Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kamus Bahasa Wanita
Sejujurnya, Ustadz Amar juga tidak mengerti kenapa dia bisa semarah itu hanya karena Syahla diantar pulang oleh kakak tingkatnya. Padahal, biasanya dirinya adalah orang yang berpikir rasional dan tidak langsung bertindak hanya berdasarkan perasaannya semata. Apalagi, kali ini memang benar salahnya. Saat Syahla menelpon, dirinya sedang asyik memeriksa hasil test mahasiswanya dan ponselnya dalam keadaan silent. Barulah setelah adzan maghrib terdengar, dia menyadari istrinya belum pulang dan buru-buru pergi menyusul meski sudah terlambat.
Ragu-ragu, Ustadz Amar berdiri di depan pintu kamar Syahla. Mengetuk pintu pelan-pelan.
"Hm," jawab Syahla dari dalam kamarnya.
"Maaf, saya tadi marah-marah sama kamu. Kamu sudah makan?"
"Hm,"
"Sudah sholat maghrib?"
"Hm,"
Ustadz Amar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Saya tadi beli roti bakar. Kamu mau?"
"Nggak,"
"Kalau gitu, saya habiskan ya?"
Hening sejenak. Beberapa saat kemudian, Syahla kembali menjawab dengan satu kata andalannya. "Hm,"
Ustadz Amar menyadari istrinya benar-benar marah. Akhirnya menyerah dan memilih memakan roti bakarnya sendirian.
Di dalam kamar, Syahla memainkan jari-jarinya di atas keyboard dengan tidak fokus. Bau roti bakar tercium dari arah dapur. Membuat ia menelan ludah. Dia sebenarnya ingin menjawab 'mau' saat tadi Ustadz Amar bertanya. Tapi, ya gengsi lah!
Pada akhirnya, Syahla baru keluar dari kamar setelah jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan langkah berjinjit, ia berjalan menuju dapur.
Syahla membuka kotak kue di atas meja dan melotot karena sudah tidak ada apa-apa di dalam sana.
"Kosong?" seru Syahla shock. Dia membuka kotak yang lain dan isinya sama, tidak apa apa-apa di dalamnya.
"Kenapa?" Ustadz Amar yang sedang bersantai di dalam kamar membuka pintu saat mendengar suara dari arah dapur.
Syahla langsung menatap suaminya marah. "Roti bakarnya Om Suami habisin?"
Ustadz Amar menganggukkan kepalanya bingung. "Iya, kan tadi Istri bilang nggak mau,"
"Dasar nggak peka!" ucap Syahla kesal. "Kalau saya bilang nggak mau itu bukan berarti nggak mau beneran!"
"Hah? Gimana?" Ustadz Amar bertanya kebingungan.
"Dah, ah! Males!" Syahla menghentakkan kakinya dan kembali masuk ke dalam kamar, meniggalkan Ustadz Amar yang masih menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya, Ustadz Amar harus mulai mempelajari kamus bahasa wanita sekarang.
...----------------...
Paginya, Syahla pergi ke kampus dengan tangan penuh. Ia membawa laptop hari ini untuk menyelesaikan tugas presentasi sekaligus membuat artikel hasil wawancara kemarin. Melihat Syahla yang repot dengan buku-bukunya, Ustadz Amar menawarkan diri.
"Sini, biar saya bawakan sampai ke kelas,"
"Jangan," tolak Syahla mentah-mentah. "Nanti teman-teman pada ribut."
"Memang kamu bisa bawa semuanya?"
"Bisa," jawab Syahla yakin. Saat kakinya melangkah keluar dari mobil, salah satu bukunya terjatuh. Syahla berusaha meraih dengan satu tangan, tapi buku yang lain malah ikut terjatuh semua.
"Duh," Syahla berjongkok dan memunguti bukunya satu persatu. Sebuah tangan kemudian terulur membantunya.
"Banyak banget bukunya Dek Lala,"
Syahla melihat ke asal suara dan terlihat Kak Rama sudah berjongkok di depannya sambil tersenyum. "Kenapa sih bawa buku banyak banget?"
"Buat ngerjain tugas Kak," Syahla menjawab sambil menerima uluran buku dari Kak Rama. "Makasih ya Kak."
"Sama-sama. Oh, halo Pak Amar,"
Syahla serta merta menoleh ke belakang dan mendapati suaminya sudah menatap mereka tajam.
"Eh, saya sudah telat nih. Saya pergi dulu ya," Tanpa memperdulikan kedua lelaki itu, Syahla langsung bergegas menuju ke kelas sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ditinggalkan oleh Syahla, dua laki-laki itu saling bertatapan dalam diam.
"Anda itu memang tipe Om yang posesif sama keponakannya ya," ujar Kak Rama memulai peperangan.
Ustadz Amar tersenyum miring. "Saya berbuat seperti itu untuk mencegah dia berhubungan dengan laki-laki tak bertanggungjawab,"
"Maksud Anda, saya tidak bertanggungjawab?"
"Loh, memangnya saya ada bilang kalau laki-laki itu kamu?" Ustadz Amar melangkahkan kakinya mendekati Kak Rama. "Tapi bagus sih kalau kamu sadar,"
Kalah telak. Kak Rama hanya sanggup terdiam sambil memandangi Ustadz Amar yang masuk ke mobil dan meninggalkannya sendirian.
"Sial!" umpatnya dengan tangan terkepal.
...----------------...
Selesai kelas, Syahla segera melangkahkan kaki menuju ruangan Persma. Dia tersenyum senang saat mendapati Kak Anne sedang duduk bersama para anggota perempuan yang lain.
"Halo," sapa Syahla ramah. Tapi rupanya tanggapan orang-orang tidak seperti yang ia harapkan. Mereka hanya melihat sekilas ke arah Syahla lalu kembali melanjutkan obrolan mereka.
Syahla merasa canggung sejenak. Ia maklum karena mereka memang baru kenal beberapa hari. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri Kak Anne.
"Kak, kan kata Kak Rama kemarin kita disuruh bikin artikel. Kakak hari ini sibuk nggak?"
Kak Anne tampak memutar bola matanya sebelum beranjak dari kursi. "Sorry, Gue hari ini sibuk."
"Oh, kalau gitu, Kak Anne kapan bisanya?"
"Nggak tahu, ntar kalau udah nggak sibuk."
Syahla merasa perkataan Kak Anne terdengar ketus. Tapi ia segera menghilangkan pikiran jelek itu.
"Yaudah, nanti kalau udah nggak sibuk, Kak Anne chat aku ya."
Kak Anne menganggukkan kepala kemudian segera keluar dari ruangan. Para mahasiswi yang sebelumnya mengelilingi Kak Anne juga ikut keluar. Syahla ditinggalkan sendirian di dalam sana.
Syahla menghela napas perlahan. Mungkin Kak Anne lagi ada masalah, batin Syahla berusaha berpikir positif.
...----------------...
"Dari tadi sibuk terus di depan laptop ngapain sih?" Tegur Anggika saat mereka sedang makan siang di kantin. Syahla memalingkan wajahnya sejenak menatap Anggika dan mengucapkan terimakasih karena sudah diambilkan mi ayam pesanannya.
"Biasa, ngejar deadline.." jawab Syahla masih dengan mata menatap layar laptop.
"Udah, berhenti dulu deh, makan dulu baru diterusin," ucap Anggika saat melihat Syahla yang mencoba memakan mi ayam sambil terus mengetik. Setiap satu kali suapan, Syahla kembali fokus menarikan jari-jemarinya di atas keyboard laptop.
"Nanggung," Jawab Syahla beralasan. Anggika akhirnya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan membiarkan temannya itu melakukan apa yang dia suka.
"Makan dulu, baru nanti diteruskan lagi," ucapan yang sama kali ini tidak berasal dari Anggika, karena suara yang terdengar seperti suara laki-laki. Syahla dan Anggika reflek menoleh ke asal suara, dan terkejut melihat kedatangan seorang laki-laki tampan di samping mereka.
"Om Su—eh, Pak Amar?" Syahla tergagap. Ustadz Amar meletakkan mangkok bakso dari tangannya ke atas meja, kemudian duduk di samping Syahla dengan santainya.
"Makan dulu," ulang Ustadz Amar.
"Tapi, tugasnya—"
"Satu.."
Syahla menghela napas pasrah. Hitung-hitungan siaLan itu kembali membuatnya terintimidasi.
"Dua.." Ustadz Amar melanjutkan hitungannya saat melihat Syahla tidak kunjung menutup laptopnya. Syahla yang langsung mengerti tatapan suaminya segera menurut dan mematikan layar laptop.
"Masukin ke tas," perintah Ustadz Amar lagi. Syahla berdecak sebal, tapi segera memasukkan laptopnya ke dalam tas.
"Makan,"
Meski sambil bersungut-sungut, Syahla memakan mi ayamnya dalam diam. Anggika yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam dan ikut memakan mi ayamnya saja. Entah kenapa, aura dosen muda itu benar-benar bisa mengintimidasi siapapun yang berada di dekatnya.
apalagi suaminya lebih tua