Sinar matahari sore menyinari pelataran dengan lembut, menciptakan semburat keemasan di kulit mereka. Angin semilir menyapu rambut Sekar yang digerai sederhana, membawa serta aroma manis dari taman yang tertata rapi di luar gedung.
Sekar menggandeng tangan Hanif, berjalan pelan di sampingnya menuju area parkir. Keduanya tidak terburu-buru, seolah ingin memperpanjang waktu yang mereka habiskan bersama dalam balutan kebahagiaan yang masih hangat.
“Tadi kamu terlihat sangat percaya diri,” ucap Hanif tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Sekar menoleh dan tersenyum kecil. “Aku berusaha tampil sebaik mungkin… demi kamu.
Langkah Hanif melambat. Ia menghentikan gerakan kakinya lalu menoleh, menatap Sekar penuh makna. Perlahan ia menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, di tengah kehangatan senja yang menenangkan.
“Kamu nggak perlu jadi orang lain buat aku, Sekar,” bisiknya lembut. “Kamu apa adanya aja udah cukup buat bikin aku jatuh cinta tiap hari.”
Sekar memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan pelukan itu. Ia mendengar detak jantung Hanif—ritmis, tenang, meyakinkan. Seperti penegasan bahwa ia tidak sendirian.
“Aku takut…” gumamnya pelan, “…suatu hari kamu bakal berubah pikiran.
Hanif menarik tubuhnya sedikit ke belakang agar bisa menatap wajah Sekar dengan lebih jelas. “Satu-satunya hal yang berubah adalah cintaku yang makin besar setiap hari,” ucapnya tegas, tanpa ragu. “Aku janji.”
Sekar terdiam. Matanya memandangi pria di hadapannya dengan segala perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lalu ia tersenyum. Bukan senyum ragu seperti dulu. Tapi senyum penuh keyakinan.
Karena kali ini, ia tahu—ia berada di tempat yang tepat.
Di tengah taman dengan pohon-pohon kecil yang bergoyang perlahan tertiup angin sore, burung-burung kecil masih berkicau, dan cahaya matahari mulai menguning hangat di langit barat.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sekar tidak takut lagi akan masa lalu.
Ia telah menempuh perjalanan panjang—dari luka, dari trauma, dari ketakutan yang mencekik. Tapi sore itu, dalam pelukan Hanif, Sekar merasa telah benar-benar tiba.
Tiba di rumah yang selama ini ia cari—bukan bangunan, bukan tempat—tapi seseorang.
Seseorang yang mencintainya tanpa syarat.
Seseorang yang memilihnya… dan akan terus memilihnya.