Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Between Us
Cahaya pagi menelusup masuk lewat celah tirai, menyapu lembut kulit Luna yang masih terbalut selimut. Ia mengerjap perlahan, membiarkan kesadaran kembali ke tubuhnya yang terasa sedikit pegal.
Sunyi. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada aroma parfum Xavier yang biasanya samar memenuhi udara.
Dengan malas, Luna duduk di ranjang, matanya mengitari ruangan. Kosong.
“Xavier?” panggilnya, suaranya serak.
Tak ada jawaban.
Luna beranjak, menarik hoodie longgar untuk menutupi tubuhnya, lalu berjalan keluar kamar. Langkahnya membawanya ke dapur—dan di sanalah ia menemukannya.
Di atas meja makan, sebuah piring berisi sarapan sehat telah tersusun rapi: omelet sayur, beberapa potong alpukat, dan secangkir kopi hitam masih mengepul pelan. Di sebelahnya, ada sebuah note kecil, ditulis dengan tangan.
"Ada operasi pagi ini, aku harus berangkat cepat.
Makanlah sebelum kau pergi.
—X"
Luna tersenyum kecil. Ia menarik kursi dan duduk, menikmati sarapan yang sudah disiapkan. Pikirannya melayang pada kejadian semalam—bagaimana Xavier, yang biasanya tenang dan terkendali, bisa berubah menjadi begitu brutal dan mendominasi.
Tawa kecil lolos dari bibirnya. Ia menggeleng pelan, seolah tak percaya.
Dengan santai, Luna mengambil sepotong alpukat, menyuapkannya ke mulut, lalu menyesap kopinya yang masih hangat.
*
Sementara itu, di sisi lain kota, di rumah sakit, suasana sama sekali berbeda.
Di ruang operasi bersuhu dingin, Xavier berdiri di bawah cahaya lampu bedah. Matanya tajam, fokus penuh pada prosedur yang sedang ia jalankan.
Tangannya cekatan, memotong kulit perut pasien dengan sayatan presisi menggunakan skalpel bedah.
Di sekitarnya, tim medis bergerak dengan terkoordinasi—seorang perawat menyerahkan instrumen steril, sementara anestesiologis mengawasi monitor detak jantung pasien.
"Sayatan sempurna, Dokter Xavier," komentar asisten bedah, mengagumi ketenangannya.
Xavier tidak membalas. Fokusnya tidak goyah, seolah dunia di sekitarnya menghilang, hanya tersisa pasien dan dua nyawa kecil yang menunggu untuk dilahirkan.
Dengan hati-hati, ia membuka lapisan demi lapisan jaringan hingga mencapai rahim.
"Kontraksi mulai melemah," kata bidan di sampingnya, memperingatkan.
"Ayo, kita percepat," jawab Xavier, suaranya dalam dan penuh otoritas.
Dengan gerakan terampil, ia membuat sayatan di dinding rahim. Darah mengalir, namun tim medis segera mengontrolnya. Xavier menyelipkan tangannya perlahan, lalu dengan satu tarikan lembut namun mantap, ia mengangkat bayi pertama—seorang bayi laki-laki yang langsung menangis keras saat keluar dari rahim.
"Bayinya laki-laki!" seru perawat gembira.
Bayi itu segera dibawa ke meja resusitasi untuk dibersihkan dan diperiksa.
Xavier melanjutkan, memasukkan tangannya sekali lagi untuk mengeluarkan bayi kedua—seorang bayi perempuan mungil, yang juga menangis begitu napas pertamanya memenuhi paru-parunya.
"Kembar sepasang, Dokter!" ujar asisten lain, wajahnya berseri.
Xavier menarik napas panjang. Ada senyum kecil, hampir tak terlihat, di sudut bibirnya.
Kelahiran selalu membawa sensasi aneh di hatinya—keajaiban kecil yang tak pernah gagal menggetarkan jiwanya, meski hidupnya sendiri penuh kekacauan.
Begitu kedua bayi dinyatakan stabil, Xavier fokus pada penutupan luka. Setiap jahitan dilakukan dengan presisi, memastikan pasien bisa pulih dengan baik.
"Selesai," katanya akhirnya, melepaskan sarung tangannya.
Ruangan terasa lega setelah ketegangan panjang.
Xavier menatap kedua bayi itu sejenak dari jauh—dua makhluk kecil yang baru saja memulai perjalanan mereka di dunia ini.
Kemudian, tanpa banyak kata, ia meninggalkan ruang operasi, berjalan menyusuri koridor putih rumah sakit, matanya kosong.
Dalam pikirannya, bayangan wajah Luna melintas...
Tawa kecilnya, tatapan matanya yang bingung, dan sentuhan hangat yang membuat Xavier lupa bagaimana rasanya sendirian.
Xavier bertanya pada dirinya sendiri—apa mungkin, bahagiaku memang ada di sana?
Bersama Luna.
Sebuah tepukan di bahunya membuat Xavier tersentak. Ia menoleh cepat, mendapati wajah santai Aaron di belakangnya.
Lagi-lagi Aaron. Selalu saja muncul tanpa aba-aba.
"Kekantin?" ajaknya santai, kedua tangannya diselipkan ke dalam saku jas putihnya.
Xavier mendengus kecil, mengangguk. "Tentu. Aku butuh energi untuk operasi kedua."
Mereka berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit, melewati lorong-lorong yang mulai dipadati pengunjung dan staf medis. Aroma kopi dan roti panggang menyambut mereka saat pintu kantin terbuka.
Xavier memilih duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya. Tempat di mana pandangan tidak mudah dijangkau orang lain.
Aaron memesan dua cangkir kopi hitam dan sepasang sandwich, lalu menyerahkannya pada Xavier tanpa banyak tanya.
Mereka makan dalam diam beberapa saat, sampai akhirnya Aaron membuka suara, dengan nada santai namun penuh maksud.
"Aku ingat," katanya sambil memutar cangkir kopinya perlahan. "Dulu aku pernah lihat kau... bersama seorang wanita."
Xavier hanya mengangkat alis, tidak langsung menanggapi.
"Dia... mungil, rambutnya agak bergelombang, tawanya keras—susah untuk dilupakan," lanjut Aaron, setengah tersenyum.
Xavier mengunyah pelan, pura-pura tidak tertarik. Tapi Aaron bukan orang bodoh. Ia bisa membaca bahasa tubuh sahabatnya itu lebih baik daripada siapa pun.
"Luna, kan?" tebak Aaron akhirnya, mempersempit lingkaran.
Xavier meletakkan sandwichnya, menatap Aaron datar. "Dan kalau iya?"
Aaron terkekeh, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Tenang saja. Aku cuma penasaran." Ia menyeruput kopinya sebelum menambahkan, "Kau tahu, jarang sekali aku lihat kau begitu... rileks dengan seseorang."
Xavier menyandarkan punggung ke kursi, matanya mengarah kosong ke jendela. "Dia teman."
"Hanya teman?" Aaron mengangkat alis meragukan.
Xavier tidak menjawab. Heningnya cukup memberi jawaban.
Aaron tertawa kecil. "Kalau aku boleh menebak, sepertinya hubungan kalian lebih dari sekadar teman. Dan kau... tampaknya, bodoh sekali jika membiarkan dia pergi."
Xavier mengetukkan jarinya di atas meja, tanda ketidaksabaran.
"Aaron," katanya datar. "Kau pikir, hubungan semacam itu sesederhana memilih sarapan pagi?"
Aaron hanya mengangkat bahu, tidak membantah. Ia tahu Xavier terlalu keras kepala soal perasaan.
"Kadang," kata Aaron sambil berdiri, membawa nampannya ke tempat sampah, "yang membuatnya rumit... cuma kau sendiri."
Xavier terdiam, menatap punggung Aaron yang menjauh.
Ucapan itu, entah kenapa, menancap lebih dalam dari yang ia mau akui.
Dan entah kenapa, di antara kelelahan operasi dan hiruk pikuk rumah sakit, setiap kali memikirkan Luna, ia akan tenang.
Suasana rumah sakit yang biasanya hiruk-pikuk terasa sedikit lebih berat pagi itu, seolah udara sendiri membawa firasat aneh.
Xavier dan Aaron baru saja keluar dari kantin, berjalan santai kembali menuju ruang bedah saat suara gaduh menghentikan langkah mereka.
"CEPAT! KESINI! KODING BIRU!"
Teriakan para perawat menggema di sepanjang lorong, mengiringi masuknya sebuah ranjang darurat—bad—yang didorong dengan kecepatan penuh. Seorang pasien tergeletak di atasnya, tubuh berlumuran darah, peralatan medis bergelantungan di sisi ranjang, monitor jantung berbunyi resah.
Xavier dan Aaron reflek menepi, memberi jalan.
Dalam sepersekian detik saat bad melintas di depan mereka, sesuatu jatuh ke lantai—sebuah saputangan kecil berwarna krem, dengan bordir huruf "L" di sudutnya.
Xavier menunduk, pandangannya membeku.
Itu... saputangan Luna.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰