Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana di bidang hukum, Christ menjadi pengacara di salah satu firma hukum terbesar di Jakarta. Namun, setelah 15 tahun bekerja di sana, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dan membentuk firma hukum sendiri untuk menyelidiki kasus pembunuhan Ibunya dan membalaskan dendam.
Selama proses penyelidikan, Christ bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Yuli yang membantunya. Yuli selalu menemaninya selama penyelidikan dan akhirnya timbul rasa cinta di antara keduanya.
Namun, dalam perjalanannya untuk membalaskan dendam, Christ menemukan bahwa ada lebih banyak yang terlibat dalam kasus tersebut daripada yang ia duga. Ia menemukan fakta bahwa pamannya, bos mafia terbesar di kota Jakarta, adalah dalang di balik pembunuhan Ibunya.
Lantas, apakah Christ berhasil membalaskan dendam atas kematian ibunya itu? Atau dia hanya ingin melupakan balas dendam dan memilih hidup bersama dan berbahagia dengan Yuli?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faisal Fanani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SECTION 020
Dan orang itu menyewa beberapa preman untuk merebut bukti yang dimiliki oleh Ibu Christ.
Dengan nafas terengal-engal, ibu Christ segera masuk ke dalam ruangan, mengunci pintu lantai dari dalam dan mencari sesuatu di dalam laci.
“Ibu!! Ibu dari mana?” Christ kecil muncul dari balik sofa dan menghampiri ibunya yang tergopoh-gopoh. Dia menyalakan lampu agar menerangi ruangan sekitar.
“Christianto!” Ibu Christ berjongkok memegang kedua pundak Christ dan menatapnya serius. “Kenapa kau datang kemari, Nak? Bukankah ibu sudah menyuruhmu untuk tetap di rumah saja? Masih banyak pekerjaan yang harus ibu lakukan disini.”
“Memangnya kenapa, Ibu? Malam sudah larut dan ibu belum juga pulang, aku merindukanmu,” ucap Christ.
“Ibu tahu, Nak, tapi kau tak boleh berada di tempat ini.” Ibu Christ berdiri dan melihat dari luar jendela.
2 mobil sedan terlihat menuju ke gedung tempatnya berada. Ibu Christ kembali menatap Christ yang tak tahu apa-apa saat itu.
“Mulai sekarang, dengarkan ibu baik-baik!” Ibu Christ mengambil sebuah foto dan menuliskan sebuah alamat di balik foto itu.
“Ada apa Ibu?” tanya Christ.
“Ini adalah alamat rumah pamanmu, Nak. Namanya Bagaskara.” Ibu Christ menunjukkan alamat yang telah ditulisnya. “Dan orang ini adalah pamanmu.”
Ibu Christ membalikkan kertas foto dan menunjukkan foto Bagas saat masih muda pada Christ. Bagas yang memiliki wajah garang serta postur tubuh yang tinggi dan tegap kala itu.
Saat itu Bagas masih berumur 30 tahunan. Dia baru kembali dari Rusia dan sedang mambangun kerajaannnya di Jakarta.
“Paman? Apa aku mempunyai paman?” Christ mengamati foto dan membolak-baliknya, melihat alamat yang tertulis di balik foto itu.
Ibu Christ mengambil foto itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket yang dipakai Christ.
“Seandainya terjadi sesuatu pada Ibu, kau harus menemui pamanmu di Jakarta, apa kau mengerti?”
“Lalu, bagaimana dengan Ibu sendiri?” tanya Christ memelas.
“Ingatlah perkataan Ibu, Nak. Jangan pernah kembali lagi ke Bekasi. Sekalipun, jangan pernah. Dan jangan percaya pada siapapun yang ada di kota ini, kau mengerti? Siapapun itu.”
DOK DOK DOK “Buka pintunya!!”
Terdengar suara pintu yang digedor dari luar. Ibu Chris segera menyembunyikan Christ kecil di dalam lemari besar, lalu membukakakan pintu.
5 orang preman berwajah bengis memasuki ruangan lantai 3 dan berdiri di depan Ibu Christ.
“Hei, Bu Lili. Kenapa tempat kerjamu kumuh seperti ini?” tanya Ketua Preman itu.
“Tutup mulutmu, Brengsek!” jawab Ibu Christ ketus.
“Baiklah. Aku tak ingin berbasa-basi lagi denganmu. Berikan bukti itu padaku, lalu aku akan pergi dari sini. Dimana kau sembunyikan kartu memori itu?”
Ketua Preman berjalan mengitari ruangan mencari barang bukti yang diinginkan oleh orang yang telah menyewanya.
“Sampai kiamat pun kau tak akan pernah menemukan memori itu di tempat ini.” Lilli duduk di sofa dengan sewot.
Ketua preman itu terus mengelilingi ruangan dan melihat sepasang sepatu anak kecil yang ada di bawah meja.
“Hmm, benarkah?” tanya Si Ketua Preman. Dia menyundul dan mentoel-toel lengan Lili seakan ingin melecehkannya.
“Singkirkan tanganmu, Bajingan! Sudah kubilang, aku tak membawa memori itu.”
“Ah, sial! Baiklah, kalau begitu.” Ketua preman itu duduk di depan Lili dan menatapnya. “Kurasa kau sedang tak sendirian disini.” Ketua preman menunjuk sepasang sepatu dibawah meja.
Dia tahu bahwa Lili tak sendirian di tempat kerjanya.
“Hei, Nak! Keluarlah! Aku tahu kau sedang bersembunyi. Keluarlah dari tempat persembunyianmu. Jika kau tak keluar, ibumu berada dalam bahaya.”
“Diam kau, Berandal! Dia tidak ada disini.” Lili ketakutan. Dia hanya berharap agar Christ tak keluar saat itu.