Jelita Maheswari, gadis yang kecantikannya selalu tertutupi dengan penampilannya yang sangat sederhana, bahkan terkesan kolot. Dia menerima pinangan dari seorang wanita setengah baya, yang menginginkannya untuk menikah dengan putranya, karena merasa tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. Pernikahan yang semula dianggap akan memberikan kebahagiaan buatnya, benar-benar jauh dari harapan. Gavin Melviano, pria yang dijodohkan dengan Jelita, terlihat sangat tidak menyukainya, karena penampilan Jelita yang benar-benar tidak fashionable. Namun, pria itu terpaksa menerima Jelita sebagai istri, demi supaya harta kekayaan orang tuanya tidak jatuh ke tangan Jelita. Gavin bahkan menuduh Jelita, mau menerima lamaran mamanya, hanya demi harta.
Akankah Jelita bisa bertahan dengan sikap Gavin yang selalu menghinanya? dan apakah Gavin selamanya akan menatap hina Jelita?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aura yang sangat dingin
Matahari semakin bergeser sampai berada di atas kepala dan cuaca semakin panas, pertanda kalau pagi sudah berganti siang. Gavin terlihat masih terlelap dia atas sofa, karena pria itu tidak berniat untuk pindah ke kamar sama sekali. Sementara itu, Jelita terlihat serius berkutat dengan sahabatnya sehari-hari, apalagi coba kalau bukan adonan kue dan pemanggangan. Selama dua minggu ini, orderan tidak pernah kosong pada wanita itu.
Namun, walaupun Jelita sibuk di dapur, sesekali dia tetap melihat Gavin untuk memastikan apakah demam pria itu sudah turun atau belum.
"Dia sudah bangun apa belum ya?" batin Jelita, sembari melangkah menuju ruang tengah. Karena memang kalau sudah bangun, Jelita berniat untuk memanaskan kembali bubur untuk makan siang pria itu.
"Oh, ternyata dia belum bangun," Jelita kembali meraba kening suaminya itu, yang ternyata demamnya sudah turun drastis.
"Syukurlah, demamnya sudah turun!" Jelita berlalu meninggalkan Gavin yang tidak merasa terganggu dengan sentuhan tangan Jelita. Mungkin karena pengaruh obat yang efeknya membuat ngantuk.
Jelita memutuskan untuk kembali ke dapur, tapi tiba-tiba dia dikagetkan dengan pintu apartemen yang dibuka oleh seseorang.
"Hei, kamu datang lagi?" Jelita berbicara, dengan menyunggingkan senyum ke arah sosok yang baru datang, karena dia mengenal sosok yang baru datang itu, yang tidak lain adalah Reynaldi.
"Iya, Nona." Reynaldi membalas senyuman Jelita. "Tadi pagi Gavin menghubungiku, katanya dia sakit, apa benar dia sakit?"
"Iya, Tuan dia__"
"Panggil aku Reynaldi, atau biar tidak kepanjangan, kamu panggil aku Rey aja," ucap Reynaldi memotong ucapan Jelita yang masih tetap memanggilnya ,Tuan.
"Oh, iya Tuan Rey. Aku Jelita," Jelita mengulurkan tangannya, karena memang waktu pertama kali mereka bertemu, mereka belum berkenalan sama sekali.
"Tolong panggil, Rey aja, tanpa adanya embel-embel, Tuan,"
"Emm, baik deh!" Jelita terlihat sangat sungkan. " Kalau begitu, kamu juga sebaiknya panggil aku Jelita juga tanpa embel-embel nona," imbuhnya kembali.
"Oh, untuk itu aku harus izin sama Gavin dulu, takutnya kalau aku panggil nama istrinya dengan akrab, dia bisa marah," Reynaldi melemparkan gurauannya.
"Istri? jadi kamu sudah tahu kalau aku Istrinya?"
"Eh, iya. Maaf ya kalau hari itu, aku sempat mengira kalau kamu itu ...." Reynaldi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali sembari nyengir kuda.
"Oh, tidak apa-apa! memang penampilanku seperti pem__"
"Nggak, kok!" sambar Reynaldi dengan cepat, karena dia tahu apa yang akan dikatakan oleh wanita itu.
"Oh ya, Gavin di kamarnya kan?" Reynaldi mengalihkan pembicaraan.
"Tidak! dia sedang tidur di sofa itu." Jelita menunjuk ke arah sofa yang memang tubuh Gavin tidak terlihat dari tempat mereka bicara karena sandaran sofa yang tinggi.
"Tadi pagi demamnya memang tinggi, sekarang sudah turun, kok," jelas Jelita kembali.
Ting ....
Sayup-sayup terdengar bunyi oven berbunyi, pertanda kue yang sedang dipanggang di dalam sudah matang.
"Rey, aku ke dapur dulu ya! aku mau mengangkat kue dulu,"
"Kue? kamu bisa buat kue?" tanya Reynaldi, merasa surprise.
"Iya. Kenapa? itu bukan hal yang luar biasa bukan?" Jelita mengrenyitkan keningnya.
"Bagiku itu hal yang luar biasa. Karena teman-teman wanita yang ada di sekelilingku, rata-rata tidak bisa melakukan apa-apa kecuali dandan, dan shopping," sahut Reynaldi sembari mengekor Jelita yang sudah melangkah ke dapur.
"Semua wanita itu keahlian masing-masing. Aku justru tidak bisa dandan sama sekali," sahut Jelita dengan santai sembari mengeluarkan kue dari dalam pemanggangan.
"Wah, sepertinya itu enak. Apa aku bisa mencicipinya?" tanya Reynaldi yang merasa tergiur dengan penampilan kue itu.
"Hmm, tapi ini pesanan orang. Dan harus secepatnya aku kirim. Bagaimana kalau aku buatkan saja untukmu, tapi kamu harus sabar karena tidak bisa cepat."
"Wah, jadi kamu menerima pesanan? Wah kamu sungguh hebat!" seru Reynaldi dengan kagum. "Emm, tidak apa-apa deh kamu buat kue yang baru untukku, aku akan sabar menunggu," ucap Reynaldi kembali.
krukkkk ....
"Bunyi apa itu?" tanya Jelita dengan kening yang berkerut.
Reynaldi nyengir kuda sembari memegang perutnya.
"Hehehe, itu bunyi perutku. Sepertinya cacing-cacing di dalam sedang menuntut, karena belum dikasih jatah makan siang," sahut Reynaldi sembari menggaruk kepalanya.
Jelita terlihat tertawa, melihat ekspresi wajah Reynaldi yang menurutnya sangat konyol.
"Emm, tadi pagi aku masak sedikit banyak. kamu mau tidak memakannya? kalau mau biar aku panaskan lebih dulu," tawar Jelita.
"Boleh deh! pasti rasanya enak." Reynaldi terlihat sangat antusias.
Jelita melangkah ke arah kulkas untuk mengambil makanan yang sudah sempat disimpannya tadi. Kemudian wanita itu serius memanaskannya.
"Nih, sudah selesai. Maaf, aku hanya masak ini,"
Jelita meletakkan makanan di depan Reynaldi.
"Wah, ini sudah lebih dari cukup. Sepertinya rasanya juga enak!" seru Reynaldi dengan mata yang berbinar.
"Kamu tunggu ya, aku akan ambilkan nasi untukmu,"
"Aduh, aku jadi merepotkan kamu," ucap Reynaldi merasa tidak enak.
"Nggak masalah, kok," sahut Jelita sembari memberikan piring yang berisi nasi pada Reynaldi. Jelita juga tidak lupa untuk tersenyum saat memberikan nasi itu.
Reynaldi dengan bahagia menyendokkan lauk yang merupakan ayam goreng mentega ke dalam piringnya dan tidak lupa juga dengan capcay. Pria langsung menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya, sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
"Wah, sangat enak. Kamu ternyata sangat pintar memasak," puji Reynaldi saat kunyahan pertama berhasil dia telan.
"Terima kasih!" sahut Jelita tanpa menanggalkan senyumannya.
"Eh, kamu sudah bangun?" Jelita berdiri dari kursinya, kaget melihat Gavin yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. Pandangan Gavin terlihat sangat tajam, dan terlihat sangat gelap seperti tertutup awan mendung.
"Iya, kalian tidak tahu, karena kalian berdua terlalu asyik. Bahkan suara tawamu bisa terdengar sampai ke langit." Nada bicara Gavin terlihat sangat ketus.
Reynaldi yang sedang makan, merasa kesulitan untuk menelan makanannya, mendengar ucapan Gavin dan aura dingin yang ditunjukkan pria itu.
"Emm, Maaf deh kalau begitu! kamu jadi terganggu ya?" ucap Jelita, dengan raut wajah merasa bersalah.
"Apa kamu sudah baikan?" Jelita menghampiri Gavin dan hendak menyentuh kening pria itu.
Gavin menjauhkan kepalanya, sehingga tangan Jelita tidak berhasil menyentuh kepalanya.
Jelita menghela napasnya dengan sekali hentakan, berusaha untuk menahan diri agar tidak terpancing dengan sikap Gavin sangat menyebalkan.
"Apa kamu mau makan?" tanya Jelita kembali.
"Tentu saja! kamu ambilkan untukku, jangan cuma pada dia," Gavin mendaratkan tubuhnya duduk di depan Reynaldi dan menatap pria itu dengan tatapan yang sangat tajam.
"Kamu mau ini?" tanya Reynaldi dengan nyengir.
Reynaldi kembali menundukkan kepalanya, karena bukan jawaban yang dia dapat melainkan tatapan yang semakin tajam.
"Aku panaskan dulu buburnya ya?" Jelita melangkah menghampiri kompor.
"Aku tidak mau bubur. Aku mau makan nasi biasa, dan lauk itu," celetuk Gavin dengan wajah datar tanpa melepaskan pandangannya dari Reynaldi.
"Tapi, kamu kan masih sakit, jadi __"
"Kalau aku bilang mau makan itu ya itu, jangan membantah!"
Jelita mengembuskan napasnya dan berlalu mengambil apa yang diminta oleh Gavin.
"Haish, jangan menatapku seperti itu! aku seperti terdakwa yang melakukan kesalahan berat," akhirnya Reynaldi memberanikan diri untuk protes.
"Mau berapa lama lagi kamu di sini? kenapa kamu tidak kembali ke kantor?" ucap Gavin, dingin.
Tbc