NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ES

..."Ingat pesan itu. Pesan yang baik! Bukan yang buruk"...

...•...

...•...

"Tch! Kalah lagi," kata Garrel menatap layar ponselnya.

Arzan mengaduk esnya di gelas dengan moodnya yang hancur. Baru saja jam istirahat berbunyi, mereka sudah mendapatkan pengumuman bahwa bulan depan akan ujian untuk meneruskan ke perguruan tinggi.

"Lo ambil jurusan apa, Fal?" Tanya Arzan melirik Naufal yang entah bengong melihat apa ke arah taman.

"Gua malah belum kepikiran mau ambil jurusan apa," jawab Naufal dengan menghela nafasnya.

Seorang laki-laki tengah berlari menyusuri koridor menuju kantin ke teman-temannya berada dengan menggenggam selembar kertas dan senyuman yang merekah di wajahnya.

"Dari mana lo, Ka?" Garrel melirik Sean yang baru saja datang dengan nafas terengah-engah.

"Ruang guru."

"Lembaran apa yang lo bawa?"

"Jadwal ujian."

Sontak Arzan membuang muka dengan menghela nafas malas. Ia sangat tidak menyukai ujian ataupun hal semacam tes. Tapi kehidupan ini sama halnya tes dari tuhan.

"Wajah lo kayak seneng banget gitu. Kenapa?"

"Pulang pagi."

Tidak berbeda dengan Arzan. Garrel juga menghela nafasnya malas. Walaupun pulang pagi saat ujian, tapi ini dapat membuat otaknya panas dalam beberapa jam dengan jiwa-jiwa overthinking mengenai nilainya dan pengumuman kedepannya.

"Lo balik ke kota, kan? Lo di suruh bokap lo kuliah di sana." Sean menatap Garrel yang hanya diam termenung mengenai ucapannya. Ia tahu kalau di kota saudaranya ini sangat jarang dekat dengan seseorang, bahkan hanya sekedar berbicara.

"Nggak tahu, gua juga masih di sini satu tahun ke depan," jawab Garrel.

"Kita berpencar?" Tanya Arzan yang membuat suasana menjadi kikuk dan teman-temannya terdiam. Suara yang masuk ke dalam gendang telinga mereka hanya suara keramaian kantin, bukan suara temannya yang biasanya bercanda.

"Mungkin," jawab Sean yang langsung mendapatkan tatapan mata dari teman-temannya.

"Gua tahu kalau kita bakal disibukan lagi dengan jadwal masing-masing dari fakultas yang berbeda-beda. Tapi.... Setidaknya kita bisa secara virtual," kata Naufal.

"Gua nggak suka virtual," balas Garrel.

"Gua juga," imbuh Arzan.

Sheila mengendap-endap ingin mengejutkan Sean yang membelakanginya. Saat dekat, ia memegang kedua bahu Sean yang membuat sang empu terkejut.

"Hehehe. Kaget, ya?" Sheila duduk di sebelah Sean dengan tersenyum jahil.

"Dikit."

"Kenapa? Kok kayak nggak mood gitu?" Sheila menyentuh tangan Sean dan menggenggamnya.

Laki-laki itu hanya menggeleng dengan tersenyum tipis menatap perempuan di sebelahnya. "Nggak apa-apa, cuman males aja pengen pulang."

"Kenapa? Kalian juga kenapa? Kok pada nggak mood juga? Ada masalah apa? Kalau ada apa-apa cerita, dong. Jangan di pendam sendirian," cerocos Sheila menatap wajah teman-temannya yang sangat tidak mengenakkan untuk dilihat. Apalagi wajah Garrel yang terus membuang muka saat ia tatap.

"Lo ambil jurusan apa, La?" Tanya Naufal.

"Nggak tau, gua aja buta sama kepribadian diri sendiri."

Tiba-tiba seorang gadis memasuki kantin dengan make up yang sedikit tebal dengan rona merah yang mencolok di pipinya yang membuat seisi kantin melihatnya dengan lirikan mata sinis.

"Garrel..."

Garrel langsung menoleh dan mendapati Felicia sedang mode manja di sampingnya. Gadis itu memegang bahu Garrel sementara laki-laki itu malas untuk menanggapinya.

Di sisi lain, Sava menatap Felicia sinis dari gerombolan murid-murid lainnya yang sedang bergosip dan akan menghampirinya. Namun, ponselnya berdering karena ada panggilan yang masuk. Nama Enzi tercetak jelas di layar ponselnya. Itu nama abangnya.

"Kamu di mana?" Tanya Enzi, saat panggilannya tersambung.

"Ya, di sekolah lah. Emang kenapa? Tiap hari telpon mulu nanya di mana tapi kagak balik-balik. Nggak jelas." Terdengar jelas kalau nada bicara Sava tidak mengenakan dan terkesan ketus.

"Abang di bandara sekarang."

Sava langsung membulatkan matanya tidak percaya. Sudah dua tahun lebih Enzi tidak pulang ke tanah air. Namun, pemuda itu sekarang tengah berdiri di tanah ini.

"Ha? Beneran? Nggak boongan, kan? Bukan prank, kan?"

"Enggak, dong. Ngapain bohong? Kangen nggak, nihh?"

"Tapi aku pulangnya nanti sore, Bang."

"Abang jemput."

"Bener, yaa?"

Enzi mengangguk. "Iya. Ya, udah, sana. Belajar yang bener. Jangan pacaran mulu..."

"Pacaran apanya? Orang nggak punya pacar juga."

"Iya-iya. Bye-bye, Va."

"Iya, bye, bang."

Setelah mematikan panggilannya, Sava kembali menoleh ke arah Garrel yang risih dengan keberadaan Felicia. Tapi tetap laki-laki itu biarkan karena malas menggubris gadis pick me itu.

"Rel, minimal usir dia secara halus lah. Telinga gua panas dengerin rengekan dia daripada Agatha," bisik Arzan yang diangguki Naufal.

"Gimana? Gua males ngarang kata-kata," balas Garrel karena bingung dengan gadis di sebelahnya.

Sava langsung menghampirinya dan menarik lengan Felicia dengan sedikit kasar. "Eh! Dicari sama Pak Rizal di ruang guru. Katanya mau ngomong sesuatu sama elo."

"Ha? Beneran? Gua nggak ada janji ataupun pernah bicara sama orangnya." Sava menahan senyumannya karena berhasil mengibuli Felicia yang setengah polos.

"Iya, beneran. Katanya soal ekskul cheerleader."

Felicia mengelus bahu Garrel sebentar, sementara laki-laki itu menahan dirinya agar tidak meledakkan emosinya. "Aku ke ruang guru dulu, ya? Kamu jangan kangen sama aku."

Garrel menelan salivanya dengan kasar dengan menarik ujung bibirnya agar tetap tersenyum melihat Felicia yang tersenyum manja ke arahnya. "Iya."

Saat Felicia menjauh, Sava dan teman-teman Garrel langsung bernafaskan lega, tidak tertinggal Sheila yang tampak malas. Sava duduk di sebelah Garrel yang bersebelahan pula dengan Sheila.

"Tumben?" Tanya Garrel menatap Sava yang duduk di sebelahnya.

"Apanya?"

"Tumben sama gua? Biasanya juga ke perpustakaan buat tidur."

"Malas."

...••••...

"Kita jadi besok berangkatnya?" Tanya Glen melihat semua tumpukan sembako di ketiga mobil pick up yang terdapat di depan markas caspe.

"Enggak, tunggu bahan yang lainnya datang. Kita ke sana akhir bulan. Nggak usah terburu-buru," jawab Zevan.

Setelah bell pulang sekolah berbunyi, bukannya langsung pulang. Justru anggota Caspe ke markas karena beberapa barang telah datang dan akan mereka eksekusi untuk pembagian tiap orang nanti.

"Udah lo catat?" Tanya Zevan melirik Linda yang tengah sibuk dengan tabletnya.

Linda menganggukkan kepalanya dengan mengacungkan jempolnya. "Udah, tidak beberapa lagi yang kurang dan udah lengkap semuanya."

"Ini misi kita yang pertama dari ketua yang baru," kata Glen.

Lino tersenyum tipis dengan mengikuti arah pandang Glen ke Zevan. "Misi sekaligus healing, karena kita akan ke daerah pesisir."

"Bukannya lo pernah ke sana sama Nathan dan adik lo di acara perlombaan? Apa nama sekolahnya? Lupa gua." Glen menggaruk pelan dagunya.

"SMA Sayap Garuda?"

"Nahh, iya. Katanya SMA itu yang menang."

Lino mengangguk. "Tapi pemenangnya udah nggak ada."

"Kemana?" Kini Zevan yang bertanya.

"Udah nggak ada. Orang yang disayangi Zea dan adiknya Nathan. Dan mereka nggak ada di hari yang sama, dan juga kejadian yang sama."

Zevan mulai menatap Lino dengan tatapan sangat serius. "Terus?"

"Terus apaan?" Sahut Linda.

"Gimana kabar keluarganya?"

"Namanya Kalandra. Sejak kecil ditinggal Mamanya yang udah nggak ada, lalu tiada di samping Papanya yang juga nggak ada karena tembakkan. Dia juga nggak ada karena tertusuk pisau buat melindungi adiknya. Sekarang, adiknya sebatang kara dengan teman-teman masa kecilnya," jelas Linda dengan meletakkan tabletnya dan duduk di sebelah abangnya.

"Nggak ada yang lainnya?"

"Ada, kakek dan neneknya. Tapi mereka berjauhan."

Zevan menatap Lino dan Linda dengan tatapan datar. "Kenapa nggak cerita ke gua? Kalian waktu itu cuman cerita soal Nathan sama Zea doang."

"Lo nggak nanya," sahut Lino.

"Emang kenapa, sih?" Kini Linda yang menyahutnya.

"Gua harus tahu semuanya soal cerita tiadanya Nathan," kata Zevan.

"Tempat yang kita tuju dekat sama rumah dia?" Tanya Glen.

Lino menggeleng. "Enggak, karena kita masuk ke pedesaaan, bukan benar-benar di daerah pinggir pantai. Karena rumah-rumah mereka di daerah sisi pantai."

"ES."

"ES? Lo pengen Es?" Bingung Glen dengan Linda.

"Bukan, ES itu singkatan dari Everlasting Shine. Sebutan dari teman-teman Kalandra semasa kecilnya. Dan Zea bukan salah satu temannya, tapi merupakan salah satu anggotanya," jelas Linda.

"Dari mana kamu tau itu?" Tanya Lino.

Linda refleks mengibaskan rambutnya ke belakang. "Jelas, dong. Aku nggak pernah ketinggalan kalau soal berita-berita."

Lino mulai menatap adiknya dengan malas. "Abang tanya beneran. Dari mana kamu tau soal itu?"

"Zea. Dia yang cerita ke aku waktu pertama kali masuk ke sekolah dan belum ada temennya di perpustakaan."

"Ohh..."

...••••...

Variel menatap abangnya yang tengah mondar-mandir memegangi kertas penilaian harian biologinya yang tertera nilainya buruk. Padahal tidak seburuk itu. Ia tahu kalau Papanya mengetahui hal tersebut, itu akan membuat Arlan kembali tertekan dengan segala ocehan yang diberikan Gio tanpa jeda sebelum benar-benar menyelesaikan ucapannya.

Suara mobil memasuki garasi membuat Arlan berkeringat dingin dengan menggigit bibir bawahnya. Variel yang mengetahui hal tersebut langsung menyahut kertas yang berada di tangan abangnya dan menyembunyikan kerta tersebut di dalam kamarnya.

Entahlah, Arlan tidak mengetahui adiknya akan menyembunyikan kertas tersebut di mana. "Kamu sembunyiin di mana?"

"Di bawah kasur," jawab Variel dengan mengacungkan jempolnya.

Itu tidak membuat Arlan sedikit tenang, melainkan semakin takut jika pria itu mengetahuinya. Derap langkah kaki terdengar jelas menaiki tangga. Bahkan, langkah itu semakin jelas karena menuju ke arah kamarnya.

"Arlan!" Panggil Gio dari depan pintu kamar Arlan yang tertutup rapat karena Variel yang menutupnya.

Buru-buru Arlan membukanya dan memasang senyuman di wajahnya agar Gio tidak mencurigainya karena pasal penilaian harian biologi. "Kenapa, Pa?"

"Katanya ada pembagian lembaran hasil penilaian harian. Mana? Papa mau lihat."

Arlan menelan Salivanya dengan kasar dan melirik adiknya yang berdiri di sampingnya dengan memegangi tangannya. "Ketinggalan di loker, Pa."

"Ohh... Ya, udah. Besok kamu bawa, saya mau lihat hasilnya."

Arlan tidak bisa mengelaknya, dan hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan tersenyum tipis ke arah pria itu. Sementara itu, Gio hanya melirik anak bungsunya yang berdiri di samping Arlan dengan menatapnya datar.

Setelah itu, Gio melangkah pergi meninggalkan kedua anaknya ke kamar untuk segera membersihkan tubuhnya dan beristirahat. Sebelum memasuki kamarnya, ia melirik kamar putra sulungnya yang ditarik dari dalam untuk menutup tutup itu.

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!