Bercerita seorang yang dahulu di beri julukan sebagai Dewa Pengetahuan dimana di suatu saat dirinya dihianati oleh muridnya dan akhirnya harus berinkarnasi, ini merupakan cerita perjalanan Feng Nan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24:Akhir Lelang
Suara palu Bai Heng menggema sekali lagi, menandakan bahwa item sebelumnya telah terjual. Lampu kristal giok di langit-langit meredup, menciptakan atmosfer yang lebih tegang.
Kemudian, dua pria berjubah hitam membawa sebuah peti panjang berlapis formasi segel ke tengah panggung. Setiap langkah mereka menimbulkan gema berat. Bai Heng menunggu hingga semua mata tertuju padanya sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Sret—
Kain merah tua disingkap. Kilatan tembaga kusam menyemburat, bukan karena pantulan cahaya, tapi karena tekanan Qi tua yang menyesakkan keluar dari bilah itu seperti embusan nafas raksasa kuno yang baru terbangun dari tidur panjangnya.
Pedang itu tampak sederhana. Bilahnya berwarna perunggu dengan noda-noda kehitaman di beberapa bagian. Tak ada ornamen mewah, hanya ukiran samar menyerupai urat-urat logam yang seolah hidup.
Namun saat itu juga, seluruh aula seakan ditindih oleh tekanan yang tidak terlihat.
Beberapa peserta dari sekte kecil bahkan merasakan dada mereka sesak.
Salah satu tetua dari Sekte Pilar Batu berdesis sambil menekan dada. “Ini... bukan pedang biasa. Ini pernah minum darah... banyak darah.”
Bai Heng berbicara, suaranya kali ini lebih dalam, membawa semacam wibawa magis.
“Pusaka terakhir malam ini. Pedang Perunggu Kuno—asal-usulnya tidak diketahui, namun berdasarkan investigasi spiritual oleh penilai tertinggi kami, senjata ini pernah digunakan dalam konflik berdarah pada masa Perang Roh Purba. Sisa aura yang tertinggal mengindikasikan bahwa ia menyimpan bekas kehendak dari pemilik terdahulu.”
Di beberapa bilik VIP, para tetua mulai mencondongkan tubuh ke depan. Beberapa bahkan mengaktifkan teknik pengamatan untuk meneliti pusaka itu secara langsung. Namun... semua formasi yang dipakai langsung terpental.
“Formasi pengintai gagal?” gumam salah satu tetua Sekte Awan Ungu, wajahnya berubah serius.
Bai Heng melanjutkan. “Kami tidak akan banyak bicara. Harga awal: dua puluh ribu koin emas. Tawaran dibuka... sekarang.”
Seketika, keheningan itu pecah.
“Dua puluh lima ribu!” seru perwakilan dari Paviliun Perisai Langit.
“Tiga puluh dua ribu!” sahut suara wanita dari Bilik VIP 3—utusan dari Keluarga Nalan.
“Tiga puluh delapan ribu!” sergah pria tua dari Sekte Pisau Petir.
“Empat puluh lima ribu!” teriak suara berat dari Bilik VIP 6, pemiliknya diyakini sebagai salah satu dari tiga Wakil Penatua dari Istana Darah Es.
Riuh tepuk tangan kecil dan teriakan terkejut menggema. Para pengamat menyadari bahwa para raksasa wilayah ini mulai menunjukkan taring mereka. Beberapa tokoh netral memilih diam, takut menjadi korban api silang dari kekuatan besar.
“Lima puluh lima ribu!” teriak utusan dari Lembah Guntur Hitam.
“Enam puluh ribu!” Suara wanita dari Keluarga Nalan tak mau kalah. Nada suaranya mulai panas.
Tapi belum sempat harga berikutnya keluar...
Bilik VIP 9 yang sejak awal diam, akhirnya membuka suara.
Suara itu tenang.
Datar.
Dingin.
“Seratus ribu koin emas.”
Seketika, aula meledak dalam kekacauan.
“GILA!”
“Siapa itu?!”
“Langsung lompat dua kali lipat?!”
Wajah Bai Heng sedikit berubah, tapi ia menunduk hormat ke arah bilik VIP 9, lalu mengangkat palunya setengah.
Bilik itu... milik Feng Nan.
Sementara di atas, di salah satu ruang pengamatan, Ru Lan menyipitkan mata dan tersenyum kecil. “Akhirnya kau bergerak juga... Feng Nan.”
Di bawah, suasana makin panas.
Salah satu tetua dari Paviliun Perisai Langit berdiri dari tempat duduknya. “Apa kau pikir bisa menginjak kehormatan kami hanya dengan uang, bocah tengik?!”
Namun dari bilik Feng Nan tak terdengar jawaban. Hanya keheningan.
Hening yang lebih tajam dari seribu pisau.
“Seratus dua puluh ribu!” bentak wakil dari Istana Darah Es. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya merah padam.
Namun sesaat kemudian, suara lembut kembali terdengar dari Bilik VIP 9.
“Dua ratus ribu koin emas.”
"Sialan Dua ratus sepuluh ribu koin emas,"ucap perwakilan Istana Darah Es.
Ledakan energi Qi tak terkendali pecah dari balik ruang Wakil Istana Darah Es. Formasi pelindung aktif, dan para penjaga mendadak waspada.
Ruangan bukan lagi tempat lelang biasa. Ini sudah menjadi ladang uji kekuasaan tersembunyi.
Namun Bai Heng tetap berdiri tegak.
Ia tahu—malam ini, Lelang Langit Tengah akan tercatat dalam sejarah.
Setelah jeda yang panjang, tanpa ada penawaran lanjutan, Bai Heng mengangkat palunya.
Tiga kali dentang keras menggetarkan udara.
“Terjual! Kepada... Perwakilan Istana Darah Es!”
Feng Nan yang mendengarnya tersenyum kecil karena dengan hanya kedua barangnya tadi dia mendapatkan cukup banyak koin emas, dan semakin menambah kekayaanya.
Beberapa saat setelah pelelangan usai, pelayan pribadi datang ke bilik Feng Nan.
“Tuan Feng, Nona Ru Lan ingin bertemu Anda di ruang kehormatan lantai atas.”
Feng Nan hanya mengangguk ringan. Langkahnya tenang saat melewati lorong-lorong berhias lampion berlapis giok. Bangunan lelang ini bukan hanya simbol kemewahan—ia adalah benteng rahasia informasi. Dan Ru Lan, sang manajer utama, adalah penjaga segala rahasia yang terucap dan tak terucap di dalamnya.
Sesampainya di ruangan khusus di lantai tertinggi, Feng Nan duduk dengan tenang di sofa rendah dari kayu hitam langka. Tak lama kemudian, pintu geser dari kayu wangi terbuka, memperlihatkan sosok wanita berselendang ungu dengan langkah ringan dan suara gemerincing halus dari gelang peraknya.
Ru Lan. Wanita yang disebut-sebut sebagai jantung dari Lelang Langit Tengah. Cantik dengan cara yang anggun dan tidak mencolok, tapi tajam seperti pisau tersembunyi. Ia sudah berada di puncak dunia perdagangan barang langka sejak dua dekade lalu, dan tak ada satu sekte besar pun yang tak pernah bersinggungan dengannya.
Namun malam ini, tatapan matanya berbeda.
Bukan sekadar penilai dagang yang memeriksa kualitas seorang klien, melainkan... rasa ingin tahu yang dipertajam oleh insting seorang pemburu informasi.
“Tuan,” sapanya dengan senyum tipis, suaranya selembut desir kain sutra. Ia duduk tanpa basa-basi, menyilangkan kaki dan menuangkan teh dari teko perunggu.
Feng Nan tak menoleh. Tatapannya tetap tertuju ke jendela kaca besar, memandangi langit malam kota.
Ru Lan menyesap teh dengan anggun, lalu berkata lebih pelan, “Orang-orang biasanya menyembunyikan identitas karena takut. Tapi Anda justru seolah ingin dilihat.”
“Aku hanya tidak melihat perlunya bersembunyi,” jawab Feng Nan tenang, akhirnya menerima cangkir teh dari meja.
“Apa Anda selalu seterbuka ini, Tuan?” tanyanya ringan, nada suaranya dibuat seperti gurauan. “Atau hanya kepada wanita yang menawarkan teh hangat di malam dingin?”
Feng Nan menoleh sedikit, sorot matanya datar namun tajam. “Aku tidak suka permainan basa-basi, Nona Ru.”
Ru Lan tersenyum, tidak terganggu. “Bagus. Aku juga tidak terlalu suka kebohongan yang dibalut manis.”
Ia menyandarkan dagunya di telapak tangan, matanya menelusuri wajah Feng Nan. “Sejujurnya... saya tidak tahu banyak tentang Anda. Bahkan ketika Anda menitipkan pusaka itu untuk dilelang, Anda tidak meninggalkan jejak yang bisa saya telusuri. Dan itu... membuat saya penasaran.”
“Penasaran adalah awal dari kesalahan,” sahut Feng Nan tanpa emosi. “Terkadang, semakin tahu... semakin besar bahaya yang menunggu.”
Ru Lan tertawa kecil. “Mungkin. Tapi hidup saya sudah lama dikelilingi bahaya. Saya hanya ingin tahu satu hal saja—”
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Mengapa Anda menyerahkan pusaka itu malam ini? Dan mengapa Anda ingin semua orang tahu bahwa Anda yang melakukannya?”
Feng Nan tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar cangkir teh di tangannya, sebelum akhirnya berkata pelan, “Karena sudah waktunya sesuatu bergerak.”
Ru Lan mengamati lelaki itu dengan tatapan penuh kalkulasi. “Dan kau ingin menjadi pusat dari gerakan itu?”
“Aku hanya membuka pintu,” jawabnya. “Apa yang masuk atau keluar darinya... bukan urusanku.”
Untuk sesaat, keheningan mengisi ruangan.
Lalu Ru Lan mengangkat cangkirnya, bersulang ke arah Feng Nan. “Tapi Anda tahu, Tuan Feng... di dunia seperti ini, siapa pun yang membuka pintu... cepat atau lambat akan dipaksa memilih sisi.”
“Aku tidak pernah takut memilih sisi,” balas Feng Nan. “Yang kutakutkan hanya jika dunia terlalu sempit untuk pilihanku.”
Senyum Ru Lan semakin dalam, namun tatapannya tetap tajam. “Jawaban yang menarik. Saya yakin... Anda bukan orang biasa.”
Feng Nan bangkit, merapikan jubahnya. “Dan saya yakin Anda sudah tahu cukup banyak untuk menyadari bahwa semakin banyak Anda bertanya... semakin Anda terlibat.”
Ia menatap wanita itu sejenak. “Terima kasih untuk tehnya.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berjalan keluar.
Ru Lan tidak menghentikannya.
Ia hanya menatap punggung Feng Nan yang menjauh, lalu membisik pada dirinya sendiri, “Semakin banyak misteri, semakin manis rasanya saat terpecahkan...”
Di luar, angin malam menyambut Feng Nan di balkon tinggi. Di kejauhan, kota Chengyu bersinar seperti hamparan bintang di bumi—penuh cahaya, penuh tipu daya.
Satu pusaka tua telah keluar dari tempat persembunyiannya.
Dan bersama dengannya...
Satu permainan yang lebih besar mulai bergerak.