Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Enam
# 26
Pada babak terdahulu dikisahkan .....
Sebagai pendekar yang sakti mandraguna, yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, Brama Kumbara tidak takut menghadapi apapun bahkan kematiannya sendiri. Akan tetapi, saat diambang saktarul maut, Brama bertemu dengan Gurunya, Kakek Astagina. “TUGASMU DI DUNIA INI BELUM SELESAI,” itulah nasihat beliau kepadanya. Maka atas desakan Gurunya tersebut, dengan sisa – sisa tenaga dalamnya, Brama mengerahkan Ajian Malih Rupa, sebuah ajian dimana si pemilik mampu menggandakan diri sekehendak hati. Setelah mengerahkan Ajian tersebut, Brama melakukan tapa brata untuk mengembalikan sebagian besar tenaga dalamnya yang tertidur selagi menua. Jasad Brama yang hanya berupa mamalihan, diperabukan dan disemayamkan di dalam Gua Pantai Selatan, di samping abu jenazah Kakek Astagina. Dengan demikian seluruh orang menganggap bahwa Brama Kumbara sudah wafat.
Menyusul kemudian Dewi Mantili pun juga dikabarkan meninggal, namun, sebelum Mantili meninggal, Brama juga berhasil mengerahkan Ajian Malih Rupa untuk adik tirinya itu. Untuk merapal ajian itu, Brama harus merelakan sebagian tenaga dalam dan hawa murninya merasuk ke dalam tubuh Mantili. Setelah menurunkan Aji Malih Rupa tersebut, Brama kembali berlatih dengan tekun untuk mengembalikan tenaga dalam dan hawa murninya. Brama berhasil menciptakan jurus baru yang diberinama PERUBAHAN TANPA WUJUD ( yang merupakan gabungan antara Ajian Serat Jiwa tingkat satu hingga tingkat sepuluh ).
Brama menuju Tegal Siawat – awat, tempat dimana adiknya melakukan PENYUCIAN DIRI dan menceritakan seluruh pengalamannya termasuk perkembangan kerajaan Madangkara. Maka, mereka bersepakat untuk kembali ke Madangkara.
..._____...
Shakila sudah terlelap, ia tampak memanjakan diri dalam buaian mimpi – mimpinya. Namun, berbeda dengan Garnis... Malam itu ia tampak gelisah sekali, sesekali tubuhnya berbalik ke kanan, sesekali berbalik ke kiri. Berulang kali hendak memejamkan mata, akan tetapi, seakan ada yang mengganjal kelopak mata membuyarkan kantuknya. Wajah ayahandanya, Brama Kumbara, itulah yang senantiasa terlintas di benaknya.
“Aneh, tidak seperti biasanya wajah Ayahanda dan Bibi Mantili selalu muncul di benakku. Ada apa dengan mereka ? Mungkinkah aku terlalu merindukan mereka ? Leuwung Hideung ( Tegal Siawat – awat ), disanalah Bibi Mantili melakukan PENYUCIAN DIRI. Hanya saja Ayahanda Brama tidak menyebutkan tempatnya dengan pasti. Jadi, percuma saja jika aku singgah ke hutan itu tapi, tak tahu menahu dimana Bibi Mantili berada,” Bersamaan dengan itu Dewi Garnis duduk bersila di pembaringannya, mencoba untuk melakukan TAPA.
Sementara itu di luar rumah, angin berhembus perlahan, membelai badan pegunungan di Kalapanunggal, menyapu awan dan kabut tipis yang menutupi wajah bulan. Dari arah Timur, seberkas cahaya kuning keemasan meluncur pesat, membelah udara bak anak panah terlepas dari busur. Sepersekian detik kemudian berubah menjadi gumpalan – gumpalan asap tipis, merayap masuk melalui celah – celah dinding anyaman bambu, menyebar ke berbagai penjuru ruangan. Colopala dan beberapa anak buahnya yang baru saja mengeluarkan pedati untuk dibenahi, mendadak merasakan kantuk yang luar biasa. Demikian pula Bu Sumi yang sedang membereskan peralatan dapur. Mereka semua merasakan kantuk yang luar biasa, roboh tak berdaya dan mendengkur saat itu juga.
Di ruangan lain, tempat Garnis dan Shakila berada, tubuh Garnis seakan dikelilingi oleh cahaya kuning keemasan, membentuk bola raksasa yang cukup besar. Gadis itu merasakan udara dingin dan sejuk, di hadapannya sudah berdiri seorang laki – laki tampan dan gagah, dia adalah ayah tirinya : BRAMA KUMBARA.
“Ayahanda Brama, saya Garnis menghaturkan sembah,” kata Garnis sambil memberi hormat.
“Sembahmu, aku terima Garnis ...” ujar Brama, “Aku sudah bertemu dengan bibimu, Mantili,”
“Oh, benarkah ? Bagaimana keadaan Bibi Mantili, Ayahanda ?”
“Beliau baik – baik saja. Jika kau ingin bertemu dengannya di Tegal Siawat – awat ( Leuwung Hideung ), aku akan membantumu. Tapi, dengan satu syarat,”
“Apakah itu, Ayahanda ?”
“Yang boleh menemuinya, hanyalah kau seorang diri,” jawab Brama singkat.
“Daulat, Ayahanda. Saya bersedia,”
“Bagus. Nah, untuk menemui bibimu, aku akan membacakan sebuah mantra. Karena tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya. Tidak seorang pun. Kecuali, mereka yang telah aku berikan mantra dan membacanya,”
“Mengapa demikian, Ayahanda ?”
“Untuk mencegah musuh – musuh lamanya yang masih menaruh dendam kepada Bibimu bermunculan. Itu akan mengganggu meditasinya untuk penyucian diri,”
“Saya memahaminya, Ayahanda. Terima kasih. Betapa senangnya hati saya bisa bertemu dengan beliau. Dan, saya akan menjaga rahasia ini dengan baik, dengan taruhan nyawa saya,” ujar Garnis sambil menoleh kesana – kemari, “Tapi, apakah kemunculan Ayahanda ini tidak diketahui oleh orang lain ?”
“Aku sudah menebarkan Sirep kepada mereka. Jangan khawatir. Nah, inilah mantranya dan kuharap ... kau bisa menghafal dan mengingatnya baik – baik,” sambil berkata demikian Brama mendekatkan bibirnya ke telinga Garnis dan berbisik. Garnis menganggukkan kepala, “Baiklah, Ayahanda ... saya sudah menghafalnya,”
“Bagus. Ingatlah pesanku baik – baik. Sementara, aku akan menemani bibimu, Rayi Mantili disana, setelah itu kami akan kembali ke Madangkara. Nah, sampai bertemu kembali, anakku,” ujar Brama. Perlahan – lahan, tubuhnya menghilang diantara dinding – dinding anyaman bambu.
Garnis membuka kelopak matanya, asap yang menyelimuti seisi ruangan perlahan – lahan memudar. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Shakila, gadis Hindustan itu masih tertidur pulas.
“Hm, Ilmu Ayahanda Brama sudah terlalu tinggi. Belum tentu semua orang bisa menerimanya dengan nalar dan akal sehat. Baiklah, setelah menemui Ki Danulung, aku akan mencari tempat dimana bibi Mantili melakukan tapa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ibunda Dewi Paramitha dan Dewi Harnum saat mengetahui Ayahanda masih hidup, segar bugar, gagah dan tampan tampak semakin awet muda,” gumam Dewi Garnis yang kemudian merebahkan tubuh dan memejamkan matanya. Kali ini, barulah ia bisa benar – benar menenangkan perasaan dan hatinya. Dalam waktu singkat, iapun tertidur.
Wajah rembulan tua timbul – tenggelam di balik awan bercampur kabut, seakan berjalan tertatih – tatih menuju Siwaratri di ufuk Timur. Para serangga dan hewan malam masih terdengar saling sahut, memadukan suara untuk menghantar malam menuju puncak Siwaratri, hingga cahaya jingga kemerahan merekah, membungkamnya; menggelitik sekawanan unggas yang masih terlena dalam mimpi dengan hawa dingin dan garis – garis putih tipis milik sang fajar.
Garnis terbangun saat sebagian garis sinar putih itu menerobos masuk melalui celah – celah dinding dan membelai lembut pipinya. Ia mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. Shakila masih tertidur nyenyak. Perlahan – lahan ia turun dari pembaringan, menuju bilik mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Sementara itu di halaman, nampak Colopala sedang memberi pengarahan pada beberapa orang yang tengah membenahi pedati. Sebagian memandikan kuda, sebagian lagi memasang atap pedati dengan rumbia.
“Selamat pagi, Paman Colopala,”
“Oh, Nona Garnis, Selamat pagi. Saya mohon maaf, seharusnya, pedati ini kami perbaiki semalam, sehingga sudah mengantar Nona berdua menuju Hutan Sancang ... Akan tetapi, entah mengapa mendadak kami diserang oleh rasa kantuk yang hebat, membuat kami semua terlelap. Mungkin, karena kami terlalu capek. Sekali lagi, kami mohon maf yang sebesar – besarnya,” kata Colopala dengan nada menyesal.
Garnis menatap ke arah Colopala yang sedang memasang dinding pedati pada sala satu sisinya. “Hm, tampaknya ... Ayahanda Brama sengaja membuat seluruh penghuni rumah ini tertidur pulas dengan aji Sirep. Aku benar – benar tidak bisa membayangkan, betapa tingginya ilmu beliau,” kata Garnis dalam hati.
“Paman ... memangnya, ada apa dengan pedati ini ?” tanya Garnis.
“Perjalanan dari Kalapanunggal menuju Hutan Sancang, cukup jauh, nona. Saya tidak ingin, di perjalanan nanti terganggu oleh hal – hal kecil. Dinding pedati, sebagian sudah kami rombak dengan bahan yang lebih baik, atapnya juga perlu diganti. Dengan demikian, para penumpangnya bisa lebih nyaman. Bisa merebahkan tubuh sejenak saat letih dan saya menambahkan sebuah kotak penyimpanan barang bawaan agar terhindar dari debu, hujan dan panas,” jelas Colopala.
“Bagi kami, ini terlalu mewah, Paman,” kata Garnis sambil berjalan mengelilingi pedati, sepasang matanya tajam mengamati setiap bagian pedati, “Tentunya, Paman sudah menghabiskan biaya besar untuk membenahinya, bukan ?”
“Nona Garnis, tidak perlu memikirkan hal itu ... bahan – bahan yang dipakai untuk membenahi pedati, semuanya tersedia disini. Cuma ini yang bisa saya lakukan untuk menebus kesalahan saya juga kekurang ajaran saya pada Nona berdua,”
“Sudahlah, Paman ... tak perlu mengungkit – ungkit hal itu, asal Paman benar – benar menyesal dan tidak mengulangi perbuatan Paman, itu sudah cukup. Lagipula, kami adalah kaum pengembara, berhadapan dengan banyak orang. Apalah gunanya kemewahan bagi kami, toh, bila saatnya tiba dan ajal menjemput, kemewahan itu adalah barang tak bertuan. Kutulusan hati Paman itu membuat kami terharu,” tukas Garnis.
“Paman Colopala, Kak Garnis,”
Sapaan itu mengejutkan mereka, seorang gadis cantik dan manis mengenakan pakaian kuning gading, berdiri tak jauh dari mereka. Gadis cantik berhidung mancung itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah : Shakila.
“Oh, nona Shakila, Selamat pagi,” sambut Colopala, “Anda tampak cantik sekali pagi ini. Maaf, seharusnya kita semua sudah berangkat ke Hutan Sancang, Rumah Ki Danulung, tapi, saya bangun kesiangan,”
“Tidak apa – apa, Paman... Oya, Bu Sumi titip pesan ... sarapan pagi sudah disiapkan, beliau minta tolong untuk memanggil paman – paman sekalian juga Kak Garnis masuk ke dalam untuk makan bersama,” kata Shakila.
“Terima kasih, Nona Shakila,” ujar Colopala, “Sebentar lagi kami datang, masih membenahi pedati ini. Lihatlah, tinggal menutup bagian atap yang berlubang itu,” sambungnya sambil terus bekerja memasang rumbia dibantu dengan Garnis, tak lama kemudian pekerjaan selesai.
“Nah, sudah selesai, nona ... terima kasih atas bantuannya sehingga pekerjaan ini cepat selesai. Sekarang, mari masuk, kasihan Bu Sumi, menunggu kita terlalu lama,”
Dewi Garnis dan Shakila menganggukkan kepala lalu mengikuti Colopala yang sudah berjalan menuju halaman depan. Aroma harum menyengat tercium saat tapak – tapak kaki mereka menapak pada anak tangga, membangkitkan rasa lapar di perut masing – masing.
Pada lantai di ruang tengah yang beralaskan tikar daun pandan, dimana diatasnya sudah tersaji beberapa makanan dan minuman. Daging ikan Mujair bakar, Lele dan ayam bakar berikut sayur – sayuran hijau yang segar, sambal tomat berwarna merah, dua bakul nasi putih hangat dan air kelapa muda. Semuanya ditata rapi, mengundang selera. Tanpa sadar Dewi Garnis dan Shakila menelan ludah, cacing – cacing di dalam perut berontak seakan tidak sabar menunggu datangnya makanan – makanan lezat dan nikmat itu. Setelah membersihkan tangan, barulah mereka duduk dan mulai menyantap makanan – makanan itu dengan lahap seraya bersenda gurau.
..._____ Bersambung _____...