NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:613
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Garis Keturunan yang terlupakan

“Kenapa kita gak langsung ke Gunung Gede?” suara Aditya memecah keheningan yang tebal dalam mobil Avanza itu.

Sasmita, duduk di kursi depan, menoleh sekilas. “Karena sebelum naik ke neraka, kita harus tahu siapa yang akan kita ajak mati bareng.”

Aditya menelan ludah. Maya menggenggam tangan suaminya erat. Di kursi belakang, Kenan hanya diam menatap keluar jendela. Tatapannya kosong. Matanya bengkak. Tapi dia belum menangis lagi sejak Mbah Sujana... dikoyak hidup-hidup.

Mobil meluncur melewati jalur sepi di kaki Lembang, menuju arah selatan. Tujuan mereka bukan langsung ke Gunung Gede, tapi ke Garut dulu—ke tanah asal Sasmita.

Tri dan Ningsih tidur di bangku paling belakang. Badan mereka masih luka-luka. Tapi mereka pernah lebih parah. Dan mereka tahu, ini belum apa-apa.

“Lo beneran yakin mau ceritain semua ke mereka?” tanya Ningsih tanpa membuka mata.

“Sekarang atau gak pernah,” jawab Sasmita pendek.

Ia menarik napas panjang. Pandangannya lurus ke depan.

“Dengerin baik-baik,” katanya pelan, tapi tegas. “Gue gak lahir untuk jadi pahlawan. Gak pernah minta jadi pemburu siluman. Gue cuma anak dari keluarga yang kebagian kutukan.”

Maya mengangkat kepalanya. “Kutukan?”

“Bokap gue... Wibisana Damarjati. Exorcist terakhir dari garis utama yang gak pernah tunduk ke kekuasaan kolonial atau lembaga mana pun. Hidup nomaden. Ngelawan siluman kelas berat sendirian. Orang nyebutnya 'Cakar Langit.'”

Sasmita menatap kaca depan. Hujan mulai turun. Ringan. Tapi cukup buat memburamkan pandangan.

“Pas umur gue empat belas, bokap mati... di depan gue. Dibunuh siluman jenis kuno. Gue gak tahu namanya, cuma tahu wajahnya mirip makhluk yang tadi malem... yang ngebantai Mbah Sujana.”

Maya menutup mulutnya. Kenan menoleh pelan ke arah Sasmita.

“Gue lari. Sembunyi. Satu tahun hidup kayak bangkai. Lalu diselamatin sama Pak Darto—temennya bokap, yang mantan pemburu juga. Gue dilatih. Dihajar tiap hari. Diajar cara buka mata ketiga, cara ngelukis jimat, cara bunuh makhluk yang bahkan gak kelihatan.”

Suara Sasmita berat tapi stabil.

“Tri sama Ningsih... mereka murid gue. Tapi kadang rasanya mereka lebih kayak keluarga daripada siapa pun. Mereka tahu gue pernah nyaris mati lima kali. Pernah kerasukan. Pernah nyaris bunuh diri. Karena setiap kali lo buka pintu ke dunia sebelah, yang masuk bukan cuma makhluknya. Tapi kegelapan yang nempel di jiwa lo.”

Dia memalingkan wajahnya ke luar. Petir menyambar di kejauhan.

Aditya menoleh. “Jadi... semua ini karena Kenan?”

Sasmita mengangguk. “Gue gak yakin sebelumnya. Tapi sekarang... gak ada pilihan.”

Ia mengeluarkan gulungan dari jaket dalamnya. Dibungkus kain linen tua. Ia buka perlahan—gulungan dari kulit kayu tua, penuh tulisan tangan. Tinta hitam. Simbol merah darah. Aroma resin dan kemenyan masih menempel kuat.

Gulungan itu warisan Mbah Sujana. Dan ternyata... lebih dari sekadar jimat tua.

“Ini arsip garis Exorcist Nusantara. Lengkap dari tahun 1700-an. Nama, tugas, korban, dan penerus. Bahkan ada sketsa wajah beberapa dari mereka.”

Ia membalik halaman ke bagian terakhir. Tangannya berhenti.

Ada catatan:

2015 — Seorang bayi laki-laki dibawa oleh biarawati dari Yayasan Santa Ursula ke Panti Asuhan Al-Hikmah, Kabupaten Garut. Bayi itu membawa segel di bawah kulit bahunya—tanda darah Exorcist. Nama pemberian biarawati: Kenan.

Maya menutup mulutnya.

“Kenapa lo gak bilang dari awal?” tanya Aditya ke istrinya.

“AKU GAK TAHU!” Maya terisak. “Kami cuma... kami cuma pengen jadi orangtua! Kami pikir... itu anugerah. Aku gak pernah bisa hamil, Ditya... dan Kenan dikirim pas kami lagi doa tiap malam...”

Kenan menunduk. “Gue masih gak percaya soal kebenaran ini....?”

Aditya menoleh ke kursi belakang. “Kamu tetap anak kami. Selamanya.”

“Tapi darah gue... bukan darah kalian.”

Sasmita menutup gulungan itu.

“Benar,” katanya. “Tapi darah itu... penting.”

Ia menatap Kenan lewat kaca spion.

“Kenan. Lo bukan anak biasa. Di dalam tubuh lo, ada segel tua yang ditanam oleh generasi Exorcist sebelum lo lahir. Lo bukan cuma keturunan. Lo... kemungkinan besar pewaris utama.”

“Pewaris apa?”

“Pewaris kekuatan segel Manglayang Merah,” kata Sasmita datar. “Yang artinya... lo bisa jadi penutup... atau pembuka gerbang neraka.”

Mobil kembali sunyi.

Hanya suara hujan dan mesin tua Avanza yang mengisi udara.

Sasmita bersandar.

“Makanya kita ke Garut dulu. Gue harus buka makam bokap. Di sana ada kunci. Dan mungkin... jawaban siapa orangtua kandung lo, Kenan. Karena kalau darah lo berasal dari garis utama... lo harus tahu. Dan lo harus siap.”

Petir menyambar lagi. Lebih dekat. Lebih keras.

Kenan menatap jendela yang dibasahi hujan.

“Apa gue... akan berubah jadi monster?”

“Kalau lo milih diam dan lari... iya,” kata Sasmita. “Tapi kalau lo belajar, hadapi semua ini, dan lo gak tunduk—lo bisa jadi harapan terakhir.”

Mobil terus melaju menembus kabut malam.

Arah menuju Garut.

Arah menuju kebenaran yang selama ini ditutupi darah dan kematian.

Di belakang mobil, jauh di kejauhan, sepasang mata merah menyala di pinggir hutan. Sosok kurus tinggi mengikuti dari kejauhan. Tak bersuara. Tapi terus membuntuti.

Dan di tangannya—sepotong kain—yang dulunya milik Mbah Sujana. Masih berlumuran darah.

bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!