Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 24: Pencurian Warisan Kuno dan Pengejaran Bai Luhan
Angin malam Wilayah Suci kembali berdesir dingin.
Di atas puncak hijau raksasa, markas utama Sekte Naga Hijau berdiri seperti naga batu yang melilit gunung. Pilar-pilar zamrud memancarkan cahaya spiritual yang menembus kabut malam, menciptakan lingkaran formasi berlapis-lapis.
Sekte itu tidak pernah tidur. Bahkan saat matahari tertutup awan perak, suara mantra dan senjata yang beradu masih terdengar samar di kejauhan.
Namun di balik ketenangan itu, sebuah bayangan bergerak di antara awan.
Yu Chen melayang dalam bentuk Tubuh Jiwa-nya, tak meninggalkan jejak Qi sedikit pun. Dalam wujud ini, tubuh fisiknya tertinggal jauh di gua terpencil Hutan Yuan Lin, terlindungi oleh formasi isolasi. Jiwa-nya kini sepenuhnya bebas — mengalir seperti angin, ringan seperti kabut.
Ia menatap benteng batu hijau yang dikelilingi formasi berbentuk naga.
“Jantung Sekte Naga Hijau... tempat mereka menyimpan semua rahasia mereka,” gumamnya perlahan. “Dan di sanalah Pecahan Kunci Abadi Kedua bersemayam.”
Bayangan ungu samar di punggungnya berdenyut. Tubuh Jiwa-nya bergetar lembut, mengeluarkan riak yang menyatu dengan udara. Ia mengarahkan jari, dan Pedang Abadi Kesembilan meluncur di udara, membelah kabut tanpa suara.
Dengan kekuatan Tubuh Jiwa (Tahap 12), ia bisa mengendalikan pedangnya dari jarak beberapa li tanpa perlu kontak fisik. Bilah itu bergerak seperti bayangan dirinya — cepat, presisi, dan tanpa suara.
Di bawahnya, lapisan formasi spiritual mengalir seperti sungai zamrud.
Yu Chen memejamkan mata sejenak, mengingat kembali pola formasi dasar Sekte Awan Hening yang dulu dia pelajari. Ia membaca arus Qi yang berputar, lalu menyelipkan pedangnya di antara dua titik simpul formasi.
Kilau pedang bergetar, memotong benang spiritual seperti jarum bedah yang tajam.
Tidak ada ledakan. Tidak ada alarm.
Lapisan pertama formasi perlahan terbuka, membentuk celah halus.
Yu Chen tersenyum kecil dan masuk.
---
Aula Warisan Sekte Naga Hijau terletak di bawah tanah — sebuah ruangan batu raksasa berbentuk lingkaran, penuh dengan prasasti kuno. Di tengahnya berdiri sebuah altar hitam, dan di atasnya mengapung benda kecil berwarna keperakan, berdenyut pelan seperti jantung yang hidup.
Itu bukan artefak biasa.
Begitu Yu Chen melihatnya, seluruh tubuh Jiwanya bergetar.
“Energi ini... mirip dengan yang ada di Kunci Abadi Pertama.”
Ia mendekat perlahan, merasakan arus energi murni mengalir ke arahnya. Suara halus bergema di dalam kepalanya — bukan suara manusia, tapi gema roh kuno.
"Pewaris langit... datanglah, dan buktikan jiwamu."
Seketika, udara di sekeliling altar bergetar hebat. Dari prasasti-prasasti di dinding, cahaya hijau menyala. Kabut spiritual berkumpul, lalu membentuk sosok besar — sesosok Penjaga dengan tubuh setengah transparan dan mata hijau menyala.
Penjaga Warisan Jiwa.
Makhluk itu menatap Yu Chen tanpa ekspresi, lalu mengangkat tangan. Gelombang spiritual raksasa melesat ke arah Yu Chen, menghantam Tubuh Jiwa-nya dengan kekuatan setara Tahap 14.
Yu Chen terpental ke udara, dinding batu bergetar, namun ia tidak hancur. Tubuh Jiwanya bergetar, tapi tetap utuh. Ia menatap Penjaga itu dengan tenang.
“Kalau kau adalah ujian dari langit,” katanya, “maka biarlah aku menjawabnya dengan pedangku.”
Pedang Abadi Kesembilan melayang ke depan, memancarkan cahaya ungu keemasan yang lembut. Bayangan naga samar muncul di bilahnya, berputar di sekitar Yu Chen.
“Nada Keempat – Getaran Jiwa Langit.”
Suara pedang menggema seperti musik.
Tidak keras, tapi menusuk ke dalam kesadaran.
Gelombang suara itu menghantam Penjaga, membuat tubuh spiritualnya bergetar, bentuknya bergetar seperti asap tertiup angin. Namun makhluk itu mengaum keras, lalu membalas dengan semburan energi murni.
Benturan dua kekuatan spiritual menciptakan badai tak terlihat. Batu-batu di altar retak, dan udara bergetar. Yu Chen memfokuskan semua kesadarannya, membentuk lapisan demi lapisan pelindung Jiwa. Tubuh Jiwanya berpendar ungu terang, lalu memecah arus serangan lawan.
Saat badai spiritual mereda, Penjaga Warisan berlutut perlahan.
Di matanya, cahaya hijau meredup, berganti dengan kilau lembut.
"Warisan diterima... Jiwa yang menolak takdir, layak memegang kunci kedua..."
Penjaga itu menghilang dalam kabut, meninggalkan hanya suara gema yang samar.
Yu Chen mendekat, lalu mengulurkan tangan. Artefak itu — sebuah pecahan berbentuk spiral dengan inti bercahaya ungu muda — perlahan melayang ke arah telapak tangannya.
Pecahan Kunci Surga Abadi Kedua.
Begitu ia menyentuhnya, gelombang energi halus masuk ke dalam pikirannya. Ia melihat bayangan naga purba berputar di langit, dan potongan ingatan kuno melintas cepat — seolah ada entitas lain yang menatapnya dari balik langit.
Namun sebelum ia sempat memahami semuanya, alarm spiritual meledak dari dinding.
Seseorang memasuki area luar.
---
“Siapa yang berani menerobos Aula Warisan Naga Hijau?!”
Suara itu bergema tajam, diikuti ledakan spiritual yang mengguncang ruangan. Yu Chen menoleh cepat. Dari langit-langit gua, sebuah bilah cahaya merah membelah udara. Aura yang keluar begitu kuat hingga membuat dinding batu bergetar.
Seorang wanita turun perlahan, rambut panjangnya berkilau keemasan dalam cahaya artefak. Matanya tajam seperti pedang, auranya bersih, dan di punggungnya tergantung pedang feniks berwarna merah menyala.
Bai Luhan.
Murid Inti Sekte Phoenix, salah satu dari Empat Sekte Agung.
“Jadi rumor itu benar,” katanya dingin. “Seseorang berani menyusup ke markas Naga Hijau. Aku tidak mengira pencurinya hanyalah seorang kelana berwajah muda.”
Yu Chen berbalik perlahan. Ia tidak menjawab, hanya menggenggam pedangnya lebih erat. Aura Bai Luhan begitu kuat — setidaknya Tahap 13, mungkin mendekati 14. Tekanan dari Jiwanya saja sudah cukup untuk menekan dinding ruangan.
“Aku tidak datang untuk sekte ini,” jawab Yu Chen datar. “Aku hanya mengambil sesuatu yang bukan milik mereka.”
Bai Luhan tersenyum tipis. “Alasan yang bagus untuk pencuri.”
Tanpa peringatan, ia menyerang. Pedangnya membentuk jalur cahaya merah seperti sayap feniks yang menembus udara. Serangannya indah namun mematikan; setiap goresan mengandung hukum api dan jiwa yang membakar.
Yu Chen mengangkat pedangnya. Tubuh Jiwanya bergetar halus, lalu membentuk dua bayangan sekaligus. Ia memutar pedang di udara, menangkis gelombang panas yang datang. Cahaya ungu bertemu merah, dan benturan spiritual menggetarkan seluruh gua.
Mereka bertarung cepat — terlalu cepat untuk mata biasa.
Hanya cahaya yang bersilangan, dan suara ledakan jiwa yang menggema berulang kali.
Bai Luhan menatapnya dengan ekspresi berubah.
“Kau... bisa menahan pedangku?” suaranya terdengar tidak percaya. “Tahap 12, tapi kau bergerak seperti Jiwa Tahap 14.”
Yu Chen tersenyum samar. “Karena aku tidak pernah mengandalkan tingkat.”
Mereka bertukar serangan lagi. Namun saat ruang mulai runtuh karena tekanan Qi, Yu Chen tahu ia harus pergi. Ia menyalakan formasi teleportasi kecil di gelang spiritualnya, lalu memantulkan pedang lawan dengan gerakan kilat.
Kilau ungu melesat ke langit.
Bai Luhan mencoba mengejar, tapi ruang spiritualnya sudah bergetar. Ketika cahaya itu menghilang, hanya sisa aliran Jiwa naga yang tersisa — panas, kuat, dan penuh misteri.
Wanita itu berdiri di tengah ruangan yang porak-poranda, menatap langit-langit yang retak. Matanya menyipit.
“Qi ini... bukan manusia biasa,” bisiknya. “Ada sesuatu yang lain. Seperti naga yang bersembunyi.”
Ia menatap arah utara, tempat aura itu lenyap.
Senyum tipis muncul di bibirnya. “Baiklah, pencuri naga. Lain kali, aku sendiri yang akan mengujimu.”
---
Di sisi lain, di dalam gua rahasia di Hutan Yuan Lin, Yu Chen membuka mata. Nafasnya tersengal, tapi senyum tipis muncul di wajahnya.
Di tangannya, Pecahan Kunci Abadi Kedua berkilau lembut, memancarkan cahaya perak yang menari-nari di dinding gua.
Begitu ia menyalurkan Qi ke dalamnya, pecahan itu beresonansi. Dunia spiritualnya bergetar hebat. Dalam pikirannya, muncul pola misterius — garis-garis berlapis yang membentuk jaring ruang dan jiwa.
Ia memejamkan mata, membiarkan kesadarannya tenggelam ke dalam pencerahan itu.
Energi mengalir deras ke tubuh Jiwanya, memperluas cakrawala spiritualnya. Ia bisa melihat aliran Qi dunia, bisa merasakan getaran dari partikel udara di sekitar, bahkan memahami bagaimana ruang dan jiwa saling berinteraksi.
“Jadi ini... hukum,” bisiknya. “Aku bisa merasakannya... Hukum Jiwa dan Ruang.”
Gelombang energi mengalir deras di dalam dirinya. Tubuh Jiwa-nya berkilau terang, dan dalam sekejap, batas spiritualnya menembus dinding tak terlihat.
Tahap 13.
Memahami Hukum.
Udara di dalam gua bergetar. Batu-batu kecil melayang, dan cahaya naga ungu muncul di sekelilingnya. Ia membuka matanya perlahan — dan di dalam bola matanya, terlihat refleksi dari dunia yang berlapis-lapis, dunia yang bisa ia raba dan kendalikan.
Namun di balik pencerahan itu, pikirannya tenang. Ia tahu setiap terobosan baru berarti dunia akan lebih memperhatikannya. Bai Luhan sudah melihat wajahnya, Paviliun Langit Gelap masih memburunya, dan Sekte Naga Hijau pasti menyadari kehilangan mereka.
“Waktuku di Wilayah Harimau Putih sudah habis,” gumamnya lirih.
Ia berdiri, menyimpan pecahan kunci di dalam formasi penyegel. Cahaya di gua meredup, lalu padam. Hanya satu titik cahaya ungu yang tersisa, melesat ke langit malam menuju arah selatan — ke Wilayah Burung Vermilion, wilayah Sekte Phoenix, dan ke takdir yang menunggunya di sana.