seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
akar masalah
Merlin membaringkan diri di atas ranjang kosnya. Lampu kamar dibiarkan temaram, hanya cahaya dari layar ponselnya yang menyala sesekali. Di sisi ranjang, terlipat rapi pakaian Dika—kaos oblong dan celana training lusuh—yang dulu ia pinjamkan sebagai pengganti pakaiannya yang robek dan berdarah malam itu.
Dia tersenyum kecil. Pakaian itu belum sempat ia kembalikan. Begitu juga pakaian dalamnya—BH dan celana dalam—masih tersimpan di rumah dika. Ia geli sendiri mengingat kejadian malam itu… Saat Dika dengan panik mengganti pakaian kotornya.
“Untung saja aku tak sadarkan diri…,” bisiknya pelan sambil menatap langit-langit. “Kalau sadar… entahlah…”
Bayangan itu mengganggunya. Bukan karena malu, tapi karena sesuatu yang lebih dalam… lebih primal. Sudah bertahun-tahun sejak suaminya meninggal dalam tugas. Sejak itu, tak ada laki-laki yang menyentuhnya, bahkan mendekatinya. Ia terlalu sibuk, terlalu keras, terlalu dingin bagi sebagian orang.
Namun kini, seorang ojek online yang bahkan baru ia kenal beberapa jam—telah melihatnya dalam keadaan paling rentan, paling telanjang. Anehnya, Merlin tidak merasa terganggu. Justru ada sesuatu yang membuncah dari dalam tubuhnya. Sesuatu yang ia pikir telah lama mati bersama suaminya.
Ia menutup mata, tapi pikirannya terus menerawang. Ada perasaan bersalah… namun juga ada hasrat yang tak bisa ia tolak.
“Dika…,” bisiknya lirih.
Pria itu kini meringkuk di dalam sel tahanan. Dituduh sebagai kaki tangan sindikat besar yang selama ini ia buru. Tapi hatinya—entah kenapa—menolak untuk percaya. Merlin tahu, ada sesuatu yang lebih besar. Sebuah jebakan yang sedang dimainkan, dan mereka berdua mungkin hanyalah bidak.
Di luar jendela, suara angin malam menggoyangkan tirai. Bayang-bayang Dika menari-nari dalam pikirannya, dan untuk pertama kalinya sejak lama… Merlin merasa kesepian.
Merlin membuka matanya. Sudah lewat tengah malam, tapi kantuk tak kunjung datang. Bayangan wajah Dika terus menghantui pikirannya. "Apakah dia baik baik saja dalam sel itu "lirih Merlin Ia bangkit dari ranjang, mengenakan jaket, lalu melangkah keluar kos. Tanpa banyak berpikir, ia kembali ke kantor polisi.
Udara dingin menusuk tulang. Saat tiba di kantor, petugas jaga yang sedang menyeduh kopi terkejut melihat kedatangannya.
"Kapten Merlin? Ada keperluan apa malam-malam begini?"
"Aku mau interogasi ulang si pelaku. Buka selnya."
"Siap, Kapten." Petugas itu segera mengambil kunci dan mengantarnya ke lorong tahanan.
Sesampainya di depan sel Dika, Merlin mengulurkan tangan.
"Berikan kuncinya padaku."
Petugas itu menatapnya heran. "Anda mau masuk ke dalam?"
"Aku mau bicara berdua saja dengannya. Kunci sel ini dari luar, dan kembalilah ke pos jaga. Jangan ganggu sampai aku panggil."
"Tapi, Kapten... itu bisa berbahaya."
Merlin menatapnya tajam. "Aku tahu apa yang kulakukan. Pergi."
Petugas itu tak berani membantah. Ia menyerahkan kunci dan meninggalkan lorong penjara. Suasana menjadi hening. Hanya terdengar langkah Merlin saat ia membuka sel dan masuk ke dalam.
Dika yang meringkuk di pojok sel terkejut melihatnya.
"Ada apa, Kapten? Malam-malam begini, kita malah ngurung diri bareng di sini?"
Merlin tak langsung menjawab. Ia mengunci pintu dari dalam, lalu menyandarkan diri pada dinding. Matanya menatap lurus ke arah Dika.
"Kau tahu... aku belum selesai menginterogasimu."
Dika berdiri perlahan. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap menyimpan ketenangan.
"Apa yang ingin Kapten tanyakan? Semua yang saya tahu, sudah saya ceritakan."
Merlin mendekat beberapa langkah. Wajahnya sekarang hanya sejengkal dari wajah Dika.
"Aku ingin tahu... kenapa aku masih percaya padamu."
Dika menatap matanya dalam diam. Ada ketegangan yang menggantung di udara—bukan sekadar antara polisi dan tersangka, tapi antara dua jiwa yang tengah terperangkap dalam badai takdir.
Dika menyandarkan tubuhnya ke dinding sel yang dingin. Napasnya berat, seolah menahan beban yang tak terlihat. Matanya menatap lantai sebelum akhirnya mendongak, menatap Merlin dalam redup cahaya lorong.
"Apakah aku dijebak dalam permainan ini...?" lirih Dika. Suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
Merlin tak menjawab. Ia hanya menatap Dika lekat, lalu perlahan membuka kancing seragamnya. Dika tersentak, matanya membelalak sedikit, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Kini Merlin hanya mengenakan gaun tidur tipis berwarna kelabu. Di bawah cahaya lampu yang temaram, lekuk tubuhnya tampak samar namun menggoda. Nafasnya terdengar pelan, tapi teratur. Ia melangkah perlahan mendekat.
"Apa kamu meragukanku, Mas Dika...?" bisik Merlin, suaranya lembut namun mengandung nada menantang.
Ia berdiri hanya beberapa jengkal dari Dika. Tatapan matanya menembus, seolah ingin menggali isi hati laki-laki yang kini terlihat gugup.
"Sekarang aku tidak berseragam lagi," lanjutnya lirih, "Aku dan kamu... sama."
Dika menahan napas. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia tak bergeming. Ia tahu ini bukan hanya tentang hasrat. Ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membingungkan antara jebakan... atau kejujuran.
"Apa kau pikir aku menjebakmu? Atau kau yang terlalu takut melihat kebenaran?" tanya Merlin, setengah berbisik, setengah menggoda.
Dika menatap matanya lekat. "Aku... tidak tahu lagi mana yang benar."
Merlin tersenyum samar. Namun sorot matanya tidak sedang bermain-main.
"Kalau begitu... mari kita cari tahu bersama. Malam ini, hanya ada aku dan kamu... dan kebenaran."
Perlahan, Merlin menundukkan wajahnya, mendekati Dika yang masih diam terpaku di sudut sel. Bibirnya menyentuh bibir Dika—lembut, hangat, dan penuh perasaan. Ciuman itu bukan sekadar luapan hasrat. Ada luka, ada harap, dan ada permohonan di dalamnya.
"Aku serahkan diriku padamu malam ini..." bisiknya lirih di sela napas yang mulai gemetar. "Lakukanlah... apa yang biasa dilakukan sepasang suami istri."
Matanya basah. Suaranya nyaris bergetar, bukan karena takut—melainkan karena kejujuran yang lama ia pendam. "Tanpamu malam itu... mungkin aku sudah mati."
Ia menggenggam tangan Dika, menuntunnya ke dadanya yang berdebar. "Aku ingin membalas jasamu malam ini... agar kau percaya, bahwa aku sungguh-sungguh ingin menyelamatkanmu. Bukan karena tugas. Bukan karena belas kasihan. Tapi karena aku... percaya padamu."
Dika menatap Merlin—dalam. Untuk pertama kalinya sejak ia dijebloskan ke sel ini, ia merasa tak sendirian. Ia merasa hidup kembali.
Dalam keheningan penjara malam itu, dua hati yang sama-sama luka saling menemukan pelukan—bukan sekadar pelampiasan, melainkan pertemuan dua jiwa yang tak sengaja terhubung oleh takdir.
Bagi Dika, malam itu bukan sekadar malam. Sejak perceraian yang mengiris hatinya bertahun-tahun lalu, tak ada lagi wanita yang disentuhnya—tidak ada yang ia izinkan menembus dinding luka yang telah lama ia bangun. Namun malam ini, dinding itu runtuh.
Merlin ada di hadapannya, menyerahkan dirinya bukan karena kelemahan, tapi karena kepercayaan.
Dalam dekapan sunyi penjara itu, tubuh mereka menyatu dalam satu bahasa yang tak butuh kata. Napas saling berpadu, menyatu dalam irama yang pelan namun dalam. Tidak tergesa, tidak sekadar hasrat. Tapi seakan waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Merlin tak lagi bertopeng polisi yang keras dan dingin. Dika pun bukan lagi tersangka yang terkunci di balik jeruji. Mereka hanyalah dua manusia yang saling merindukan pelukan, saling butuh pengakuan, dan saling ingin dimengerti.
Di dalam kegelapan, rintik embun perasaan yang lama membeku mencair perlahan. Mereka saling melampiaskan rindu, saling menyembuhkan luka, saling mengisi kekosongan yang selama ini ditutup rapat.
Malam itu, di balik jeruji, dua jiwa menemukan kembali arti sentuhan.
Fajar belum sepenuhnya menyapa kota, tapi Merlin sudah melangkah meninggalkan kantor polisi. Udara dini hari terasa lebih hangat dari biasanya, atau mungkin hatinya yang kini terasa ringan.
Ia duduk sebentar di atas motor dinasnya, menatap langit yang mulai memudar dari hitam menjadi biru pucat. Perasaan lega menyelimutinya. Hasrat yang sempat mengganjal di dalam dada—bukan hanya hasrat fisik, tapi juga kebutuhan untuk dipercaya, untuk merasakan bahwa dia tidak sendiri—akhirnya terpenuhi.
Dia tidak lagi meragukan Dika.
Dika bukan sekadar pria yang kebetulan menyelamatkannya. Ada sesuatu di balik tatapan matanya—kesetiaan, ketulusan, dan luka yang sama-sama mereka bawa dari masa lalu. Kini, setelah malam itu, Merlin tahu: dia bukan hanya korban dari permainan licik. Dia adalah orang yang bisa ia percayai.
Sementara itu, Dika duduk sendirian di dalam sel. Matanya menatap jeruji besi, tapi pikirannya jauh melayang. Ia belum pernah merasa setenang ini sejak ia diceraikan. Malam tadi bukan hanya tentang tubuh, tapi tentang hati yang kembali berdetak.
Di antara luka dan pengkhianatan, cinta mulai tumbuh. Pelan. Tapi nyata.
Dan mungkin... ini belum berakhir. Mungkin, justru baru dimulai.
Reno menatap layar laptopnya dengan mata menyipit. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, menyusup ke dalam sistem server lama kantor polisi—server yang konon sudah tak digunakan lagi, namun justru menyimpan cache backup dari berbagai aktivitas digital dalam jaringan internal.
"Ini dia..." gumam Reno pelan.
Matanya membelalak saat menemukan pola aneh dalam log akses sistem. Setiap kali ada bukti digital yang 'hilang' dari penyimpanan utama, selalu ada satu alamat IP yang muncul beberapa detik sebelumnya.
Alamat IP itu... berasal dari ruangan Komandan Zen.
Reno menegakkan tubuhnya. Napasnya berat. Ini bukan sembarang kebocoran data. Ini sabotase. Dan pelakunya... bukan orang luar.
Dia buru-buru mencetak hasil log itu, menyisipkannya ke dalam map rahasia, lalu menyembunyikannya di bawah jok motornya.
"Aku harus bicara dengan Kapten Merlin... tapi harus hati-hati. Kalau Zen tahu aku sudah sejauh ini—aku bisa lenyap malam ini juga."
Sementara itu, di ruangan kerjanya, Komandan Zen duduk tenang. Ia menyesap kopinya sambil menatap layar ponsel, membaca pesan terenkripsi yang baru masuk.
> "Reno terlalu dekat. Bersihkan sebelum dia ke kantor."
Zen menghapus pesan itu tanpa ekspresi. Ia lalu mengangkat telepon.
"Siapkan tim. Targetnya Reno. Lakukan bersih dan cepat."