Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bujukan Kotor
Tak terasa, tiga bulan sudah Alisa menjalani rumah tangga bersama Rendra. Alih-alih merasa dicintai, hati Alisa semakin tak karuan setiap kali menerima perhatian suaminya. Bukan berarti tak suka, ia hanya belum sembuh dari luka lamanya.
Perasaannya yang tidak jelas ini justru semakin diperparah oleh sikap Kaivan yang berubah manis di kantor. Pria itu tidak lagi menunjukkan sikap konfrontatif, melainkan keramahan manis yang sudah lama tak diperlihatkannya sejak Alisa menikah dengan Rendra. Di sela-sela waktu bekerja, terkadang ia mencuri kesempatan agar bisa dekat lagi dengan sang mantan.
Misalnya saja pagi ini. Baru saja Alisa tiba di ruangannya dan membuka laptop, Kaivan datang membawa secangkir kopi. Disuguhkannya kopi itu di meja Alisa, lalu duduk sambil mengembangkan senyum manis tanda ucapan selamat datang.
"Untuk apa kamu membawakan kopi ke ruanganku? Aku bisa menyuruh OB," ucap Alisa sembari melirik pada Kaivan.
"Bagaimanapun juga kamu ini kakak iparku. Bukankah wajar kalau aku berbuat baik pada istri dari kakakku ini?" dalih Kaivan.
"Begitu, ya?" Alisa mengangguk. "Baiklah, terimakasih atas perhatiannya, ya. Sekarang kamu boleh keluar dan lanjutkan pekerjaanmu."
"Tapi, aku belum mau pergi. Aku masih ingin membicarakan hal penting lagi sama kamu," tolak Kaivan dengan wajah memelas.
Alisa memutar bola matanya sambil mendengus. "Mau membicarakan apa lagi, hm? Ini waktunya bekerja, bukan ngobrol-ngobrol."
"Ayolah! Lima menit saja," pinta Kaivan.
"Baiklah. Kamu mau membicarakan apa?" ketus Alisa mendelik, lalu menatap lagi layar laptop.
"Aku perhatikan ... kamu belum kelihatan ada tanda-tanda kehamilan. Orang-orang satu divisi kita membicarakanmu loh! Mereka mengira kamu ini mandul karena belum kunjung hamil," tutur Kaivan menatap wajah Alisa dengan mengangkat kedua alisnya.
"Aku tau itu. Kenapa? Apa salah, jika aku belum kunjung hamil? Lagi pula, pernikahanku dan Kak Rendra baru menginjak tiga bulan, bukan tiga tahun," kata Alisa dengan datar.
"Ya, aku mengerti. Aku justru curiga, Kak Rendra memang nggak punya bibit bagus untuk membuahi sel telurmu. Makanya kamu susah hamil. Hm ... atau jangan-jangan kalian belum pernah menjalani malam pertama? Tapi itu rasanya tidak mungkin. Laki-laki dan perempuan dewasa tinggal dalam satu rumah, mustahil tidak melakukan hal yang romantis dan lebih intim, kan?" ucap Kaivan sambil menopang dagu dan menatap ke sudut kanan atas.
Alisa tetap fokus mengetik di laptop. Malas ia jika harus mendengar pendapat-pendapat konyol yang dilontarkan oleh Kaivan, apalagi menyangkut kehidupan pribadinya. Namun, di sisi lain, ia mengakui bahwa malam pertama sebagai suami istri memang belum pernah mereka jalankan, terlebih tidur di kamar terpisah membuatnya jarang bersentuhan dengan Rendra.
"Sudah cukup basa-basinya? Sebaiknya sekarang kamu keluar dan lanjut bekerja. Ini kantor, bukan kafe," tegur Alisa, menatap tajam pada Kaivan.
Kaivan tersenyum, sambil beranjak dari kursi. Alih-alih meninggalkan Alisa, ia berjalan mendekati sang mantan yang masih sibuk dalam mengurus dokumen penting. Kaivan merunduk, mendekatkan wajahnya di belakang telinga Alisa.
"Kalau kamu nggak bahagia menikah sama Kak Rendra, kita bisa kok balikan lagi kayak dulu. Kita jalani hubungan di belakang Kak Rendra dan Diana, lalu bersenang-senang dan memiliki keturunan. Gimana?" bisik Kaivan berusaha membujuk.
Alisa menggeram dan mengepalkan tangannya. Ia menggebrak meja, kemudian beranjak dari kursi, menatap Kaivan dengan tajam. Tanpa segan-segan, gadis itu menampar pipi Kaivan hingga meninggalkan bekas merah.
"Apa kamu pikir aku bisa diperdaya seperti Diana, ha? Aku tidak sebodoh itu, Kaivan!" bentak Alisa sambil menunjuk-nunjuk Kaivan.
Kaivan meringis dan mengusap pipinya. Ia mendesah kasar, lalu berkata, "Ayolah, Alisa! Kamu jangan terlalu polos dan naif! Bukankah menjalin hubungan gelap di belakang pasangan sudah biasa di kalangan karyawan?"
"Diam!" teriak Alisa memelototi Kaivan. "Aku bukan perempuan murahan seperti Diana. Aku hanya akan menyerahkan kesucianku pada Kak Rendra, suamiku. Bukan pria bajingan kayak kamu!"
"Baiklah, jika itu mau kamu, aku hormati itu," kata Kaivan tersenyum sinis.
"Sebaiknya begitu. Bukankah bersetubuh dengan perempuan lain di belakangku, sudah biasa kamu lakukan selama kita pacaran? Daripada terus-terusan mengganggu aku, lebih baik kamu cari saja perempuan lain yang bersedia dinodai. Paham?" tegas Alisa.
Kaivan mendesah kasar, lalu berjalan menuju pintu. Dengan langkah menghentak, pria itu meninggalkan ruangan kerja Alisa, membawa segenggam kekesalan di dalam dadanya. Kendati demikian, kepergiannya itu bukanlah akhir dari upayanya. Bagaimanapun juga rumah tangga Rendra dan Alisa harus hancur, pikirnya.
Sementara itu, Alisa duduk kembali di kursinya sembari menghela napas panjang dan menepuk-nepuk dadanya. Hampir saja ia terbujuk oleh rayuan manis Kaivan. Alisa mengakui, perasaannya masih bimbang. Namun, untuk kembali mengulang masa lalu bersama Kaivan bukanlah hal yang benar.
Sepulang dari kantor, seperti biasa Alisa dijemput oleh suaminya. Bergegas ia memasuki mobil, duduk bersebelahan dengan Rendra. Matanya menatap lurus ke depan, lalu terpejam dan menggelengkan kepalanya guna menyingkirkan kilasan kejadian buruk yang diterimanya dari Kaivan tadi pagi.
"Kamu kenapa, Alisa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rendra menatap istrinya dengan cemas.
Alisa mengembuskan napas pelan, lalu menoleh pada Rendra. "Aku baik-baik saja, Kak."
"Serius? Kalau nggak enak badan, sebaiknya kita langsung ke klinik," saran Rendra.
"Enggak, Kak. Sebaiknya antar aku ke toko kue saja," ucap Alisa.
"Oke." Rendra melajukan mobil meninggalkan kantor.
Sepanjang perjalanan, Alisa tak mengatakan sepatah kata pun. Ia bergelut dalam pikirannya sendiri. Berusaha menyembuhkan luka dan membuka hati untuk Rendra, atau membiarkan dirinya tenggelam dalam kepedihan masa lalu.
Sejenak, ia menatap suaminya yang masih menyetir mobil. Memikirkan segala kelebihan dari Rendra yang masih sulit melunakkan hatinya.
"Apa yang kamu pikirkan, Alisa? Apa ada masalah di kantor?" tanya Rendra sembari menyetir.
"Tidak. Aku hanya nggak ngerti, kenapa sampai saat ini masih sulit menerima Kakak sebagai suamiku. Apakah ada yang salah dalam diriku?" terang Alisa.
"Itu karena kamu masih belum mau melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Jika saja kamu mau menerima luka dan meredakan dendam pada Kaivan, mungkin kamu bisa melihat cinta yang ada, bahkan menjalani hidup dengan lebih baik. Lagi pula, aku tidak pernah menuntut kamu untuk diakui sebagai suamimu, kan?" tutur Rendra, sambil sesekali menoleh pada istrinya.
Alisa tersenyum getir sambil mengangguk pelan. "Aku minta maaf, ya."
"Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok. Tapi kalau kamu merasa kesepian, bilang saja. Nanti kita cari solusi bagus biar pernikahan kita terasa menyenangkan, hm?" ucap Rendra dengan santai. Matanya menangkap toko kue Alisa yang tidak jauh lagi jaraknya. "Ah, sebentar lagi kita sampai."
Setibanya di toko, Alisa segera mengecek berapa banyak kue yang terjual serta pendapatan hari ini. Seperti biasa, ia pergi ke dapur, memastikan pengolahan kue tetap higienis dan terjaga. Akan tetapi, Alisa tertegun tatkala hanya mendapati Ratri saja di dapur.
"Kok kamu sendiri? Mana Diana?" tanya Alisa, sembari merapikan toples yang sudah diisi kue kering.
"Diana ... dari tadi pagi bolak-balik ke toilet terus. Katanya masuk angin, tapi disuruh pulang nggak mau," jelas Ratri.
Tak lama kemudian, Diana kembali ke dapur dan tercengang mendapati Alisa berada di sana. Alih-alih melanjutkan pekerjaan, aroma kue yang begitu menyengat di hidungnya, membuat perut Diana terasa mual. Lagi-lagi, gadis itu bergegas ke toilet.
Alisa yang merasa kasihan dengan kondisi Diana, segera menghampiri gadis itu. Ia menarik tangan Diana sampai mereka saling berhadapan.
"Diana, aku antar kamu ke klinik, ya," bujuk Alisa menawarkan bantuan.
Dengan kasar, Diana menepis tangan Alisa, seraya berkata, "Kamu nggak usah sok peduli sama aku deh. Nanti juga ujung-ujungnya memojokkan aku lagi."
"Ayolah, Diana! Kondisi badan kamu lagi nggak baik-baik saja. Aku nggak akan memojokkan kamu, kok. Sebaiknya, kita ke klinik sekarang, ya." Alisa menatap wajah Diana lekat, berusaha meyakinkannya agar segera pergi berobat.
lanjut thorrrr.