Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja Penuh Luka
"Bu Sitha adalah wanita yang kuat, tapi bersamaku kini Bu Sitha menunjukkan kelemahan atau luka hatinya tidak apa-apa," kata Dharma.
Sitha tersenyum sembari menyeka sendiri air mata di wajahnya. Lalu, gadis itu perlahan-lahan bercerita.
"Awalnya malam itu waktu gathering, aku ingin mencari jamu masuk angin. Udara dingin di Sarangan membuatku menggigil. Lalu, hampir tengah malam aku keluar. Tak jauh dari ruangan P3K, aku melihat kejanggalan di mobil Mas Danu. Aku mengendap-endap dan mendekatinya perlahan, mobilnya terasa bergoyang. Rupanya Mas Danu dan Ambar di sana. Melakukannya di dalam mobil itu. Dia pikir kaca mobil yang gelap membuat seseorang tak bisa melihatnya dari luar. Aku melihat tangan Ambar berada di kaca jendela mobil. Perih rasanya ketika aku melihat semuanya. Namun, aku merasa mungkin itu adalah cara semesta menunjukkan bahwa yang membersamaimu, yang dekat denganmu, belum tentu orang yang baik dan benar-benar tulus. Sama seperti tunanganku dan sahabatku yang bermain di belakangku. Merasa menusukku dari belakang."
Suara Sitha tidak bergetar, tapi air terus berlinang. Dharma turut mendengarnya. Kenapa menurut Dharma, gadis itu terlihat rapuh. Niat hati ingin merengkuh si gadis yang terluka itu. Namun, Dharma tak memiliki keberanian.
"Kedua kalinya, aku memergoki mereka bercumbu usai sepulang kerja. Di belakang pabrik. Aku ingin mengumpat dalam hati, dan menangkap basah mereka. Senja waktu itu selalu penuh dengan luka. Orang-orang yang dekat, ternyata hanya menyakiti. Akan tetapi, aku tidak melakukannya. Aku biarkan mereka, dengan harapan suatu saat mereka akan berbicara jujur kepadaku. Sayangnya, keduanya tak pernah jujur dan selalu melakukan tindakan seperti itu dengan sembunyi-sembunyi. Puncaknya, dua hari yang lalu, Mas Danu mengirimkan pesan kepadaku dan meminta HS dulu sebelum akad. Dia berdalih tidak akan kabur dari pernikahan ini dan akan bertanggung jawab. Rasanya menjijikkan sekali. Aku hanya ingin lepas dari pria sepertinya. Membatalkan pernikahan adalah hal terbaik. Bisa saja dia menikahiku, lalu di belakangku dia tetap meniduri Ambar."
"Sebelum janur kuning benar-benar melengkung di depan rumah, aku masih bisa mengambil langkah. Walau sekarang pun, Rama dan Ibuku juga mendapatkan malu karena pernikahan putrinya gagal hanya beberapa hari jelang akad. Namun, dalam pernikahan nanti jika aku terluka berkepanjangan, aku yakin Rama dan Ibuku yang akan lebih terluka. Mereka akan merasa bersalah karena aku mendapatkan jodoh yang memberi luka dan meniduri wanita lain. Nggrantes rasanya," kata Sitha.
Nggrantes adalah makna dalam bahasa Jawa yang menggambarkan hati yang meratap dengan sangat sedih. Ya, ketika anak gagal dalam pernikahannya sejatinya orang tua juga sangat terluka. Tak jarang sakit hati berkepanjangan membuat seseorang merasakan sakit secara fisik.
Lega rasanya ketika Sitha bisa membagi semuanya. Hatinya merasa lega. Bahkan untuk menjaga nama Danu dan keluarga Sutjipta saja Sitha tak menjelaskan semuanya ini kepada keluarganya.
"Bu Sitha." Dharma berbicara perlahan. Dharma merasa juga bersedih, nggrates apabila Sitha tidak bahagia dalam pernikahannya. Sekalipun tidak bisa memiliki, tapi Dharma mendoakan kebaikan untuk Sitha.
"Aku menyedihkan yah, Mas?" Gadis itu bertanya dengan menunjukkan senyuman di wajahnya.
Dharma menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ibu adalah wanita tangguh. Tidak semua wanita berani mengambil langkah seperti ini, apalagi hanya menyisakan beberapa hari sebelum akad. Tak jarang akan mengambil langkah karena persiapan pernikahan sudah 100%. Hanya tinggal menunggu hari H."
"Aku tidak mau tersandera dengan suami toxic yang sangat bisa meniduri wanita-wanita lain di luar sana. Aku bahkan lebih gila, kalau tidak ada pesan minta HS, aku akan membatalkan pernikahan di hari akad. Aku gila kan, Mas?"
Ya, memang sudah Sitha rencanakan kalaupun hari akad berlangsung, dia akan membatalkan di saat itu juga. Membuka semua tindakan Danu dan Ambar. Ternyata justru ada pesan minta HS, sehingga Sitha memutuskan untuk membatalkan pernikahan saat itu juga. Setidaknya kalau tidak di hari H, keluarga tidak akan mendapatkan terlalu banyak malu.
"Bu Sitha, kalau itu terjadi mereka yang tidak suka akan menertawakan Bu Sitha," balas Danu.
"Bukankah Ambar sudah menertawakanku dan menganggapku bodoh karena aku pura-pura tidak tahu? Bahkan Mas Danu juga menganggapku bodoh," balasnya.
Bagi Dharma, senja itu penuh luka. Ketika dia mendengar semua luka hati Sitha. Sitha yang terluka, tapi Dharma juga merasakan sakitnya.
"Bu Sitha tidak bodoh kok. Bu Sitha itu sangat berharga."
Sitha kemudian melirik kepada Dharma. "Terima kasih sudah mau mendengarkanku. Terima kasih sudah berusaha menolongku tadi."
"Sama-sama, Bu Sitha."
Dharma berbicara dalam hatinya, memanglah sosok Sitha ini sangat kuat. Sekali pun dia terluka, tapi berusaha untuk menahannya sendiri. Padahal luka itu dibagi pun tidak masalah.
"Akhir pekan nanti Bu Sitha ada acara tidak?" tanya Dharma.
"Tidak ada. Ada apa, Mas?"
"Kalau Bu Sitha bisa mau melihat pagelaran wayang orang di Pamedhan Mangkunegaran besok Sabtu? Siapa tahu bisa menyembuhkan luka di hatinya Bu Sitha," katanya.
Sitha sendiri terkekeh perlahan. Dia kemudian melirik Dharma. "Kalau mau mengajakku keluar, Mas Dharma berani enggak minta izin sama Rama dan Ibu? Kalau Mas Dharma berani dan orang tua mengizinkan, aku akan melihat pagelaran wayang orang itu dengan Mas Dharma," katanya.
Dharma menunduk, sekadar mengajak menonton wayang orang ternyata harus meminta izin kepada Bapak Bima terlebih dahulu. Terlihat Dharma seperti berpikir, sampai Sitha kembali berbicara.
"Ya sudah, kalau tidak mau. Aku gak ...."
"Berani. Aku berani kok Bu Sitha," balasnya.
Sitha kemudian terkekeh geli. Sedangkan Dharma menunduk dan tersenyum. Apa yang Sitha sampaikan sekarang tak ubahnya seperti tantangan. Kali ini, Dharma akan mencoba peluang yang dia miliki.
..
Danu nya sdh berubah ke arah yg lebih baik, lha Ambar nya masih aja ngomongin duit duit duit.
enteng banget ngomong minta pisah, nanti kalo dituruti Danu berpisah nangis
biarkan saja si Ambar yg kere itu melanjutkan hidupnya sendiri dgn mimpi2nya